Kamis, November 20, 2008

Surat Cinta Alice

By, Ressa Novita (Ocha)
Goreskan pena mu di atas selembar kertas biru… Layangkan untukku bersama namamu… Maka aku akan merasakan… Keindahan cinta yang kini melekat di hidupmu…

“Pos!!!”
“Terima kasih, pak!”
Minggu pagiku yang cerah diawali dengan datangnya surat cinta dari sahabatku, Alice, yang saat ini berada jauh di Biak.
Sambil berjalan masuk ke teras rumah, aku merobek amplop putih itu dan mengeluarkan selembar kertas putih dari dalamnya. Dengan hati-hati kubuka lipatan kertas tipis itu dan membaca tulisan berpena biru itu dengan seksama.

Dear Ariessa,
Akhirnya hari ini datang juga. Ini adalah surat cinta yang pernah kita sepakati 5 tahun yang lalu…

Yup! Ini bukan sembarang surat cinta. Kesepakatan yang pernah aku buat bersama sahabatku 5 tahun yang lalu, surat cinta adalah surat yang akan mengabarkan satu sama lain tentang cinta yang kami rasakan dan kami yakinkan untuk selamanya.Keyakinan besar akan cinta yang sulit untuk didapatkan. Tapi hari ini untuk pertama kalinya surat itu datang diantara kami.

…tapi sebelum itu bagaimana kabarmu, Ka Ardon dan teman-teman yang lain, Floren, Febrian, Aldi, Anne, Erick, my sweet brother Ka Ajie, Ka Hedy, Ka Iyos, Ka Beni, Ka Reki, dan Ka Odie? Kalian pasti baik-baik saja kan? Aku sangat merindukan kalian semua. Oh iya, bagaimana keadaan my prince Gama…

Aku melipat kembali surat yang belum selesai kubaca itu setelah membaca nama Gama menghiasi kalimat di kertas itu. Nama itu mengingatkanku pada masa-masa sekolahku bersama sahabatku.
Alicia Martina Leva, yang biasa kupanggil Alice adalah seorang gadis yang terlihat begitu dewasa, anggun, penuh percaya diri dan selalu menginginkan kesempurnaan. Ia baru merasakan kenyamanan di sekolahnya sendiri, ketika ia bertemu denganku dan orang-orang yang namanya disebutkan di surat itu. Tapi paling membuatnya mengagumi bahkan memuja SMU Gaeshiera adalah seseorang yang bernama Gama Abife Farghesa.
Di tahun keduanya di sekolah swasta itu, Alice yang saat itu menjabat sebagai ketua klub Tari bertemu dengan Gama salah seorang anggota klub basket.
Biasanya Alice senang menghabiskan waktunya di sekret klub tari bersamaku, Anne dan Floren yang sama-sama bergelut di klub yang sama. Tapi, siang itu Anne dan Floren tidak menampakkan batang hidung mereka dan karena bosan aku mengajaknya ke sekret klub Basket yang letaknya tepat disebelah sekret klub tari. Aku punya banyak teman di klub ini, selain itu kakakku adalah kapten klub Basket ini, namanya Ka Ardon. Di sanalah untuk pertama kalinya Alice bertemu dengan Gama.

Alice, kita duduk disini aja!” pintaku sambil menarik Alice dengan sedikit memaksa untuk bergabung bersama beberapa anggota klub Basket. ”Ehm… Boleh ga kami numpang duduk disini?” tanyaku basa-basi pada Erick yang saat itu sedang santai-santai sambil mendengar musik.
“Tentu saja! Masa sih adik kesayangan pak kapten tidak boleh main disini! Duduk disebelahku, Rica sayang!” jawabnya ramah sambil membetulkan kursi disebelahnya.
“Ariessa Rislany! Bukan Rica! Emangnya makanan!” protesku sambil menggeser kursi yang tersedia untuk…
“Riessa!!! Jauh-jauh dari Erick!!! Pria itu beracun!!!” teriak Ka Ardon yang suaranya menggema dari ruangan bagian dalam. (Warning : Riessa panggilan sayang My Sweet Brother, Ka Ardon). Tentunya aku menggeser kursi untuk mencegah teriakan tadi, tapi…ya sudahlah…
Berusaha untuk tidak menghiraukan teriakan kakakku, seketika aku pun asik berbincang dengan pria tampan yang selalu berjaket biru itu. Dan Alice.
Lho?! Kenapa suara Alice tiba-tiba menghilang dari peredaran telingaku?! Menyadari hal itu aku memutar badanku kesegala arah untuk menemukan di mana Alice duduk. Dan aku segera menemukannya asik berbincang dengan seorang anggota klub basket bernama Gama.
Selama ini aku selalu tak sungkan bergabung dengan teman-teman kakak di klub Basket, karena aku akrab dengan mereka semua. Tapi Gama, aku tidak terlalu mengenalnya, bahkan aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Gama terlihat dingin, pendiam dan tidak mudah akrab dengan orang lain. Aku jadi malas mendekatinya. Karena itu aku sedikit terkagum-kagum melihat kedua orang itu tiba-tiba ngobrol asik tanpa memperdulikan apapun disekitar mereka.

Hari-hari berikutnya sejak kejadian itu aku masih melihat kewajaran dalam diri Alice. Si Miss Pe-De ini terus menggoda Gama dengan daya tariknya. Alice yang biasanya, memang seperti itu bila sudah menangkap kelebihan tampang seorang pria. Dan aku akui komentar Alice benar, Gama punya wajah yang sangat manis apalagi dipadukan dengan kulit gelap dan matanya yang indah.
Tapi keadaan itu tak bertahan lama. Kira-kira satu bulan kemudian, aku mulai melihat gelagat aneh Alice didepan pria itu. Ia menunduk malu dan tak jarang salah tingkah setiap kali bertemu dengan Gama. Bahkan setiap Alice melihatnya dari kejauhan, ia selalu histeris malu-malu.

“Gama?! Oh, my God! Oh, my God! He’s so sweet!”

Komentar manis yang disertai dengan wajah memerah tentunya.
Perlahan tapi pasti, Alice mengakui bahwa ia menyukai Gama, bahkan perasaannya mungkin lebih dari sekedar suka.

“Ariessa!!!”
Alice berlari cepat kearahku yang sedang asik melamun sendirian di sekret klub Tari.
“Kenapa sih?” tanyaku bingung.
“Gama! Gama!” Alice mendesahkan nama pria itu pelan sambil mengatur nafasnya. “Manis! Manis banget! Dipadukan dengan topi dan jaket hitamnya. Hari ini dia manis banget!”
“Yee… Kirain kenapa” jawabku kecewa.
“Ar, kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia!”
“Udah tau tuh!” kataku santai tak menghiraukan.
“Lho?! Kok reaksi kamu gitu sih?!”
“Ga usah kamu kasih tau, aku juga udah tau, Ne!”
“Aku kan baru kasih tau kamu hari ini, kenapa kamu bisa tau duluan?”
“Seorang Alice yang penuh percaya diri, riang, yang selalu mudah beradaptasi dengan siapapun, yang pintar, dewasa, bijaksana dan penuh wibawa. Dalam hitungan detik berubah menjadi Alice yang tidak aku kenal, yang pemalu, mudah gugup, selalu kehilangan kata-kata dan bertindak ceroboh setiap kali bertemu dengan manusia bernama Gama. Bukankah itu berarti ada sesuatu yang terjadi didalam dirimu?! Kalau bukan cinta, apalagi?!”
“Ariessa, terus aku harus gimana?” rengeknya cemas.
“Ya, ga harus gimana gimana! Tapi cuma satu hal yang bikin aku bingung. Apa kamu sudah tidak mencintai Arga lagi?!”
Alice terdiam, seolah tak ada kata yang dapat menjawab pertanyaan itu.

Arga, teman cowok Alice sejak Alice masih duduk di bangku SMP. Sebelum dilanda virus Gama, aku masih mendengar Alice bercerita tentang pria yang belum lama ini kembali dekat dengannya dan Alice pun mengaku sangat mencintainya. Namun semakin sering mereka bersama, semakin tidak jelas hubungan mereka. Alice yakin Arga juga mencintainya dari perhatian dan pengorbanan yang diberikannya selama ini, tapi Alice tidak pernah berhasil membuat Arga mengungkapkan perasaannya. Sampai akhirnya Alice mengeluh bosan.
Dan sejak kemunculan Gama, aku merasa perlahan sosok Arga mulai menghilang dari ingatan Alice, terlihat dari frekuensi Alice menyebutkan nama Arga yang kalah rekornya dengan nama pria pendatang baru itu (Gama pendatang baru didunia Alice, maksudku) . Bahkan tanpa ragu Alice meninggalkannya cinta yang tak pasti itu. Dengan kata lain, kali ini Alice benar-benar serius dengan perasaannya.

“Ka, Gama itu orangnya seperti apa sih? Baik ga? Dia udah punya pacar belum?”
“Riessa!!!” melongo aneh.
Reaksi kakakku sedikit membuatku tersentak kaget. Sedikit.
“Enggak! Kakak ga ijinin kamu jadian sama anak itu. Ga cocok tau! Kakak malah lebih setuju kalo kamu jadian sama Samuel, dia tuh baik, romantis, perhatian dan penyabar, cocok banget deh sama kamu”
Samuel?! Siapa?! Ga kenal!
Ah, sudahlah! Ga penting!
“Kakak, bukan aku tapi Alice”
Ka Ardon terdiam mendengar kata-kataku.
Aku mengerti dan memaklumi reaksinya kali ini, karena kakakku sempat mengagumi seorang Alice, tapi dia sudah punya Rini, apapun yang terjadi Ka Ardon tidak boleh melukai gadis pilihannya itu.
“Ka…” panggilku untuk menghentikan keheningan yang dibuatnya.
“Gama itu pria yang baik tapi dia sangat tertutup pada orang lain. Dia sudah punya pacar atau belum? kakak ga tau, karena seperti yang kakak bilang, dia sangat tertutup. Kayaknya sih belum. Tapi satu hal yang menarik dari Gama, sampai-sampai kakak ga bisa tidur dibuatnya, dia itu terlalu manis. Gama…Oooh…Gama…”
“Kakak… masih normal kan???”

Rasa suka Alice terhadap Gama membawa kebaikan lain, ia pun bertambah akrab dengan sebagian anggota klub basket. Mereka adalah nama-nama yang disebutkan Alice dalam suratnya. Bahkan Ka Ajie salah seorang alumni klub basket yang semula tidak dikenalnya sekarang sudah seperti kakaknya sendiri. Ini terjadi karena keinginan Alice sendiri yang awalnya berharap akan dapat mengorek keterangan tentang Gama dari mereka. Beberapa dari mereka setelah tahu hal itu tidak berdiam diri, mereka melakukan berbagai macam cara untuk memperdekat Alice dan Gama.
Salah satunya yaitu ketika suatu hari dari kejauhan aku menyaksikan Alice duduk berdua dengan Gama. Saat itu aku tersenyum bangga, aku pikir Alice ada sedikit kemajuan. Tapi tiba-tiba dari belakangku muncul Ka Ajie dengan senyum nakalnya yang ditujukan ke arah mereka. Entah apa yang telah dilakukan Ka Ajie, tapi aku sangat berterimakasih atas usahanya sehingga seorang Gama yang sangat disukai Alice saat itu juga duduk dan tersenyum manis didekatnya.
Semakin hari baik sengaja maupun tidak disengaja, keajaiban selalu datang mempertemukan Gama dan Alice. Alhasil, hubungan mereka berdua semakin dekat. Tapi satu hal yang tidak pernah sekalipun berhasil diatasinya adalah bersikap tenang didepan Gama.
Dengan dukunganku dan yang lain, Alice menumbuhkan tekad suatu saat akan menyatakan perasaannya pada Gama. Selain itu Alice selalu mewujudkan perasaan sayang dan perhatiannya kepada Gama tanpa henti. Sekaleng Pocari yang selalu diberikannya sehabis latihan rutin adalah salah satunya. Itulah yang membuat kami bangga. Alice selalu berusaha dan tidak pernah menyerah. Aku semakin semangat membantu Alice.

“Satu tiket aku hadiahkan untukmu. Filmnya bagus lho!”
“Malas ah, nonton sendirian”
“Ya, enggaklah. Aku, Floren, Febrian dan Ka Ardon juga ikut. Kita ketemuan jam 7 di depan Mc D. Oke!”

Tiket itu hanya alasan agar Alice dapat kencan berdua dengan Gama. Dengan bantuan Ka Ardon, satu tiket lagi sudah berada ditangan Gama. Dan aku yakin Alice tidak akan mengecewakan pengorbanan kami. Dia pasti menyatakan perasaannya malam itu.
Tapi kenyataan berkata lain. Hari itu juga Alice kehilangan semangat dan tekadnya. Alice merasa tidak lagi memiliki harapan untuk meraih cintanya itu.

“Apa?! Jadi semalam kamu ga ngomong apa-apa ke dia?” marah Ka Ardon.
Alice hanya menggeleng pelan dengan penuh penyesalan.
“Biar aku pergi tanpa pernah dia tahu perasaanku” ucapnya sendu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?!” tanya Ka Ardon kesal.
“Pergi?! Pergi kemana maksudmu?!” tanyaku melanjutkan pertanyaan Ka Ardon.
“Aku harus meninggalkan kota ini, selamanya”
Pernyataan Alice saat itu juga membuatku dan Ka Ardon tak sanggup berkata-kata.

Karena beberapa hal, orangtua Alice memutuskan untuk kembali ke kota asal mereka di Manado dan meninggalkan kota yang telah menghidupi mereka selama 6 tahun ini. Alice tidak dapat menolak keputusan itu, karena bagaimana mungkin Alice dapat tinggal di kota ini tanpa kedua orangtuanya.

“Tapi kamu harus menyatakan perasaanmu!”
“Buat apa?! Toh aku akan pergi!”

Rencana keberangkatan Alice membuat semuanya berakhir. Hari-harinya menjelang keberangkatannya pun diwarnai dengan kesedihan. Dan Alice memutuskan untuk mundur sebelum sempat maju ke garis start. Teman-teman pun tidak dapat berbuat apa-apa setelah mendengar rencana kepergiannya itu. Tapi tidak bagiku.

Aku akan membuktikan bahwa masih ada harapan.
“Dibalik kisah ini tersimpan sebuah harapan dari sebait doa tulusku. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi sekalipun itu hanya sebuah kisah dongeng. Nah, gimana kalau novel itu kamu baca dulu sebelum kamu berangkat!”
Sedikit malas ia membuka lembaran pertama. Tentu saja, karena membaca bukanlah salah satu dari hobinya. Tapi yang satu ini dia pasti suka.
Aku terus memperhatikannya membaca dengan serius, sesekali ia tersenyum, sesekali ia menatapku kesal. Tak sabar ingin mengetahui akhir kisah itu, ia tiba-tiba menutup buku itu dan membukanya kembali dari belakang. Di tariknya nafas dalam-dalam dan dibacanya halaman terakhir dengan penuh harap.

Di depan gerbang sekolah.
Setelah Alice menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam kepada pria manis bernama Gama. Alice akhirnya melangkahkan kakinya pelan kearah Taksi Bandara yang menjemputnya tanpa berani mengharapkan jawaban dari Gama. Tiba-tiba langkah Alice bertambah berat. Ia tahu alasannya, hatinya butuh jawaban namun ia tak berani kembali untuk bertanya, ia pun tak sanggup berhenti sesaat untuk menunggu.
“Gama, seandainya kamu berkata ‘iya’ tanpa ku bertanya. Aku akan melangkah kembali dan membatalkan keberangkatanku saat ini juga sekalipun tanpa seizin Mama” tekad Alice dalam batinnya.
Tapi sekali lagi dan mungkin untuk yang terakhir kalinya Alice mengubah tekad dalam batinnya.
“Ah, sudahlah! Mungkin ini jalan yang memang harus aku pilih, yaitu meninggalkanmu”
Alice menatap pintu taksi yang terbuka lebar tepat didepannya. Ditariknya nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam taksi. “Selamat tinggal, Jakarta!”
“Alice!!! Kembali!!!”
Perintah tegas yang tiba-tiba keluar dari mulut Gama seketika membuat Alice menghentikan gerak tubuhnya. Namun Alice tidak membalikkan tubuhnya, ia hanya terdiam kaget, tak percaya dengan suara yang baru saja didengarnya. Gama memintanya kembali.
“Alice… Aku akan mengatakan ‘aku mencintaimu’ jika itu dapat membuatmu tidak meninggalkan Jakarta selangkahpun! Kamu harus tetap disini! Alice… Jangan pergi! Aku tidak ingin kehilangan kamu!”
Tanpa disadari, airmata Alice telah mengalir melewati bibirnya.
“ALICE…. AKU JUGA MENCINTAIMU…. AKU SANGAT MENCINTAIMU….”
Tiba-tiba pelukan hangat mendarat ditubuh Alice. Alice menemukan wajah cantik mamanya yang memeluknya dengan mata berlinang.
“Nak, jangan pernah melakukan sesuatu dengan keraguan! Tentukan pilihanmu sekarang! Tinggallah disini, jika menurutmu itu yang terbaik!”
Alice tersenyum bahagia menatap sang mama yang akhirnya mengizinkannya tinggal di Jakarta lebih lama lagi.
“Pergilah, Nak!!! Temui pangeranmu!”
Segera, Alice membalikkan badannya, menatap lekat kearah Gama yang berdiri membelakangi teman-temannya yang lain. Dilihatnya kedua tangan Gama bergerak terbuka lebar, seolah mengundang Alice untuk segera mengisi pelukannya. Dan Alice mengerti isyarat itu. Gama bersedia membalas cintanya.
Berlari, Alice menghampiri pria yang tersenyum manis itu dan meraih uluran tangannya. Memeluknya dengan penuh kehangatan.

Ia menutup buku itu setelah selesai membaca akhirnya. Tanpa ia sadari airmata telah memenuhi wajahnya yang putih bersih. Ia menatapku dengan senyum haru dan menarikku kepelukannya, sesaat namun erat.
“Seandainya saja kisah itu dapat terwujud”
“Karena itu, jangan katakan tidak. Kamu harus menyatakan perasaanmu padanya! Karena tidak ada yang tidak mungkin” aku mendorong Alice masuk ke ruang klub Basket. “Katakan sekarang juga! Aku tahu kamu bukan gadis lemah yang gampang menyerah pada keadaan, Alice”
“Tapi, Ar, aku takut, bagaimana kalau dia…”
“Alice. Now or never!”
Alice dengan wajahnya yang pucat memasuki ruangan. Sesaat kemudian semua penghuni ruangan kecuali Gama meninggalkan ruangan itu, sebagian dari mereka yang tah permasalahannya menemaniku diluar. Aku berdiri cemas didepan pintu ruangan itu, sesekali kupekakan telinga agar terdengar pembicaraan mereka.
“Hei, kenapa kalian berdiri di depan pintu? Ayo kita ma…”
Aku menarik tubuh Ka Ardon menjauhi pintu masuk ruangan itu.
“Ka, Gama dan Alice didalam” bisikku.
“Berarti, novel yang kamu buat berhasil meyakinkan Alice untuk mengungkapkan perasaannya?”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Kamu memang adikku yang paling hebat!” pujinya sambil mengelus rambut panjangku.
Pujian Ka Ardon mengakhiri kebisingan tempat itu, sesayup kalimat terdengar dari dalam ruangan. Kalimat yang membuat kami semua tercengang kaget.
“Aku sangat senang mendapatkan perhatianmu selama ini, tapi saat ini bukan kamu gadis yang aku sukai. Aku tidak bisa membalas rasa sukamu”
Jawaban Gama atas pernyataan Alice.
Sesaat kemudian Alice berlari keluar dari ruangan klub sambil menangis.
Sebuah kisah yang telah menumbuhkan kembali semangat Alice, ternyata hanya sebatas goresan pena. Kenyataannya tidaklah seindah itu. Keadaan saat itu malah semakin memburuk dan semuanya karena aku, karena semangat salah yang telah aku berikan. Keputusan semula Alice benar, sebaiknya tak usah dikatakan, dan aku telah menghancurkan segalanya. Bahkan sampai saat ini aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Sudahlah, Ariessa, jangan menangis!”
“Tapi ini semua gara-gara aku!”
“Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Kamu benar karena telah membuatku kuat. Apapun yang terjadi, aku tidak peduli, yang penting kini aku merasa lega, aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, dan aku berhasil melakukannya karena kamu”
“Tapi kan…”
“Sudahlah, jangan buat aku semakin sedih”

Alice pun meninggalkan Jakarta dengan membawa luka hatinya. Tak seorang pun dari kami diijinkannya untuk mengantar sampai bandara, dia tidak ingin kami melihatnya menangis.
Tapi kami yakin suatu hari nanti Alice mampu melupakan Gama dan menyimpannya hanya sebagai kenangan. Sekaranglah bukti nyata Alice telah mendapatkan seseorang pengganti Gama dihatinya.
Tersenyum sejenak, aku kembali membuka lipatan surat itu dan melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Dan aku dikejutkan dengan kata-kata lanjutannya.

Tentu saja kamu tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Karena dia ada disini bersamaku.

“Apa?! Tidak mungkin!!!”
Akhir-akhir ini aku memang tidak lagi mendengar kabar Gama. Yang terakhir kudengar dari Ka Ardon, sekarang ia sudah menyelesaikan kuliah S1 nya dan bekerja berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Tapi, apa ini jawaban atas ketulusan cinta Alice untuknya selama ini?

Setibanya aku di Biak, aku bekerja di toko roti milik mamaku. Dalam waktu singkat toko roti itu mempunyai banyak pelanggan dan kelezatannya terkenal diseluruh pelosok kota ini. Toko roti ini pula yang 4 tahun kemudian mempertemukan aku dengan Gama. Gama dipindah tugaskan ke Biak, suatu hari dia melihatku didepan toko dan tanpa ragu menemuiku. Alhasil, perasaan ini dimulai kembali. Tapi kali ini bukan hanya perasaan sepihak, karena kami sudah bertunangan.
Semua ini juga karena kamu, Ariessa. Harapan yang kamu goreskan dalam kisah itu, memberikanku kekuatan untuk tidak berputus asa. Karena tidak ada yang tidak mungkin.
Nah, bagaimana dengan kamu? Kapan aku akan membaca surat cintamu? Aku sangat menantikannya.

Surat cintaku?! Aku sendiri tidak tahu kapan akan kukirimkan. Karena aku belum merasakan cinta seindah yang kau rasakan saat ini, Alice.
“Hiks hiks hiks… Gama dan Alice sudah bertunangan. Lalu bagaimana denganku. Huaaaaa…Alice…”
Lho?! Ternyata kakakku ikut membaca dibelakangku dan dia berteriak histeris setelah mengetahui kabar bahagia itu.
Setelah pisah dari Rini dua tahun yang lalu sepertinya Ka Ardon berharap suatu saat akan mendapatkan cinta Alice, tapi sayang sudah terlambat.
“Riessa… tinggal kamu seorang yang bisa mendampingi kakakmu yang malang ini! Jangan tinggalkan kakak ya, sayang!” pintanya sambil memelukku erat-erat.
“Pos!!!”
Kami terhentak kaget mendengar suara pak pos yang kali ini melengking aneh.
Aku segera menghampiri si tukang pos yang datang untuk kedua kalinya itu.
“Lho, pak?! Kok datang lagi?! Ada yang tertinggal?”
“Ada satu surat lagi untuk Nona Ariessa! Ditambah dengan setangkai mawar merah ini” jawab pria itu sambil menyerahkan surat beramplop merah muda serta setangkai mawar merah.
“Dari siapa, pak? Kok ga ada perangkonya?”
“Dari aku!”
Seorang pria berpakaian rapi dengan jaket birunya tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Masih ada kesempatan untukku mencintaimu, Rica?”
“Erick?!”
“Didalam surat itu aku mengabadikan cintaku dan menunggu balasan darimu…”
Aku menatap Erick sedikit bimbang. Berawal dari kebetulan kami melanjutkan di universitas yang sama hubungan kami semakin dekat. Sampai saat ini aku sangat mencintainya tapi dia tidak pernah memberiku kepastian tentang ungkapan perasaanku selama ini.
Beberapa minggu yang lalu aku memutuskan untuk melupakannya. Karena aku pikir selama 5 tahun ini aku hanya terlalu melebih-lebihkan sikap manisnya padaku. Tapi sekarang dia tiba-tiba datang padaku. Mengucap kata yang selama ini aku nantikan. Apa aku punya keberanian untuk menolaknya?
“Ariessa Rislany! Bukan daging Rica-Rica! Tapi aku senang hanya kamu yang memanggilku seperti itu” senyumku penuh arti. “Masuk! Kita ngobrol didalam”
Alice, mungkin pria ini yang suatu saat nanti akan kutuliskan namanya didalam surat cintaku untukmu.
Mengiringi langkah Erick memasuki ruang tamu, aku tersenyum nakal penuh arti kepada pria sister complex (pecinta adik sendiri) itu.
“Oh, tidak!!! Erick, sekali lagi aku peringatkan!!! Jangan rebut adikku!!!”
“Siapa elu nyuruh-nyuruh gua?!” balas Erick tersenyum riang.

♥ TaMaT ♥

Mencari

By, Ressa Novita (Ocha)

Tiap langkah kumencari
Lelah mendaki
Beralas api menelusuri
Tuk segenggam debu yang berarti

Namun kecewa kudapati
Hanya ada debu tak berjiwa dan mati
Setinggi gunung kukantungi
Tak membuatku hidup barang sehari

Bukan hanya sekali
Sampai jenuh kumemaki
Menumpah ruah gejolak hati
Ternyata tak ada yang abadi

Yang kukejar dengan airmata
Malah lari menghindar

Yang datang tanpa kuundang
Pergi dan tak kembali

Seolah hidup ini hanya waktu sesaat
Untuk berbagi lalu lekas pergi
Tak perlu rasa untuk mengenang
Tersisa pahit tuk diingat

Aku masih mencari
Masih akan membuat alami
Yang datang biarlah datang
Yang pergi bergegaslah pergi

Hanya sebelum nafasku berakhir
Aku ingin ada untukku
Mengungkap hati
Yang benar abadi

Satu Hari Lalu

By, Ressa Novita (Ocha)

Satu hari lalu aku berdiri disini, disampingmu
Menikmati nyamannya hidup yang ternyaman
Mungkin memang aku hanya terdiam menemanimu terdiam
Tapi hatiku tak pernah sedetikpun terdiam
Untuk mengucap syukur pada sang waktu
Akan saat-saat bersama yang ia berikan

Satu hari lalu aku berdiri disini, menatap wajahmu
Menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang terindah
Mungkin memang dirimu bukanlah bintang, bukan pula pelangi
Tapi hatiku tak pernah sekalipun berhenti
Untuk memuji indah sinar di wajahmu
Yang kau sampaikan lewat senyum di bibirmu

Satu hari lalu aku berdiri disini, mendengar suaramu
Menikmati lembutnya suara yang terlembut
Mungkin memang dibaliknya tak tersimpan keistimewaan
Tapi hatiku tak pernah sekalipun berdusta
Saat mendengar suaramu kurasakan kehangatan

Satu hari lalu aku terdiam disampingmu, menatap indah sinar wajahmu, mendengar lembut suaramu
Namun seribu hariku telah berlalu, tak lagi tersisa saat-saat itu

Hari ini dan hari-hari berikutnya
Aku berdiri disini, sendiri
Menikmati sepinya dunia yang begitu sepi
Mungkin aku terlihat tanpa rasa
Tapi hatiku tak pernah berhenti berbicara
Kini aku adalah jiwa yang telah berbeda tanpamu

Pernah Terlahir UntukMu

By, Ressa Novita (Ocha)

Ketika musim salju pergi, aku kehilangan dirinya dan menemukanmu dalam indahnya semi

Aku merasakan yang kamu rasakan lewat udara pagi dunia yang kita hirup bersama
Dengan itu aku tahu kita berpijak pada bumi yang sama
Aku mengenal suaramu lewat hembusan angin sore
Dengan itu aku merasa nyaman setiap kali mendengar senandungmu
Dan aku melihat wajahmu lewat gugusan bintang malam hari
Dengan itu aku dapat membawamu menghabiskan mimpi

Aku tidak tahu siapa kamu?
Kamu tidak pernah memberitahu aku siapa kamu!
Aku tidak tahu saat ini kamu ada dimana dan sedang apa?
Kamu tidak pernah menunjukan seperti apa hidupmu!
Tapi aku selalu merasa kamu milikku

Aku telah jatuh cinta
Dengan kamu yang tidak pernah nyata disisiku
Dan hatiku menjawab IYA dengan tidak membiarkanku sedetikpun melupakanmu
Tapi bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan kamu yang tidak aku kenal lebih dari kabar merpati?

Kecuali, mungkin aku pernah terlahir untukmu
Kamu adalah cinta dihidupku sebelumnya
Belahan jiwa yang pernah hilang
Yang sekarang menuntut kesetiaan yang pernah terikrar

Aku jatuh cinta padamu!
Aku menginginkanmu lebih dari hari ini
Tapi aku tahu kamu tidak ada dimanapun mataku mencari
Aku tidak tahu kamu berada di belahan bumi sebelah mana

Apa yang harus aku lakukan jika suatu saat rasa ini tak dapat kutahan lagi?!
Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk dapat memelukmu?!

Kata Maaf Untuk Ne

By, Ressa Novita (Ocha)

Aku melihatnya di mimpi
Kala ku ragu siapa pangeranku
Tak hanya sekali
Sosok yang tak kukenal
Memeluk hatiku hingga kekalbu

Tipis aku berharap
Dalam malam kuberdoa
Wahai pangeran yang tak kukenal
Datanglah saat mataku tak lagi terpejam

Ternyata Tuhan kabulkan doa
Atau memang sekedar takdir yang bekerja

Setiap kali mentariku datang
Pangeran mimpiku menjelma
Dalam bentuk nyata namun maya
Ia bukan lagi mimpi

Tak lagi hadir pangeran di malamku
Aku telah melihatnya datang padaku
Hatiku memanggilnya Ne
Atas setiap kalimat manis yang ia berikan

Ada hari yang sedikit berubah dalam hidupku
Ada sosok yang sedikit mempengaruhi hatiku
Meski setiap saat ku ragu
Ada rasa yang sedikit menambah senyum di wajahku

Namun, saat ia mengucap tulus mencinta
Aku tersentak sadar ini mimpi indah
Yang datang ke dunia nyata
Tapi berwujud maya

Hanya satu kata maaf untukmu Ne
Aku bermimpi lagi
Dalam mimpi cukup ku merasa
Tak bisa ku membalas cinta

Pertemuan ini harus berakhir
Seperti ketika takdir memulainya

Entah apa yang salah
Hanya saja waktu tetap berputar
Aku harus kembali memulai hidup
Mencari kenyataan bukan khayalan

Hanya satu kata maaf untukmu Ne
Takdir meminta kita bersua dalam mimpi
Mimpi hanya untuk penghias hari
Dan tak akan bagiku menjadi berarti

Hanya satu kata maaf untukmu Ne
Aku harus pergi
Mencari pangeranku yang sejati
Yang akan membangunkanku esok pagi

Airmata Terakhir Untuk Senyum Dunia

By, Ressa Novita (Ocha)
Arghhh! Nafasku sesak, dan ini sudah yang ke sejuta kalinya kurasakan. Kutatap langit-langit kamarku. Gelap, dingin, dan sepi. Beberapa saat yang lalu lampu ruangan ini terang benderang, sedikit lebih hangat, tapi entah kenapa wanita berpakaian putih yang tidak kukenal tiba-tiba memasuki kamarku dan mematikannya. Padahal yang membayar listrik di gedung ini kan bukan dia tapi kakak sepupuku, William, pemilik Rumah Sakit ini.
Mataku mulai terbiasa dengan sedikit cahaya yang menyembul dari luar kamar lewat pintu yang setengah bagiannya terbuat dari kaca. Kulirik jam dinding yang menggantung di depanku.
Jam setengah 9 malam. Sebentar lagi waktunya tiba. Mudah-mudahan Raisya cepat datang. Aku sudah tak sabar ingin melihat gadis mungil itu tersenyum.
“Aurel, Raisya sudah datang!”
Ani, suster cantik yang usianya satu tahun lebih muda dariku datang dengan baki obatnya yang terbuat dari aluminium berukir cantik.
“Raisya sekarang dimana, An? Oh, jangan nyalakan lampunya. Kegelapan membuatku sedikit lebih nyaman!”
Suster Ani yang sudah siap menekan sakelar lampu segera mengurungkan niatnya.
“Raisya ada di kamar Mawar, dia sedang beristirahat. Sejak tadi ia merengek terus ingin bertemu denganmu. Bagaimana?”
“Katakan aku tidak disini! Jangan sampai dia tahu aku ada disini, apalagi kalau sampai ia melihat keadaanku yang seperti ini. Dia pasti… Heekkk…” terasa nafasku kembali sesak. Rasa sesak yang lebih dahsyat dari sebelumnya, sampai-sampai satu katapun amat sulit untuk kuucapkan.
“Aurel, sesak lagi?! cepat minum obatnya!”
Aku menggeleng lemah. Suster Ani tidak berani memaksa. Mungkin karena aku pernah bilang ‘Ini hidupku! Jangan nganggu hidupku!’ padanya beberapa kali setiap aku menolak meminum obat-obatan itu, dan sekarang ia sudah paham betul maksud dari kata-kataku.
Ah, disaat-saat lemahku seperti ini rasanya aku benar-benar ingin menangis. Apalagi jika aku sadar, keluargaku, Ayah, Bunda, dan kakak-kakakku sudah tidak disampingku dan tidak memperdulikanku lagi.
“A…Ani…”
“Iya!”
“Ka…Kamu ingat! Pertama kali kita bertemu?”
“Ya, waktu itu aku menabrakmu dengan sepeda jamuku dan entah kenapa tiba-tiba kamu pingsan. Lalu aku membawamu ke rumahku dan merawat luka-lukamu hingga sembuh. Setelah sembuh tanpa banyak bicara lagi kamu membawaku kesini, ke rumah sakit ini. Tanpa kamu, mungkin aku masih berjualan jamu dengan sepeda butut itu” kenang Ani dengan mata berkaca-kaca yang tak henti menatapku.
“Waktu itu aku dadaku sakit sekali. A… aku kabur dari rumah setelah bertengkar dengan Andre kakakku. Tanpa kamu tabrak pun, aku pasti pingsan dengan sendirinya. Aku penyakitan begini tapi masih sok mau hidup seorang diri yah!”
“Sudah-sudah jangan dilanjutkan lagi! Aku tidak mau sesak kamu makin parah karena terlalu banyak bicara”
“Ani, aku ingin bicara sebanyak aku bisa. Aku ingin kamu dengar ceritaku, selagi kamu dapat mendengar suaraku” ucapku mengisak seraya menarik tangannya yang hendak pergi dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Aurel, kamu jangan bicara seperti itu! Kamu bisa bicara sebanyak yang kamu mau. Sekarang, besok, lusa dan seterusnya. Tapi, sekarang kamu istirahat dulu ya! Hari sudah larut!”
“Duduklah! Jangan pergi kemana-mana! Malam ini saja, aku mohon!” pintaku dengan isak tangis yang tak juga reda, semakin parah malah.
Ani ikut menangis, terlihat matanya tak hanya sekedar berkaca-kaca. Sesekali ia hapus airmatanya dengan jemarinya.
“Ani, 3 tahun kita bersahabat, mungkin yang kamu ketahui tentang aku hanya sebuah misteri. Bahkan kenapa aku tidak pernah kembali ke rumah sampai saat ini pun, kamu tidak tahu kan? Dulu aku memang tak pernah ingin menceritakannya, padamu sekalipun. Tapi sekarang, kamu akan tahu semuanya. Aku akan ceritakan semuanya!”
* * *
Aurel Faira Wiratmo. Itulah aku. 23 tahun yang lalu, tepatnya 9 Oktober 1984, aku lahir sebagai seorang Putri di Istana Keluarga Wiratmo. Putri yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh seorang Pengusaha terkaya nomor dua di Indonesia, ayahku Andi Wiratmo.
Aku hidup dan dewasa dengan kasih sayang yang kurasa berlebih ditambah segala kemewahan yang membuatku terbiasa. Mungkin ini takdirku, pikirku dulu.
Sampai suatu hari aku memperhatikan dunia luar dan mampu berpikir lebih jernih, tepatnya saat aku memasuki bangku sekolah menengah pertama. Kulihat seorang kakek tua tanpa kedua belah kakinya merangkak kearah mobilku. Ya Tuhan! Padahal ini ditengah kemacetan jalan raya. Dimana putranya?! Istrinya?! Sanak saudaranya?! Atau sekedar tetangga yang mengenalnya?! Apa tidak ada?! Bagaimana jika kendaraan yang lalu lalang mencelakainya?! Bagaimana jika preman-preman jalan melukainya?!
Cengengnya aku. Aku malah menangis melihatnya. Supir yang mengantarku menyerahkan sebuah uang logam senilai 500 rupiah kepadaku, meminta tolong agar aku memberikan logam itu kepada si kakek tanpa kaki. Dengan sedikit bingung aku buka kaca mobil dan menjatuhkan logam itu tepat di dalam topi butut yang ditegadahkannya tinggi-tinggi.
Ia tersenyum. Di wajah keriputnya terlihat senyum yang tulus tanda kebahagiaannya. Ucapan terima kasih tak henti-hentinya terlontar dari bibirnya yang kering kehausan.
Oh, ia begitu bahagia hanya karena uang logam 500 rupiah yang bagiku tidak berarti apa-apa. Kenapa?!
Kulihat tiang lampu lalulintas di ujung jalan. Masih merah. Kurogoh saku kemeja putihku dan mengambil seluruh isinya. Tidak kurang dari 50 ribu. Uang jajanku hari ini. Kembali kutekan tombol pembuka kaca mobil otomatis di samping lengan kiriku.
“Non, jangan diberikan lagi! Nanti orang itu akan semakin malas bekerja jika terus diberi uang!”
“Bekerja bagaimana?! Dia tidak punya kaki seperti mu! Lagipula aku tidak memintamu memberikan seluruh uangmu padanya!”
Supir setengah baya dengan postur tubuh tinggi tegap itu diam tak membantah kata-kataku. Perhatiannya kembali tertuju pada mobil-mobil mewah yang mengantri di depannya.
Kakek tanpa kaki yang semula hendak merangkak kembali ke trotoar segera merapat ke mobilku dengan susah payah ketika ia melihatku membuka kaca mobil untuk yang kedua kalinya.
Kujatuhkan semua uang yang ku punya ke dalam topi butut yang kembali ditegadahkannya kearahku.
Dia menangis melihat jumlahnya. Dia benar-benar menangis. Menangis saking bahagianya. Sayup-sayup kudengar ia menyebut nama Tuhan dalam ucapan terima kasihnya. Dia masih mengingat kebesaran Tuhan dengan keadaannya yang demikian menyedihkan. Hanya karena sejumlah uang yang tidak berarti apa-apa bagiku.
Sejak saat itu aku merasa tanganku begitu gatal untuk memberi semua uang yang aku miliki setiap kali melihat orang-orang yang menderita seperti kakek tanpa kaki itu. Pengemis-pengemis tua yang renta dan cacat, anak-anak jalanan yang mengamen dengan butiran beras didalam botol plastik ditangannya, pemulung dengan karung kotor di punggungnya, sampai orang-orang kumal yang mengais-ngais tempat sampah untuk sekedar mencari sisa makanan. Semuanya.
Akupun terus mencoba menghadirkan senyum pada mereka, orang-orang yang hidup dalam kesedihan. Tapi yang aku lakukan tidak lebih dari receh yang aku berikan di saat kemacetan lalulintas. Aku takut orang tuaku marah jika aku mengasihani mereka lebih dari ini. Ayah pernah memukuliku sekali karena ketahuan merawat seorang janda miskin berpenyakitan yang tinggal dibelakang komplek rumahku.
Hingga aku beranjak dewasa dan melanjutkan kuliahku di luar kota. Kota pilihanku sendiri, Surabaya. Dekat dengan rumah Nenekku.
Di kota itu aku di vonis dokter mengidap penyakit mematikan, kanker paru-paru stadium 2. Umurku diperkirakan tidak lebih dari 5 tahun,tapi aku sama sekali tidak menangis. Hanya saja aku sedikit kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku belum berbuat apa-apa untuk dunia?! Padahal waktu hidupku ternyata begitu singkat?! Sejak dulu aku ingin menolong orang-orang yang hidup dalam kesedihan tapi kenapa aku takut pada gertakkan orang tuaku yang melarang tanpa alasan yang jelas?! Kenapa selama ini aku hanya diam?! Bagaimana jika aku mati detik ini juga dan aku belum melakukan apa-apa untuk mereka?! Rasa bersalah, mungkin akan terus menghantuiku dan membuatku tidak tenang menutup mata. Aku tidak boleh diam lagi!
Akupun mulai membiarkan tubuhku melangkah ke jalan yang hatiku inginkan. Dengan menjadi guru bantu dibeberapa sekolah di desa terpencil di sekitar Surabaya dan mendirikan beberapa panti sederhana untuk menampung pengemis-pengemis tua dan cacat yang tak lagi punya sanak saudara, serta anak-anak jalanan yatim piatu.
Aku biarkan kuliah Arsitek ku sedikit terbengkalai dan menghabiskan banyak uang dan tenaga hanya untuk membuat orang-orang yang membutuhkan itu tersenyum.
Hah… Tapi ternyata jalan yang kupilih tidak semudah yang aku bayangkan. Keluargaku menjemputku pulang kembali ke Jakarta ketika mereka mengetahui kegiatanku di Surabaya yang sama sekali melenceng dari perkuliahan.
“Ayah menyekolahkan kamu tinggi-tinggi supaya kamu jadi orang sukses, bukan jadi orang yang tingkahnya semrawut kayak gini. Kamu itu putri Ayah satu-satunya! Tolong, hargai pengorbanan Ayah!”
Ayah, Bunda, dan kakak-kakakku tidak tahu perihal penyakitku. Dan aku harap tidak akan pernah tahu. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir, dan akhirnya malah mengurungku di rumah sakit mewah milik William, kemenakan Ayah, selama bertahun-tahun. Oh, tidak! Bisa-bisa aku mati kering akibat dihantui rasa bersalah jika itu benar-benar terjadi.
“Bu, Depdiknas menyetujui keberangkatanku ke Riau untuk menjadi guru bantu disana! Aku berangkat!”
Ucapan pamit singkat itu aku sampaikan kepada siapa saja yang kebetulan ada di rumah waktu itu. Setelah itu aku langsung menyeret koper-koperku lalu pergi ke bandara dengan taksi yang sudah ku siapkan untuk mempercepat keberangkatanku. Dan kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali.
Habis, aku sudah tidak lagi peduli. Semakin banyak kumelihat senyuman itu, rasanya aku semakin tenang dan bahagia. Mungkin ini cinta. Aku cinta apa yang aku lakukan. Aku tak peduli yang lain termasuk kuliahku yang kini telah terhenti.
“Cukup, Aurel! Jangan banyak tingkah lagi! Tinggal di rumah dan turuti semua kemauan Ayah dan Bunda!“ perintah Andre, kakak sulungku, pada suatu siang ketika aku kembali menyeret dua buah koper untuk mengunjungi rumah pantiku di Surabaya.
“Kakak apa-apaan sich?! Aurel mau menjenguk adik-adik angkat Aurel di Surabaya!”
“Dan memberikan mereka uang lagi! Kamu mau menghabiskan kekayaan Ayah dengan hal-hal yang sama sekali tidak penting!”
“Mereka butuh bantuan, Kak! Lagipula aku tidak pernah meminta uang kepada Ayah untuk semua kegiatanku ini. Aku pakai uang sakuku sendiri, itupun sudah lebih dari cukup. Aku hanya ingin mereka tersenyum sama seperti aku”
“Yah, kamu membuat mereka tersenyum dengan mengorbankan senyum keluargamu. Ayah, Bunda, kamu mengorbankan senyum mereka. Lihat, rasakan! Semenjak kamu bertingkah sekonyol ini, pernahkan Ayah Bunda memberi senyuman bangga padamu, seperti yang dulu selalu mereka lakukan padamu. Kebanggaan akan kehadiran seorang Putri yang amat dinanti-nantikan keluarga Wiriatmoko. Senyum dan kebanggaan itu telah lama hilang, Manis! Sadarlah dan kembali pada kehidupan nyatamu sebagai Putri keluarga Wiratmo yang terhormat!”
“Kakakmu benar, Aurel! Sudah cukup kamu bermain-main dan mengecewakan keluargamu ini dengan bergaul di lingkungan-lingkungan kumuh itu. Apa kamu tidak mengerti betapa malunya Ayah pada rekan-rekan Ayah yang membicarakan tingkah laku kamu di jalanan bersama gembel-gembel itu?! Kalau kamu terus seperti ini, keluarga Wiratmo bisa kehilangan martabat dan kehormatan yang telah susah payah Ayah bangun sedikit demi sedikit. Seharusnya kamu…”
“Cukup! Seharusnya kamu… Seharusnya kamu… Tubuh ini punya aku Ayah! Tuhan memberikannya untukku dan Dia juga yang menuntun jalanku lewat hati yang dilengkapi dalam tubuhku. Apa ada yang salah?! Aku ingin melihat mereka tersenyum, Ayah. Hanya itu. Setelah itu aku bisa pergi tanpa beban. Aku bukan ingin membangkang. Aku hanya ingin menjadi aku tanpa paksaan siapapun”
“Hebat! Putri Ayah sudah pintar melawan rupanya! Kata-katanya pun manis! Bagaimana kalau kamu jangan lagi pulang ke rumah ini?! Agar kamu bisa menggunakan tubuh kamu tanpa paksaan siapapun dan tanpa bantuan siapapun termasuk Ayah!”
“Itu perintah yang sudah lama saya tunggu, Tuan Wiratmo!”
Entah kenapa, kujatuhkan koper-koper yang semula menempel di tanganku ke lantai. Aku berlari menaiki puluhan anak tangga dan mendapati Bunda sedang menangis di sudut kamar sembari mendengar keributan di bawah.
“Bunda, Aurel minta maaf! Aurel tidak bisa membahagiakan Ayah dan Bunda! Aurel egois dan durhaka! Tapi semua itu Aurel lakukan karena Aurel ingin bangsa ini berubah, semua rakyatnya tersenyum bahagia. Bukan hanya rakyat kaya seperti kita, rakyat miskin juga berhak memiliki senyum itu meski sesaat. Aurel tidak pernah mengecewakan Ayah Bunda tanpa alasan”
Kukecup kening Bunda yang penuh dengan keringat akibat tangisannya yang tak mampu terbendung lagi.
“Bunda, selamat tinggal!”
* * *
“Sekarang kamu tahu kan, kenapa aku terbaring seorang diri di kamar ini. Sampai saat ini mereka tidak tahu keadaanku. Aku meminta William untuk tidak menceritakan keadaanku pada siapapun sebelum aku benar-benar mati”
“Hush! Kamu jangan bicara seperti itu lagi!”
“Heekkk…”
“Aurel!”
“Ah, su… sudah pergi sana! Katakan pada dokter bedah kalau operasinya sudah dapat dimulai!” ucapku terengah-engah sembari menahan sakit yang amat sangat di dadaku.
“Operasi apa?!” tanya Ani panik.
“Jangan banyak tanya lagi! Pergi sana!”
Ani melangkah menuju pintu keluar. Wajahnya telat dibanjiri airmata kesedihan. Sesekali ia menoleh ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, Ani! Jangan khawatir!”
Sepeninggal Ani, tak lagi kuseka airmataku. Kubiarkan ia mengalir sampai mengering dengan sendirinya. Aku harus lapang. Aku harus ikhlas.
“Tuhan, aku lapang! Aku ikhlas! Aku berikan airmata terakhirku untuk senyum dunia…”
* * *

Sayup-sayup kulihat sosok Raisya bermain di bawah pepohonan rindang di taman rumah panti yang dulu kudirikan saat tinggal di Surabaya. Dia sudah tidak menangis lagi, dia tersenyum bahagia sekarang. Tawanya menggema menyelimuti semua ruangan panti. Dia dapat berlari dengan ringan dan tanpa keraguan akan jatuh lagi. Yang terpenting dia punya sorot mata sekarang. Mata yang beberapa hari lalu masih berliang di wajahku.
Ah, bahagianya melihat Raisya tersenyum.
Kuarahkan pandanganku ke tempat lain, tempat dimana keluargaku berada saat ini. Lho?! Itu kan?! Pejabat Depdiknas yang biasa membantuku menjadi guru bantu di luar kota.
“Saya turut berduka cita atas meninggalnya putri Bapak dan Ibu Wiratmo! Maaf saya tidak sempat menghadiri pemakaman Beliau”
“Apa?! Meninggal?! Putriku?!” teriak Ayah terkejut. Bunda terlihat menghuyung pingsan dan jatuh di sofa.
“Jadi Bapak dan Ibu tidak tahu perihal kematian Aurel dua hari yang lalu!”
Ayah menggeleng lesu sambil menahan airmatanya yang hendak jatuh.
“Putri Bapak begitu mulia. Diakhir hidupnya ia masih memberikan senyum kepada orang lain. Raisya, seorang anak yatim piatu yang buta kini sudah dapat melihat dengan normal berkat donor mata yang diberikannya. Kedua belah ginjalnya pun menyelamatkan seorang penderita gagal ginjal yang telah divonis berumur satu bulan lagi. Satu lagi, ini undangan Bapak Wakil Presiden yang ditujukan kepada Bapak Wiratmo. Bapak mendapatkan penghargaan dari Negara atas pengabdian Bapak kepada rakyat kecil dengan membangun panti di berbagai daerah dan membantu lebih 1000 orang anak agar memperoleh pendidikan yang layak”
“Apa?!”
Ah, sekarang Ayah dan Bunda bisa kembali bangga. Mendapatkan penghargaan dari Negara adalah impian yang memicu Ayah bekerja giat membangun usahanya. Sekarang mereka mendapatkannya. Jadi, tidak sia-sia aku mengerjakan semua kegiatan sosial ini atas nama Ayah.
Tapi sayang, aku sudah tidak dapat melihat kebahagiaan mereka dari dekat. Hanya dari sini. Langit berbintang yang jauh di balik awan. Aku bisa merasakan senyum itu merekah di antara pedihnya kehilangan diriku.
* * * TamaT * * *

Detik-detik Perubahan Dunia

By, Ressa Novita (Ocha)

Dunia ini berubah
Segalanya berubah
Tidak tersisa suatu apa
Yang tertinggal untuk ku bernafas kekal

Detik lalu aku tertawa
Mendengar banyak tawa
Tertawa bersama
Saat itu aku tahu aku tak sendiri
Mereka ada untukku

Detik berikutnya aku merenung
Mendengar tawa yang perlahan
Tenggelam dalam dusta
Saat itu aku tahu aku telah sendiri
Mereka bukan untukku

Tapi aku mengerti dunia
Setiap bagian darinya layak berubah
Tak terkecuali hidupku

Detik kini aku menangis
Mendengar apa yang tak terdengar
Terdiam sendiri
Namun saat ini aku sadar
Aku tak pernah sendiri dalam kesendirian

Dunia ini memang berubah
Dan akan terus berubah
Tapi bukan berarti
Senyumku ikut berubah
Karena aku tak sendiri
Tuhan bersamaku
Dan Ia memintaku demikian

Selamanya Pergi

By, Ressa Novita (Ocha)

mungkin adalah wajah yang tak lagi dapat kulihat dengan seksama
telah hilang dari pandangan
sekalipun mataku berkeliling mencari

waktu menjadi dinding pemisah
jarak bukan suatu alasan
hati yang telah dewasa
yang merubah segalanya

bukankah Tuhan yang menggariskan arah?
bukankah ia yang menumbuhkan cinta?
tapi kenapa ia tidak menjaga rasa?

cukup jiwa yang luka karena kecewa
hati ini telah pahit untuk terbuka

haruskah aku merintih pedih?
haruskah aku menangis sedih?
jika apapun lakuku
tetap membuat masa yang lalu
tak akan pernah kembali

Sebelum Akhir

By, Ressa Novita (Ocha)

Segala sesuatu di dunia ini bukan tanpa ujung
Apa yang hadir bukan untuk selamanya

Mungkin detik ini atau esok hari
Akan ada yang merapuh dan hilang tertelan waktu

Tangan manusia untuk meminta
Tapi tidak untuk berkuasa

Tuhan
Hanya Ia yang akan menentukan
Akhir dari setiap benda ciptaanNya

Karena terbatasnya waktu
Biarlah aku berkata
Engkaulah cahaya dalam hidupku yang singkat ini