created by, Ressa Novita (Ocha)
bintang surga bersaksi…
cinta ini tak pernah mati…
“Cinta sih ga pernah mati, tapi penulisnya yang mati!”
“Kenapa, Sya?! Puisinya jelek ya?!” tanya Madya yang ga denger jelas gumamanku.
demikian rasa tulus dari hati…
untukmu bidadari…
“Cuihhh… Uekhhh…” jijik tak terhingga.
“Arsya…” Madya bingung.
Apapun didunia ini berubah seiring berjalannya waktu, begitu juga perasaanku. Aku mencintaimu, tapi itu dulu. Kalau sekarang, aku berani jamin, aku sudah bosan memberi rasa itu padamu. Ada sesuatu yang telah merubah hatiku menjadi lebih dewasa dan sesuatu itu lebih pantas memilikiku.
“Sreeekkk…” aku merobek kertas itu menjadi delapan bagian dan segera membuangnya ditempat sampah yang kebetulan kami lewati.
Aku segera mempercepat langkahku meninggalkan Madya, karena aku dapat menebak apa yang akan dikatakannya setelah ia sadar betul dengan apa yang baru saja aku lakukan terhadap surat itu.
“Lho?! Suratnya?! Kenapa dibuang gitu aja?!” teriak Madya marah sambil mencoba menyamai langkahku.
“Seperti yang kamu inginkan, aku sudah membaca surat itu sampai selesai. Dan sekarang aku sudah tidak membutuhkannya lagi, makanya aku buang”
“Tunggu!!!” Madya menarik tanganku agar aku segera menghentikan langkahku. “Sya, kamu menyukainya kan?! Iya, kan?! Lalu kenapa kamu harus membuang puisi pemberiannya?!”
“Siapa bilang aku menyukainya?! Aku ga pernah memberi kesimpulan seperti itu kepada siapapun termasuk kamu!”
“Kamu tidak bisa membohongi mataku, aku bisa melihat perasaan yang terpancar setiap kali Edo…”
“Jangan sebut nama dia lagi!”
Madya terhentak kaget mendengar pernyataan tegas yang tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Aku tidak butuh semua omong kosongnya. Terlalu lama aku menunggunya, Madya. Tapi apa yang aku dapatkan?! Cuma kertas-kertas bertinta yang hampir setiap hari ia berikan melalui kamu. Kalau aku bilang cinta, berarti kami ga lebih dari pacar pena. Yups, pa-car pe-na! Hubungan yang lokasinya satu tingkat diatas sahabat pena. Dah, Madya! Aku masuk kelas dulu” meninggalkan Madya yang sepertinya tak punya kata-kata untuk memperpanjang pembicaraan.
Aku menyukai Edo sejak 5 tahun yang lalu, saat seorang gadis SMU seperti aku dengan polosnya mengagumi karya-karya pujangga bodoh itu. Ditahun ketiga aku mengoleksi buku-bukunya, tiba-tiba aku bertemu dengannya disini, di universitas yang sama. Ternyata dia seorang assisten dosen di fakultas sastra. Saat itu aku baru saja memulai kuliahku di fakultas hukum. Menyadari keberadaannya di tempat yang sama denganku, bagaikan tertimpa rembulan (lho, kok jadi bahasa pujangga juga?!) aku sangat bahagia. Rasa itu pun berubah perlahan menjadi cinta. Dan entah apa yang terjadi, selembar surat cinta darinya sampai padaku.
Madya, mahasiswi fakultas sastra satu angkatan denganku, sejak awal dialah merpati pos milik Edo yang setia menyampaikan puisi-puisi cinta untukku. Entah apa imbalan yang diberikan Edo padanya sehingga ia tidak hanya menjadi merpati pos tapi juga seringkali mencekokiku dengan cerita-cerita manis tentang Edo, yang katanya assisten dosen paling oke di fakultas sastra.
Hati semakin berbunga-bunga? Sudah jelas! Cinta mati? Saat itu memang! Tapi jika ditanyakan sekarang, jangan harap aku mau berkata ‘iya’. 3 tahun adalah waktu yang cukup untukku membalas dengan perasaan yang sama. Awalnya aku sangat yakin kalau sebentar lagi dia pasti akan bertindak lebih jauh dari ini. Karena itu ku menunggu. Yakin dan terus yakin. Tapi keyakinan itu tak sekalipun terwujud. Puisi dan puisi lagi yang aku terima, dengan kata-kata yang bervariasi indah, namun mengandung makna yang sama, cinta.
Masih dengan harapan yang indah, aku merencanakan pertemuan manis dengannya melalui Madya. Tapi hasilnya tetap nihil. Dengan berbagai macam alasan, tak sekalipun undanganku dipenuhinya
Jenuh!!! Bosan!!! Muak!!! Empet!!!
Kata-kata diatas sudah cukup untuk menggambarkan perasaanku padanya saat ini. Tidak ada kata yang lebih manis dari kata-kata itu yang pantas dipersembahkan kepada Edo Renaldy sang pujangga muda yang terkenal dan tampan.
“Arsya!!! Arsya!!! Vie Marsya Dwi Santika!!! Hallo!!! Ngapain sih bengong sendirian didepan perpus?!”
Kehadiran Madya yang sesungguhnya tidak aku inginkan, menghentikan lamunanku.
“Eh, iya! Kenapa?” tanyaku wajar dengan senyuman yang tetap manis, walaupun di penuhi firasat buruk saat melihat raut gembira bercampur khawatir yang tergambar di wajah Madya.
“Tunggu lima menit lagi, aku sudah kasih tau Edo kalau kamu ada disini, dan kali ini dia pasti akan dating menemuimu” ungkap Madya berseri.
“Untuk apa?!” jawabku santai setengah kaget.
“Kok, tanya ‘untuk apa’ sih?! Ya untuk membicarakan soal hubungan kalian!”
“Cukup Madya! Sekali lagi aku katakan ‘aku tidak menyukainya’. Lebih baik kamu dan Edo jauhi aku, karena aku sudah tidak mau bermain lagi. Mulai sekarang cari cara lain supaya kamu mendapat nilai bagus untuk mata kuliah Edo!”
Kata-kata yang tepat! Kenapa tidak terpikir sejak dulu ya?! Dengan apa lagi Edo membayar Madya kalau tidak dengan nilai.
“Sudah ya! Aku harus pergi sekarang!” meninggalkan Madya yang pada hari ini untuk kedua kalinya kubuat diam dengan kata-kataku.
“Arsya, tunggu!!!”
Bukan suara Madya, tapi…
Aku menghentikan langkah dan membalikkan tubuhku. Tepat! Itu suara Edo, suara yang selama 3 tahun ini baru pertama kali ini kudengar langsung (penulisnya kebangetan!).
Tapi…
Aku sudah siap!
“Arsya… Sudah baca puisi dariku?”
“Ehm… Sudah! Puisinya bagus kok. Tapi, sorry tadi kertas puisi kamu terkena tumpahan saus saat aku makan siang di kantin! Jadi, aku buang deh! Sorry ya!” kebohongan yang sangat manis.
“Tidak apa-apa! Nanti aku buatkan lagi untukmu yang jauh lebih bagus dari puisi tadi” berseri-seri bahagia.
“Ga usah repot-repot! Percuma aku ga ngerti artinya! Lagipula puisi yang kamu berikan sudah terlalu banyak, sampai aku bingung mau dikemanakan” kejam banget.
“Arsya… Maaf… Sebenarnya aku…”
“Aku menyukaimu Edo. Sejak kamu mulai menerbitkan puisi-puisimu, aku sudah menyukaimu. Dan ketika aku tahu kamu ada di tempat yang dekat denganku, aku semakin menyukaimu” motong kalimat orang seenaknya.
“Aku juga menyukaimu, Arsya! Semua puisi yang berikan padamu…”
“Sudahlah, Edo!” lagi-lagi motong kalimat orang sembarangan. “Aku tak bisa menyembunyikan padamu bahwa… Aku benci kamu yang selalu memberikanku harapan-harapan indah melalui puisi-puisimu itu. Tapi kenapa hanya puisi?! Aku ga ngerti jalan pikiran orang macam kamu!”
“Maafkan aku… Tapi mengertilah, aku sungguh mencintaimu…”
“Sudah terlambat. Cinta yang ku jaga selama 3 tahun sudah cukup untuk membalas perasaan yang kau tuliskan untukku selama ini. Edo, terima kasih karena sudah mengajarkan padaku satu hal, yang semoga juga dapat menjadi pelajaran untukmu. Edo, aku atau gadis manapun butuh bukti bukan puisi”
Kata-kata terakhirku. Dan seketika keheningan menusuk telingaku. Tak terdengar suaranya sedikitpun. Hanya terdengar riuhnya lingkungan kampus yang dipenuhi aktifitas disore hari.
Hingga aku menyadari kedatangan seseorang yang sudah lama kunantikan.
“Ardan…”
Ardan. Tunanganku. Teman masa kecil yang 2 tahun lebih tua dariku. Orang yang selama ini dekat dengan aku dan keluargaku. Dulu aku hanya menganggapnya sebagai kakakku, karena ia sangat menyayangiku. 3 tahun yang lalu dia menyatakan cintanya padaku, dan aku mengabaikannya, mengabaikannya demi menunggu cinta Edo. Tapi ternyata ia begitu sabar menunggu dengan kasih sayangnya yang selalu ia berikan padaku.
“Edo, ini Ardan tunanganku. Seminggu yang lalu kami meresmikan hubungan kami. Ardan, ini Edo yang sering kuceritakan padamu”
“Hai…” sapa Ardan singkat. “Arsya, ayo kita pergi. Aku kan sudah janji akan mengajak mu ke suatu tempat hari ini”
“Iya! Edo, aku pergi dulu ya!”
Dan kamipun meninggalkan Edo yang masih belum mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kasihan sekali! Pasti hatinya sangat terluka. Sampai bengong begitu”
Aku tersenyum geli mendengar gumaman Ardan yang terdengar mengejek.
“100% SUKSES!!!” teriakku kencang, membuat Ardan yang berjalan di depanku terkejut dan berhenti melangkah.
“Bangga…”
“Iya dong! Karena sekarang aku bisa dengan tenang menyayangimu seorang”
“Cuma sayang?! Ga lebih?!”
“Juga menyukaimu…”
“Tidak cinta…”
“Ehm…”
Terdiam sejenak.
“Suatu hari nanti pasti!” jawabku yakin sambil menarik tangannya untuk segera menuju tempat parkir di belakang kampus.
Seorang pria yang telah memberitahukan cinta padaku ternyata telah dikalahkan oleh seorang pria yang menunjukkan cinta padaku. Cinta yang tidak terbatas oleh kertas dan goresan pena.
Selamat tinggal, Edo.
“TAMAT”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar