Senin, Desember 22, 2008

Cinta Fisik

cinta itu punya satu sifat yg tersembunyi, fisik.
fisik yg terlihat dg mata, fisik yg tersentuh oleh perasa dan fisik yg terdengar lewat telinga.
fisik terabaikan karena hati mengambil alih.
seolah cinta adalah hasil reaksi hati, padahal semua rekayasa utk menutupi kebobrokan cinta.
tak ada satupun cinta sejati dijutaan pasangan abadi.
tapi ada jutaan cinta sejati antara anak dan ibunya, tanpa fisik, dg hati.
(Ressa Novita/Ocha)

LOVE U MOM

Senin, Desember 15, 2008

FORGIVE WORD FOR NE

i saw him in my dream
when i feel doubt who is my prince
not only once, the unknown figure
hold my heart up to my soul

with a slight hope
on the night i pray
dear, my dream prince
please coming when i open my eyes

apparently, God answered my prayer
or, it just the working fate

everyday my sun was coming
my dream prince was taking the form
of the real shape but illusion
he wasn't only in my dream

there's not aprince in my dream only again
i've already saw him come to me
my heart call him Ne
for each his sweet word for me

there're days that a few change in my life
there's figure that a few influence my heart
altought, everytime i doubt
there's feeling that a few increase my smile

but, when he said honest loving me
i snapped out and wake
this is other beautiful dream
that coming in to my real world with illusion shape

only one forgive word for Ne
i'm dreaming again !
in dream's enough for me to feel
i can't response your love

this companionship must end now
like the fate started it

i don't know what's the wrong
on condition that the time will never stop turning
i should come in to walk my life
looking for the real life, not imagine

only one forgive word for Ne
the fate asked us to met in dream world
dream's only for decorate the days
it will never be useful for me

only one forgive word for Ne
i have to go now
looking for my true prince
who will wake me up on tomorrow morning

only one forgive word for Ne
i hope you always remember me
coz in my life book
i have one special page about you

By, Ressa Novita (special for Nepathaya)

Minggu, Desember 14, 2008

TELL GOD !

Tell God what i need !
Kasih yg sungguh kasih
Tulus yg sungguh tulus

Tell God what i want !
Senyum yg memang senyum
Tawa yg memang tawa

Tell God what i miss !
Takdir yg benar takdir
Dekat yg benar dekat

Tell God what i try to find !
Cinta sebatas cinta
Jujur tak sebatas kata

And tell God what i get now !
Yg kucari, yg datang mencari
Kutinggal pergi karena alasan tak pasti

(by, ressa novita / ocha)

Kamis, Desember 11, 2008

TAKUT SENDIRI

Takut...
Takut...
Takut...
Aku melangkah sendiri
Sepi...
Sendiri...
Katanya Tuhan beserta setiap langkahku
Ya, aku tidak menyangkalnya
Kulihat Ia dengan batinku
Kurasa sosokNya dengan hatiku
Tapi, kadang sepi menggaung lbh dalam
Takut...
Aku rindu
Berjalan bersama dia yang dapat kulihat dengan penglihatan
Yang dapat kurasa dengan sentuhan
Aku rindu tapi lebih takut
Jika selamanya aku hidup dalam kesendirian yang sepi ini
(by, Ressa Novita/Ocha)

Rabu, Desember 10, 2008

KETIKA AIR MENGERING

Aku menangkap sejuk dr sengat panas sinarmu
Sejuk memantul di wajahku, beri nafas penghidupan lain jiwa
Aku mengering bersama kelopak-kelopak mawar dalam kebahagiaan
Menanti maut saat egomu menghancurkan
Aku berdoa tiap pagi kunikmati megahmu
Memohon maut meremukku dalam kebesaran jiwamu
Bawa hatiku terbang lewat sisa raga halusku
Tanpa nafas, aku kan berbaring sejenak di sisimu
Dengan pasrahku menunggu sentuhanmu
Dalam cintaku untukmu
Kurela mengering dalam pelukanmu

(By, Ressa Novita / Ocha)

Selasa, Desember 09, 2008

Tak Seperti Bintang

Ternyata hidup ini kepalsuan

Bintang dikagumi karena menawan
Bukan bagaimana bintang berarti bagi malam

Sama seperti manusia

Manusia dicintai karena rupawan
Bukan bagaimana manusia memaknai ketulusan

Maka tamatlah aku yang tak seperti bintang
Tanpa cinta
Selamanya ku kan hidup dalam kesendirian

(Ressa Novita/Ocha)

MAKNA CINTA

Cinta adalah ketika aku terbangun dipagi hari
Dan teringat akan senyumnya
Cinta adalah ketika aku melangkah dibawah sinar mentari
Dan berharap akan melihat sosoknya
Cinta adalah ketika aku merenung dikala senja
Dan merasakan kepribadiannya

Cinta...
Seperti waktu yang mengiringi langkahku
Seperti sinar yang menerangi jiwaku
Seperti doa yang menegarkan hatiku

Maka cinta adalah ketika malam bersanding bumi
Lalu aku memanggil ruh mayanya untuk hadir dalam mimpi tidurku
Setiap saat, sampai cinta yang tak abadi memutuskan untuk pergi
(Ressa Novita/Ocha)

Kamis, November 20, 2008

Surat Cinta Alice

By, Ressa Novita (Ocha)
Goreskan pena mu di atas selembar kertas biru… Layangkan untukku bersama namamu… Maka aku akan merasakan… Keindahan cinta yang kini melekat di hidupmu…

“Pos!!!”
“Terima kasih, pak!”
Minggu pagiku yang cerah diawali dengan datangnya surat cinta dari sahabatku, Alice, yang saat ini berada jauh di Biak.
Sambil berjalan masuk ke teras rumah, aku merobek amplop putih itu dan mengeluarkan selembar kertas putih dari dalamnya. Dengan hati-hati kubuka lipatan kertas tipis itu dan membaca tulisan berpena biru itu dengan seksama.

Dear Ariessa,
Akhirnya hari ini datang juga. Ini adalah surat cinta yang pernah kita sepakati 5 tahun yang lalu…

Yup! Ini bukan sembarang surat cinta. Kesepakatan yang pernah aku buat bersama sahabatku 5 tahun yang lalu, surat cinta adalah surat yang akan mengabarkan satu sama lain tentang cinta yang kami rasakan dan kami yakinkan untuk selamanya.Keyakinan besar akan cinta yang sulit untuk didapatkan. Tapi hari ini untuk pertama kalinya surat itu datang diantara kami.

…tapi sebelum itu bagaimana kabarmu, Ka Ardon dan teman-teman yang lain, Floren, Febrian, Aldi, Anne, Erick, my sweet brother Ka Ajie, Ka Hedy, Ka Iyos, Ka Beni, Ka Reki, dan Ka Odie? Kalian pasti baik-baik saja kan? Aku sangat merindukan kalian semua. Oh iya, bagaimana keadaan my prince Gama…

Aku melipat kembali surat yang belum selesai kubaca itu setelah membaca nama Gama menghiasi kalimat di kertas itu. Nama itu mengingatkanku pada masa-masa sekolahku bersama sahabatku.
Alicia Martina Leva, yang biasa kupanggil Alice adalah seorang gadis yang terlihat begitu dewasa, anggun, penuh percaya diri dan selalu menginginkan kesempurnaan. Ia baru merasakan kenyamanan di sekolahnya sendiri, ketika ia bertemu denganku dan orang-orang yang namanya disebutkan di surat itu. Tapi paling membuatnya mengagumi bahkan memuja SMU Gaeshiera adalah seseorang yang bernama Gama Abife Farghesa.
Di tahun keduanya di sekolah swasta itu, Alice yang saat itu menjabat sebagai ketua klub Tari bertemu dengan Gama salah seorang anggota klub basket.
Biasanya Alice senang menghabiskan waktunya di sekret klub tari bersamaku, Anne dan Floren yang sama-sama bergelut di klub yang sama. Tapi, siang itu Anne dan Floren tidak menampakkan batang hidung mereka dan karena bosan aku mengajaknya ke sekret klub Basket yang letaknya tepat disebelah sekret klub tari. Aku punya banyak teman di klub ini, selain itu kakakku adalah kapten klub Basket ini, namanya Ka Ardon. Di sanalah untuk pertama kalinya Alice bertemu dengan Gama.

Alice, kita duduk disini aja!” pintaku sambil menarik Alice dengan sedikit memaksa untuk bergabung bersama beberapa anggota klub Basket. ”Ehm… Boleh ga kami numpang duduk disini?” tanyaku basa-basi pada Erick yang saat itu sedang santai-santai sambil mendengar musik.
“Tentu saja! Masa sih adik kesayangan pak kapten tidak boleh main disini! Duduk disebelahku, Rica sayang!” jawabnya ramah sambil membetulkan kursi disebelahnya.
“Ariessa Rislany! Bukan Rica! Emangnya makanan!” protesku sambil menggeser kursi yang tersedia untuk…
“Riessa!!! Jauh-jauh dari Erick!!! Pria itu beracun!!!” teriak Ka Ardon yang suaranya menggema dari ruangan bagian dalam. (Warning : Riessa panggilan sayang My Sweet Brother, Ka Ardon). Tentunya aku menggeser kursi untuk mencegah teriakan tadi, tapi…ya sudahlah…
Berusaha untuk tidak menghiraukan teriakan kakakku, seketika aku pun asik berbincang dengan pria tampan yang selalu berjaket biru itu. Dan Alice.
Lho?! Kenapa suara Alice tiba-tiba menghilang dari peredaran telingaku?! Menyadari hal itu aku memutar badanku kesegala arah untuk menemukan di mana Alice duduk. Dan aku segera menemukannya asik berbincang dengan seorang anggota klub basket bernama Gama.
Selama ini aku selalu tak sungkan bergabung dengan teman-teman kakak di klub Basket, karena aku akrab dengan mereka semua. Tapi Gama, aku tidak terlalu mengenalnya, bahkan aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Gama terlihat dingin, pendiam dan tidak mudah akrab dengan orang lain. Aku jadi malas mendekatinya. Karena itu aku sedikit terkagum-kagum melihat kedua orang itu tiba-tiba ngobrol asik tanpa memperdulikan apapun disekitar mereka.

Hari-hari berikutnya sejak kejadian itu aku masih melihat kewajaran dalam diri Alice. Si Miss Pe-De ini terus menggoda Gama dengan daya tariknya. Alice yang biasanya, memang seperti itu bila sudah menangkap kelebihan tampang seorang pria. Dan aku akui komentar Alice benar, Gama punya wajah yang sangat manis apalagi dipadukan dengan kulit gelap dan matanya yang indah.
Tapi keadaan itu tak bertahan lama. Kira-kira satu bulan kemudian, aku mulai melihat gelagat aneh Alice didepan pria itu. Ia menunduk malu dan tak jarang salah tingkah setiap kali bertemu dengan Gama. Bahkan setiap Alice melihatnya dari kejauhan, ia selalu histeris malu-malu.

“Gama?! Oh, my God! Oh, my God! He’s so sweet!”

Komentar manis yang disertai dengan wajah memerah tentunya.
Perlahan tapi pasti, Alice mengakui bahwa ia menyukai Gama, bahkan perasaannya mungkin lebih dari sekedar suka.

“Ariessa!!!”
Alice berlari cepat kearahku yang sedang asik melamun sendirian di sekret klub Tari.
“Kenapa sih?” tanyaku bingung.
“Gama! Gama!” Alice mendesahkan nama pria itu pelan sambil mengatur nafasnya. “Manis! Manis banget! Dipadukan dengan topi dan jaket hitamnya. Hari ini dia manis banget!”
“Yee… Kirain kenapa” jawabku kecewa.
“Ar, kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia!”
“Udah tau tuh!” kataku santai tak menghiraukan.
“Lho?! Kok reaksi kamu gitu sih?!”
“Ga usah kamu kasih tau, aku juga udah tau, Ne!”
“Aku kan baru kasih tau kamu hari ini, kenapa kamu bisa tau duluan?”
“Seorang Alice yang penuh percaya diri, riang, yang selalu mudah beradaptasi dengan siapapun, yang pintar, dewasa, bijaksana dan penuh wibawa. Dalam hitungan detik berubah menjadi Alice yang tidak aku kenal, yang pemalu, mudah gugup, selalu kehilangan kata-kata dan bertindak ceroboh setiap kali bertemu dengan manusia bernama Gama. Bukankah itu berarti ada sesuatu yang terjadi didalam dirimu?! Kalau bukan cinta, apalagi?!”
“Ariessa, terus aku harus gimana?” rengeknya cemas.
“Ya, ga harus gimana gimana! Tapi cuma satu hal yang bikin aku bingung. Apa kamu sudah tidak mencintai Arga lagi?!”
Alice terdiam, seolah tak ada kata yang dapat menjawab pertanyaan itu.

Arga, teman cowok Alice sejak Alice masih duduk di bangku SMP. Sebelum dilanda virus Gama, aku masih mendengar Alice bercerita tentang pria yang belum lama ini kembali dekat dengannya dan Alice pun mengaku sangat mencintainya. Namun semakin sering mereka bersama, semakin tidak jelas hubungan mereka. Alice yakin Arga juga mencintainya dari perhatian dan pengorbanan yang diberikannya selama ini, tapi Alice tidak pernah berhasil membuat Arga mengungkapkan perasaannya. Sampai akhirnya Alice mengeluh bosan.
Dan sejak kemunculan Gama, aku merasa perlahan sosok Arga mulai menghilang dari ingatan Alice, terlihat dari frekuensi Alice menyebutkan nama Arga yang kalah rekornya dengan nama pria pendatang baru itu (Gama pendatang baru didunia Alice, maksudku) . Bahkan tanpa ragu Alice meninggalkannya cinta yang tak pasti itu. Dengan kata lain, kali ini Alice benar-benar serius dengan perasaannya.

“Ka, Gama itu orangnya seperti apa sih? Baik ga? Dia udah punya pacar belum?”
“Riessa!!!” melongo aneh.
Reaksi kakakku sedikit membuatku tersentak kaget. Sedikit.
“Enggak! Kakak ga ijinin kamu jadian sama anak itu. Ga cocok tau! Kakak malah lebih setuju kalo kamu jadian sama Samuel, dia tuh baik, romantis, perhatian dan penyabar, cocok banget deh sama kamu”
Samuel?! Siapa?! Ga kenal!
Ah, sudahlah! Ga penting!
“Kakak, bukan aku tapi Alice”
Ka Ardon terdiam mendengar kata-kataku.
Aku mengerti dan memaklumi reaksinya kali ini, karena kakakku sempat mengagumi seorang Alice, tapi dia sudah punya Rini, apapun yang terjadi Ka Ardon tidak boleh melukai gadis pilihannya itu.
“Ka…” panggilku untuk menghentikan keheningan yang dibuatnya.
“Gama itu pria yang baik tapi dia sangat tertutup pada orang lain. Dia sudah punya pacar atau belum? kakak ga tau, karena seperti yang kakak bilang, dia sangat tertutup. Kayaknya sih belum. Tapi satu hal yang menarik dari Gama, sampai-sampai kakak ga bisa tidur dibuatnya, dia itu terlalu manis. Gama…Oooh…Gama…”
“Kakak… masih normal kan???”

Rasa suka Alice terhadap Gama membawa kebaikan lain, ia pun bertambah akrab dengan sebagian anggota klub basket. Mereka adalah nama-nama yang disebutkan Alice dalam suratnya. Bahkan Ka Ajie salah seorang alumni klub basket yang semula tidak dikenalnya sekarang sudah seperti kakaknya sendiri. Ini terjadi karena keinginan Alice sendiri yang awalnya berharap akan dapat mengorek keterangan tentang Gama dari mereka. Beberapa dari mereka setelah tahu hal itu tidak berdiam diri, mereka melakukan berbagai macam cara untuk memperdekat Alice dan Gama.
Salah satunya yaitu ketika suatu hari dari kejauhan aku menyaksikan Alice duduk berdua dengan Gama. Saat itu aku tersenyum bangga, aku pikir Alice ada sedikit kemajuan. Tapi tiba-tiba dari belakangku muncul Ka Ajie dengan senyum nakalnya yang ditujukan ke arah mereka. Entah apa yang telah dilakukan Ka Ajie, tapi aku sangat berterimakasih atas usahanya sehingga seorang Gama yang sangat disukai Alice saat itu juga duduk dan tersenyum manis didekatnya.
Semakin hari baik sengaja maupun tidak disengaja, keajaiban selalu datang mempertemukan Gama dan Alice. Alhasil, hubungan mereka berdua semakin dekat. Tapi satu hal yang tidak pernah sekalipun berhasil diatasinya adalah bersikap tenang didepan Gama.
Dengan dukunganku dan yang lain, Alice menumbuhkan tekad suatu saat akan menyatakan perasaannya pada Gama. Selain itu Alice selalu mewujudkan perasaan sayang dan perhatiannya kepada Gama tanpa henti. Sekaleng Pocari yang selalu diberikannya sehabis latihan rutin adalah salah satunya. Itulah yang membuat kami bangga. Alice selalu berusaha dan tidak pernah menyerah. Aku semakin semangat membantu Alice.

“Satu tiket aku hadiahkan untukmu. Filmnya bagus lho!”
“Malas ah, nonton sendirian”
“Ya, enggaklah. Aku, Floren, Febrian dan Ka Ardon juga ikut. Kita ketemuan jam 7 di depan Mc D. Oke!”

Tiket itu hanya alasan agar Alice dapat kencan berdua dengan Gama. Dengan bantuan Ka Ardon, satu tiket lagi sudah berada ditangan Gama. Dan aku yakin Alice tidak akan mengecewakan pengorbanan kami. Dia pasti menyatakan perasaannya malam itu.
Tapi kenyataan berkata lain. Hari itu juga Alice kehilangan semangat dan tekadnya. Alice merasa tidak lagi memiliki harapan untuk meraih cintanya itu.

“Apa?! Jadi semalam kamu ga ngomong apa-apa ke dia?” marah Ka Ardon.
Alice hanya menggeleng pelan dengan penuh penyesalan.
“Biar aku pergi tanpa pernah dia tahu perasaanku” ucapnya sendu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?!” tanya Ka Ardon kesal.
“Pergi?! Pergi kemana maksudmu?!” tanyaku melanjutkan pertanyaan Ka Ardon.
“Aku harus meninggalkan kota ini, selamanya”
Pernyataan Alice saat itu juga membuatku dan Ka Ardon tak sanggup berkata-kata.

Karena beberapa hal, orangtua Alice memutuskan untuk kembali ke kota asal mereka di Manado dan meninggalkan kota yang telah menghidupi mereka selama 6 tahun ini. Alice tidak dapat menolak keputusan itu, karena bagaimana mungkin Alice dapat tinggal di kota ini tanpa kedua orangtuanya.

“Tapi kamu harus menyatakan perasaanmu!”
“Buat apa?! Toh aku akan pergi!”

Rencana keberangkatan Alice membuat semuanya berakhir. Hari-harinya menjelang keberangkatannya pun diwarnai dengan kesedihan. Dan Alice memutuskan untuk mundur sebelum sempat maju ke garis start. Teman-teman pun tidak dapat berbuat apa-apa setelah mendengar rencana kepergiannya itu. Tapi tidak bagiku.

Aku akan membuktikan bahwa masih ada harapan.
“Dibalik kisah ini tersimpan sebuah harapan dari sebait doa tulusku. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi sekalipun itu hanya sebuah kisah dongeng. Nah, gimana kalau novel itu kamu baca dulu sebelum kamu berangkat!”
Sedikit malas ia membuka lembaran pertama. Tentu saja, karena membaca bukanlah salah satu dari hobinya. Tapi yang satu ini dia pasti suka.
Aku terus memperhatikannya membaca dengan serius, sesekali ia tersenyum, sesekali ia menatapku kesal. Tak sabar ingin mengetahui akhir kisah itu, ia tiba-tiba menutup buku itu dan membukanya kembali dari belakang. Di tariknya nafas dalam-dalam dan dibacanya halaman terakhir dengan penuh harap.

Di depan gerbang sekolah.
Setelah Alice menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam kepada pria manis bernama Gama. Alice akhirnya melangkahkan kakinya pelan kearah Taksi Bandara yang menjemputnya tanpa berani mengharapkan jawaban dari Gama. Tiba-tiba langkah Alice bertambah berat. Ia tahu alasannya, hatinya butuh jawaban namun ia tak berani kembali untuk bertanya, ia pun tak sanggup berhenti sesaat untuk menunggu.
“Gama, seandainya kamu berkata ‘iya’ tanpa ku bertanya. Aku akan melangkah kembali dan membatalkan keberangkatanku saat ini juga sekalipun tanpa seizin Mama” tekad Alice dalam batinnya.
Tapi sekali lagi dan mungkin untuk yang terakhir kalinya Alice mengubah tekad dalam batinnya.
“Ah, sudahlah! Mungkin ini jalan yang memang harus aku pilih, yaitu meninggalkanmu”
Alice menatap pintu taksi yang terbuka lebar tepat didepannya. Ditariknya nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam taksi. “Selamat tinggal, Jakarta!”
“Alice!!! Kembali!!!”
Perintah tegas yang tiba-tiba keluar dari mulut Gama seketika membuat Alice menghentikan gerak tubuhnya. Namun Alice tidak membalikkan tubuhnya, ia hanya terdiam kaget, tak percaya dengan suara yang baru saja didengarnya. Gama memintanya kembali.
“Alice… Aku akan mengatakan ‘aku mencintaimu’ jika itu dapat membuatmu tidak meninggalkan Jakarta selangkahpun! Kamu harus tetap disini! Alice… Jangan pergi! Aku tidak ingin kehilangan kamu!”
Tanpa disadari, airmata Alice telah mengalir melewati bibirnya.
“ALICE…. AKU JUGA MENCINTAIMU…. AKU SANGAT MENCINTAIMU….”
Tiba-tiba pelukan hangat mendarat ditubuh Alice. Alice menemukan wajah cantik mamanya yang memeluknya dengan mata berlinang.
“Nak, jangan pernah melakukan sesuatu dengan keraguan! Tentukan pilihanmu sekarang! Tinggallah disini, jika menurutmu itu yang terbaik!”
Alice tersenyum bahagia menatap sang mama yang akhirnya mengizinkannya tinggal di Jakarta lebih lama lagi.
“Pergilah, Nak!!! Temui pangeranmu!”
Segera, Alice membalikkan badannya, menatap lekat kearah Gama yang berdiri membelakangi teman-temannya yang lain. Dilihatnya kedua tangan Gama bergerak terbuka lebar, seolah mengundang Alice untuk segera mengisi pelukannya. Dan Alice mengerti isyarat itu. Gama bersedia membalas cintanya.
Berlari, Alice menghampiri pria yang tersenyum manis itu dan meraih uluran tangannya. Memeluknya dengan penuh kehangatan.

Ia menutup buku itu setelah selesai membaca akhirnya. Tanpa ia sadari airmata telah memenuhi wajahnya yang putih bersih. Ia menatapku dengan senyum haru dan menarikku kepelukannya, sesaat namun erat.
“Seandainya saja kisah itu dapat terwujud”
“Karena itu, jangan katakan tidak. Kamu harus menyatakan perasaanmu padanya! Karena tidak ada yang tidak mungkin” aku mendorong Alice masuk ke ruang klub Basket. “Katakan sekarang juga! Aku tahu kamu bukan gadis lemah yang gampang menyerah pada keadaan, Alice”
“Tapi, Ar, aku takut, bagaimana kalau dia…”
“Alice. Now or never!”
Alice dengan wajahnya yang pucat memasuki ruangan. Sesaat kemudian semua penghuni ruangan kecuali Gama meninggalkan ruangan itu, sebagian dari mereka yang tah permasalahannya menemaniku diluar. Aku berdiri cemas didepan pintu ruangan itu, sesekali kupekakan telinga agar terdengar pembicaraan mereka.
“Hei, kenapa kalian berdiri di depan pintu? Ayo kita ma…”
Aku menarik tubuh Ka Ardon menjauhi pintu masuk ruangan itu.
“Ka, Gama dan Alice didalam” bisikku.
“Berarti, novel yang kamu buat berhasil meyakinkan Alice untuk mengungkapkan perasaannya?”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Kamu memang adikku yang paling hebat!” pujinya sambil mengelus rambut panjangku.
Pujian Ka Ardon mengakhiri kebisingan tempat itu, sesayup kalimat terdengar dari dalam ruangan. Kalimat yang membuat kami semua tercengang kaget.
“Aku sangat senang mendapatkan perhatianmu selama ini, tapi saat ini bukan kamu gadis yang aku sukai. Aku tidak bisa membalas rasa sukamu”
Jawaban Gama atas pernyataan Alice.
Sesaat kemudian Alice berlari keluar dari ruangan klub sambil menangis.
Sebuah kisah yang telah menumbuhkan kembali semangat Alice, ternyata hanya sebatas goresan pena. Kenyataannya tidaklah seindah itu. Keadaan saat itu malah semakin memburuk dan semuanya karena aku, karena semangat salah yang telah aku berikan. Keputusan semula Alice benar, sebaiknya tak usah dikatakan, dan aku telah menghancurkan segalanya. Bahkan sampai saat ini aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Sudahlah, Ariessa, jangan menangis!”
“Tapi ini semua gara-gara aku!”
“Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Kamu benar karena telah membuatku kuat. Apapun yang terjadi, aku tidak peduli, yang penting kini aku merasa lega, aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, dan aku berhasil melakukannya karena kamu”
“Tapi kan…”
“Sudahlah, jangan buat aku semakin sedih”

Alice pun meninggalkan Jakarta dengan membawa luka hatinya. Tak seorang pun dari kami diijinkannya untuk mengantar sampai bandara, dia tidak ingin kami melihatnya menangis.
Tapi kami yakin suatu hari nanti Alice mampu melupakan Gama dan menyimpannya hanya sebagai kenangan. Sekaranglah bukti nyata Alice telah mendapatkan seseorang pengganti Gama dihatinya.
Tersenyum sejenak, aku kembali membuka lipatan surat itu dan melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Dan aku dikejutkan dengan kata-kata lanjutannya.

Tentu saja kamu tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Karena dia ada disini bersamaku.

“Apa?! Tidak mungkin!!!”
Akhir-akhir ini aku memang tidak lagi mendengar kabar Gama. Yang terakhir kudengar dari Ka Ardon, sekarang ia sudah menyelesaikan kuliah S1 nya dan bekerja berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Tapi, apa ini jawaban atas ketulusan cinta Alice untuknya selama ini?

Setibanya aku di Biak, aku bekerja di toko roti milik mamaku. Dalam waktu singkat toko roti itu mempunyai banyak pelanggan dan kelezatannya terkenal diseluruh pelosok kota ini. Toko roti ini pula yang 4 tahun kemudian mempertemukan aku dengan Gama. Gama dipindah tugaskan ke Biak, suatu hari dia melihatku didepan toko dan tanpa ragu menemuiku. Alhasil, perasaan ini dimulai kembali. Tapi kali ini bukan hanya perasaan sepihak, karena kami sudah bertunangan.
Semua ini juga karena kamu, Ariessa. Harapan yang kamu goreskan dalam kisah itu, memberikanku kekuatan untuk tidak berputus asa. Karena tidak ada yang tidak mungkin.
Nah, bagaimana dengan kamu? Kapan aku akan membaca surat cintamu? Aku sangat menantikannya.

Surat cintaku?! Aku sendiri tidak tahu kapan akan kukirimkan. Karena aku belum merasakan cinta seindah yang kau rasakan saat ini, Alice.
“Hiks hiks hiks… Gama dan Alice sudah bertunangan. Lalu bagaimana denganku. Huaaaaa…Alice…”
Lho?! Ternyata kakakku ikut membaca dibelakangku dan dia berteriak histeris setelah mengetahui kabar bahagia itu.
Setelah pisah dari Rini dua tahun yang lalu sepertinya Ka Ardon berharap suatu saat akan mendapatkan cinta Alice, tapi sayang sudah terlambat.
“Riessa… tinggal kamu seorang yang bisa mendampingi kakakmu yang malang ini! Jangan tinggalkan kakak ya, sayang!” pintanya sambil memelukku erat-erat.
“Pos!!!”
Kami terhentak kaget mendengar suara pak pos yang kali ini melengking aneh.
Aku segera menghampiri si tukang pos yang datang untuk kedua kalinya itu.
“Lho, pak?! Kok datang lagi?! Ada yang tertinggal?”
“Ada satu surat lagi untuk Nona Ariessa! Ditambah dengan setangkai mawar merah ini” jawab pria itu sambil menyerahkan surat beramplop merah muda serta setangkai mawar merah.
“Dari siapa, pak? Kok ga ada perangkonya?”
“Dari aku!”
Seorang pria berpakaian rapi dengan jaket birunya tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Masih ada kesempatan untukku mencintaimu, Rica?”
“Erick?!”
“Didalam surat itu aku mengabadikan cintaku dan menunggu balasan darimu…”
Aku menatap Erick sedikit bimbang. Berawal dari kebetulan kami melanjutkan di universitas yang sama hubungan kami semakin dekat. Sampai saat ini aku sangat mencintainya tapi dia tidak pernah memberiku kepastian tentang ungkapan perasaanku selama ini.
Beberapa minggu yang lalu aku memutuskan untuk melupakannya. Karena aku pikir selama 5 tahun ini aku hanya terlalu melebih-lebihkan sikap manisnya padaku. Tapi sekarang dia tiba-tiba datang padaku. Mengucap kata yang selama ini aku nantikan. Apa aku punya keberanian untuk menolaknya?
“Ariessa Rislany! Bukan daging Rica-Rica! Tapi aku senang hanya kamu yang memanggilku seperti itu” senyumku penuh arti. “Masuk! Kita ngobrol didalam”
Alice, mungkin pria ini yang suatu saat nanti akan kutuliskan namanya didalam surat cintaku untukmu.
Mengiringi langkah Erick memasuki ruang tamu, aku tersenyum nakal penuh arti kepada pria sister complex (pecinta adik sendiri) itu.
“Oh, tidak!!! Erick, sekali lagi aku peringatkan!!! Jangan rebut adikku!!!”
“Siapa elu nyuruh-nyuruh gua?!” balas Erick tersenyum riang.

♥ TaMaT ♥

Mencari

By, Ressa Novita (Ocha)

Tiap langkah kumencari
Lelah mendaki
Beralas api menelusuri
Tuk segenggam debu yang berarti

Namun kecewa kudapati
Hanya ada debu tak berjiwa dan mati
Setinggi gunung kukantungi
Tak membuatku hidup barang sehari

Bukan hanya sekali
Sampai jenuh kumemaki
Menumpah ruah gejolak hati
Ternyata tak ada yang abadi

Yang kukejar dengan airmata
Malah lari menghindar

Yang datang tanpa kuundang
Pergi dan tak kembali

Seolah hidup ini hanya waktu sesaat
Untuk berbagi lalu lekas pergi
Tak perlu rasa untuk mengenang
Tersisa pahit tuk diingat

Aku masih mencari
Masih akan membuat alami
Yang datang biarlah datang
Yang pergi bergegaslah pergi

Hanya sebelum nafasku berakhir
Aku ingin ada untukku
Mengungkap hati
Yang benar abadi

Satu Hari Lalu

By, Ressa Novita (Ocha)

Satu hari lalu aku berdiri disini, disampingmu
Menikmati nyamannya hidup yang ternyaman
Mungkin memang aku hanya terdiam menemanimu terdiam
Tapi hatiku tak pernah sedetikpun terdiam
Untuk mengucap syukur pada sang waktu
Akan saat-saat bersama yang ia berikan

Satu hari lalu aku berdiri disini, menatap wajahmu
Menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang terindah
Mungkin memang dirimu bukanlah bintang, bukan pula pelangi
Tapi hatiku tak pernah sekalipun berhenti
Untuk memuji indah sinar di wajahmu
Yang kau sampaikan lewat senyum di bibirmu

Satu hari lalu aku berdiri disini, mendengar suaramu
Menikmati lembutnya suara yang terlembut
Mungkin memang dibaliknya tak tersimpan keistimewaan
Tapi hatiku tak pernah sekalipun berdusta
Saat mendengar suaramu kurasakan kehangatan

Satu hari lalu aku terdiam disampingmu, menatap indah sinar wajahmu, mendengar lembut suaramu
Namun seribu hariku telah berlalu, tak lagi tersisa saat-saat itu

Hari ini dan hari-hari berikutnya
Aku berdiri disini, sendiri
Menikmati sepinya dunia yang begitu sepi
Mungkin aku terlihat tanpa rasa
Tapi hatiku tak pernah berhenti berbicara
Kini aku adalah jiwa yang telah berbeda tanpamu

Pernah Terlahir UntukMu

By, Ressa Novita (Ocha)

Ketika musim salju pergi, aku kehilangan dirinya dan menemukanmu dalam indahnya semi

Aku merasakan yang kamu rasakan lewat udara pagi dunia yang kita hirup bersama
Dengan itu aku tahu kita berpijak pada bumi yang sama
Aku mengenal suaramu lewat hembusan angin sore
Dengan itu aku merasa nyaman setiap kali mendengar senandungmu
Dan aku melihat wajahmu lewat gugusan bintang malam hari
Dengan itu aku dapat membawamu menghabiskan mimpi

Aku tidak tahu siapa kamu?
Kamu tidak pernah memberitahu aku siapa kamu!
Aku tidak tahu saat ini kamu ada dimana dan sedang apa?
Kamu tidak pernah menunjukan seperti apa hidupmu!
Tapi aku selalu merasa kamu milikku

Aku telah jatuh cinta
Dengan kamu yang tidak pernah nyata disisiku
Dan hatiku menjawab IYA dengan tidak membiarkanku sedetikpun melupakanmu
Tapi bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan kamu yang tidak aku kenal lebih dari kabar merpati?

Kecuali, mungkin aku pernah terlahir untukmu
Kamu adalah cinta dihidupku sebelumnya
Belahan jiwa yang pernah hilang
Yang sekarang menuntut kesetiaan yang pernah terikrar

Aku jatuh cinta padamu!
Aku menginginkanmu lebih dari hari ini
Tapi aku tahu kamu tidak ada dimanapun mataku mencari
Aku tidak tahu kamu berada di belahan bumi sebelah mana

Apa yang harus aku lakukan jika suatu saat rasa ini tak dapat kutahan lagi?!
Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk dapat memelukmu?!

Kata Maaf Untuk Ne

By, Ressa Novita (Ocha)

Aku melihatnya di mimpi
Kala ku ragu siapa pangeranku
Tak hanya sekali
Sosok yang tak kukenal
Memeluk hatiku hingga kekalbu

Tipis aku berharap
Dalam malam kuberdoa
Wahai pangeran yang tak kukenal
Datanglah saat mataku tak lagi terpejam

Ternyata Tuhan kabulkan doa
Atau memang sekedar takdir yang bekerja

Setiap kali mentariku datang
Pangeran mimpiku menjelma
Dalam bentuk nyata namun maya
Ia bukan lagi mimpi

Tak lagi hadir pangeran di malamku
Aku telah melihatnya datang padaku
Hatiku memanggilnya Ne
Atas setiap kalimat manis yang ia berikan

Ada hari yang sedikit berubah dalam hidupku
Ada sosok yang sedikit mempengaruhi hatiku
Meski setiap saat ku ragu
Ada rasa yang sedikit menambah senyum di wajahku

Namun, saat ia mengucap tulus mencinta
Aku tersentak sadar ini mimpi indah
Yang datang ke dunia nyata
Tapi berwujud maya

Hanya satu kata maaf untukmu Ne
Aku bermimpi lagi
Dalam mimpi cukup ku merasa
Tak bisa ku membalas cinta

Pertemuan ini harus berakhir
Seperti ketika takdir memulainya

Entah apa yang salah
Hanya saja waktu tetap berputar
Aku harus kembali memulai hidup
Mencari kenyataan bukan khayalan

Hanya satu kata maaf untukmu Ne
Takdir meminta kita bersua dalam mimpi
Mimpi hanya untuk penghias hari
Dan tak akan bagiku menjadi berarti

Hanya satu kata maaf untukmu Ne
Aku harus pergi
Mencari pangeranku yang sejati
Yang akan membangunkanku esok pagi

Airmata Terakhir Untuk Senyum Dunia

By, Ressa Novita (Ocha)
Arghhh! Nafasku sesak, dan ini sudah yang ke sejuta kalinya kurasakan. Kutatap langit-langit kamarku. Gelap, dingin, dan sepi. Beberapa saat yang lalu lampu ruangan ini terang benderang, sedikit lebih hangat, tapi entah kenapa wanita berpakaian putih yang tidak kukenal tiba-tiba memasuki kamarku dan mematikannya. Padahal yang membayar listrik di gedung ini kan bukan dia tapi kakak sepupuku, William, pemilik Rumah Sakit ini.
Mataku mulai terbiasa dengan sedikit cahaya yang menyembul dari luar kamar lewat pintu yang setengah bagiannya terbuat dari kaca. Kulirik jam dinding yang menggantung di depanku.
Jam setengah 9 malam. Sebentar lagi waktunya tiba. Mudah-mudahan Raisya cepat datang. Aku sudah tak sabar ingin melihat gadis mungil itu tersenyum.
“Aurel, Raisya sudah datang!”
Ani, suster cantik yang usianya satu tahun lebih muda dariku datang dengan baki obatnya yang terbuat dari aluminium berukir cantik.
“Raisya sekarang dimana, An? Oh, jangan nyalakan lampunya. Kegelapan membuatku sedikit lebih nyaman!”
Suster Ani yang sudah siap menekan sakelar lampu segera mengurungkan niatnya.
“Raisya ada di kamar Mawar, dia sedang beristirahat. Sejak tadi ia merengek terus ingin bertemu denganmu. Bagaimana?”
“Katakan aku tidak disini! Jangan sampai dia tahu aku ada disini, apalagi kalau sampai ia melihat keadaanku yang seperti ini. Dia pasti… Heekkk…” terasa nafasku kembali sesak. Rasa sesak yang lebih dahsyat dari sebelumnya, sampai-sampai satu katapun amat sulit untuk kuucapkan.
“Aurel, sesak lagi?! cepat minum obatnya!”
Aku menggeleng lemah. Suster Ani tidak berani memaksa. Mungkin karena aku pernah bilang ‘Ini hidupku! Jangan nganggu hidupku!’ padanya beberapa kali setiap aku menolak meminum obat-obatan itu, dan sekarang ia sudah paham betul maksud dari kata-kataku.
Ah, disaat-saat lemahku seperti ini rasanya aku benar-benar ingin menangis. Apalagi jika aku sadar, keluargaku, Ayah, Bunda, dan kakak-kakakku sudah tidak disampingku dan tidak memperdulikanku lagi.
“A…Ani…”
“Iya!”
“Ka…Kamu ingat! Pertama kali kita bertemu?”
“Ya, waktu itu aku menabrakmu dengan sepeda jamuku dan entah kenapa tiba-tiba kamu pingsan. Lalu aku membawamu ke rumahku dan merawat luka-lukamu hingga sembuh. Setelah sembuh tanpa banyak bicara lagi kamu membawaku kesini, ke rumah sakit ini. Tanpa kamu, mungkin aku masih berjualan jamu dengan sepeda butut itu” kenang Ani dengan mata berkaca-kaca yang tak henti menatapku.
“Waktu itu aku dadaku sakit sekali. A… aku kabur dari rumah setelah bertengkar dengan Andre kakakku. Tanpa kamu tabrak pun, aku pasti pingsan dengan sendirinya. Aku penyakitan begini tapi masih sok mau hidup seorang diri yah!”
“Sudah-sudah jangan dilanjutkan lagi! Aku tidak mau sesak kamu makin parah karena terlalu banyak bicara”
“Ani, aku ingin bicara sebanyak aku bisa. Aku ingin kamu dengar ceritaku, selagi kamu dapat mendengar suaraku” ucapku mengisak seraya menarik tangannya yang hendak pergi dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Aurel, kamu jangan bicara seperti itu! Kamu bisa bicara sebanyak yang kamu mau. Sekarang, besok, lusa dan seterusnya. Tapi, sekarang kamu istirahat dulu ya! Hari sudah larut!”
“Duduklah! Jangan pergi kemana-mana! Malam ini saja, aku mohon!” pintaku dengan isak tangis yang tak juga reda, semakin parah malah.
Ani ikut menangis, terlihat matanya tak hanya sekedar berkaca-kaca. Sesekali ia hapus airmatanya dengan jemarinya.
“Ani, 3 tahun kita bersahabat, mungkin yang kamu ketahui tentang aku hanya sebuah misteri. Bahkan kenapa aku tidak pernah kembali ke rumah sampai saat ini pun, kamu tidak tahu kan? Dulu aku memang tak pernah ingin menceritakannya, padamu sekalipun. Tapi sekarang, kamu akan tahu semuanya. Aku akan ceritakan semuanya!”
* * *
Aurel Faira Wiratmo. Itulah aku. 23 tahun yang lalu, tepatnya 9 Oktober 1984, aku lahir sebagai seorang Putri di Istana Keluarga Wiratmo. Putri yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh seorang Pengusaha terkaya nomor dua di Indonesia, ayahku Andi Wiratmo.
Aku hidup dan dewasa dengan kasih sayang yang kurasa berlebih ditambah segala kemewahan yang membuatku terbiasa. Mungkin ini takdirku, pikirku dulu.
Sampai suatu hari aku memperhatikan dunia luar dan mampu berpikir lebih jernih, tepatnya saat aku memasuki bangku sekolah menengah pertama. Kulihat seorang kakek tua tanpa kedua belah kakinya merangkak kearah mobilku. Ya Tuhan! Padahal ini ditengah kemacetan jalan raya. Dimana putranya?! Istrinya?! Sanak saudaranya?! Atau sekedar tetangga yang mengenalnya?! Apa tidak ada?! Bagaimana jika kendaraan yang lalu lalang mencelakainya?! Bagaimana jika preman-preman jalan melukainya?!
Cengengnya aku. Aku malah menangis melihatnya. Supir yang mengantarku menyerahkan sebuah uang logam senilai 500 rupiah kepadaku, meminta tolong agar aku memberikan logam itu kepada si kakek tanpa kaki. Dengan sedikit bingung aku buka kaca mobil dan menjatuhkan logam itu tepat di dalam topi butut yang ditegadahkannya tinggi-tinggi.
Ia tersenyum. Di wajah keriputnya terlihat senyum yang tulus tanda kebahagiaannya. Ucapan terima kasih tak henti-hentinya terlontar dari bibirnya yang kering kehausan.
Oh, ia begitu bahagia hanya karena uang logam 500 rupiah yang bagiku tidak berarti apa-apa. Kenapa?!
Kulihat tiang lampu lalulintas di ujung jalan. Masih merah. Kurogoh saku kemeja putihku dan mengambil seluruh isinya. Tidak kurang dari 50 ribu. Uang jajanku hari ini. Kembali kutekan tombol pembuka kaca mobil otomatis di samping lengan kiriku.
“Non, jangan diberikan lagi! Nanti orang itu akan semakin malas bekerja jika terus diberi uang!”
“Bekerja bagaimana?! Dia tidak punya kaki seperti mu! Lagipula aku tidak memintamu memberikan seluruh uangmu padanya!”
Supir setengah baya dengan postur tubuh tinggi tegap itu diam tak membantah kata-kataku. Perhatiannya kembali tertuju pada mobil-mobil mewah yang mengantri di depannya.
Kakek tanpa kaki yang semula hendak merangkak kembali ke trotoar segera merapat ke mobilku dengan susah payah ketika ia melihatku membuka kaca mobil untuk yang kedua kalinya.
Kujatuhkan semua uang yang ku punya ke dalam topi butut yang kembali ditegadahkannya kearahku.
Dia menangis melihat jumlahnya. Dia benar-benar menangis. Menangis saking bahagianya. Sayup-sayup kudengar ia menyebut nama Tuhan dalam ucapan terima kasihnya. Dia masih mengingat kebesaran Tuhan dengan keadaannya yang demikian menyedihkan. Hanya karena sejumlah uang yang tidak berarti apa-apa bagiku.
Sejak saat itu aku merasa tanganku begitu gatal untuk memberi semua uang yang aku miliki setiap kali melihat orang-orang yang menderita seperti kakek tanpa kaki itu. Pengemis-pengemis tua yang renta dan cacat, anak-anak jalanan yang mengamen dengan butiran beras didalam botol plastik ditangannya, pemulung dengan karung kotor di punggungnya, sampai orang-orang kumal yang mengais-ngais tempat sampah untuk sekedar mencari sisa makanan. Semuanya.
Akupun terus mencoba menghadirkan senyum pada mereka, orang-orang yang hidup dalam kesedihan. Tapi yang aku lakukan tidak lebih dari receh yang aku berikan di saat kemacetan lalulintas. Aku takut orang tuaku marah jika aku mengasihani mereka lebih dari ini. Ayah pernah memukuliku sekali karena ketahuan merawat seorang janda miskin berpenyakitan yang tinggal dibelakang komplek rumahku.
Hingga aku beranjak dewasa dan melanjutkan kuliahku di luar kota. Kota pilihanku sendiri, Surabaya. Dekat dengan rumah Nenekku.
Di kota itu aku di vonis dokter mengidap penyakit mematikan, kanker paru-paru stadium 2. Umurku diperkirakan tidak lebih dari 5 tahun,tapi aku sama sekali tidak menangis. Hanya saja aku sedikit kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku belum berbuat apa-apa untuk dunia?! Padahal waktu hidupku ternyata begitu singkat?! Sejak dulu aku ingin menolong orang-orang yang hidup dalam kesedihan tapi kenapa aku takut pada gertakkan orang tuaku yang melarang tanpa alasan yang jelas?! Kenapa selama ini aku hanya diam?! Bagaimana jika aku mati detik ini juga dan aku belum melakukan apa-apa untuk mereka?! Rasa bersalah, mungkin akan terus menghantuiku dan membuatku tidak tenang menutup mata. Aku tidak boleh diam lagi!
Akupun mulai membiarkan tubuhku melangkah ke jalan yang hatiku inginkan. Dengan menjadi guru bantu dibeberapa sekolah di desa terpencil di sekitar Surabaya dan mendirikan beberapa panti sederhana untuk menampung pengemis-pengemis tua dan cacat yang tak lagi punya sanak saudara, serta anak-anak jalanan yatim piatu.
Aku biarkan kuliah Arsitek ku sedikit terbengkalai dan menghabiskan banyak uang dan tenaga hanya untuk membuat orang-orang yang membutuhkan itu tersenyum.
Hah… Tapi ternyata jalan yang kupilih tidak semudah yang aku bayangkan. Keluargaku menjemputku pulang kembali ke Jakarta ketika mereka mengetahui kegiatanku di Surabaya yang sama sekali melenceng dari perkuliahan.
“Ayah menyekolahkan kamu tinggi-tinggi supaya kamu jadi orang sukses, bukan jadi orang yang tingkahnya semrawut kayak gini. Kamu itu putri Ayah satu-satunya! Tolong, hargai pengorbanan Ayah!”
Ayah, Bunda, dan kakak-kakakku tidak tahu perihal penyakitku. Dan aku harap tidak akan pernah tahu. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir, dan akhirnya malah mengurungku di rumah sakit mewah milik William, kemenakan Ayah, selama bertahun-tahun. Oh, tidak! Bisa-bisa aku mati kering akibat dihantui rasa bersalah jika itu benar-benar terjadi.
“Bu, Depdiknas menyetujui keberangkatanku ke Riau untuk menjadi guru bantu disana! Aku berangkat!”
Ucapan pamit singkat itu aku sampaikan kepada siapa saja yang kebetulan ada di rumah waktu itu. Setelah itu aku langsung menyeret koper-koperku lalu pergi ke bandara dengan taksi yang sudah ku siapkan untuk mempercepat keberangkatanku. Dan kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali.
Habis, aku sudah tidak lagi peduli. Semakin banyak kumelihat senyuman itu, rasanya aku semakin tenang dan bahagia. Mungkin ini cinta. Aku cinta apa yang aku lakukan. Aku tak peduli yang lain termasuk kuliahku yang kini telah terhenti.
“Cukup, Aurel! Jangan banyak tingkah lagi! Tinggal di rumah dan turuti semua kemauan Ayah dan Bunda!“ perintah Andre, kakak sulungku, pada suatu siang ketika aku kembali menyeret dua buah koper untuk mengunjungi rumah pantiku di Surabaya.
“Kakak apa-apaan sich?! Aurel mau menjenguk adik-adik angkat Aurel di Surabaya!”
“Dan memberikan mereka uang lagi! Kamu mau menghabiskan kekayaan Ayah dengan hal-hal yang sama sekali tidak penting!”
“Mereka butuh bantuan, Kak! Lagipula aku tidak pernah meminta uang kepada Ayah untuk semua kegiatanku ini. Aku pakai uang sakuku sendiri, itupun sudah lebih dari cukup. Aku hanya ingin mereka tersenyum sama seperti aku”
“Yah, kamu membuat mereka tersenyum dengan mengorbankan senyum keluargamu. Ayah, Bunda, kamu mengorbankan senyum mereka. Lihat, rasakan! Semenjak kamu bertingkah sekonyol ini, pernahkan Ayah Bunda memberi senyuman bangga padamu, seperti yang dulu selalu mereka lakukan padamu. Kebanggaan akan kehadiran seorang Putri yang amat dinanti-nantikan keluarga Wiriatmoko. Senyum dan kebanggaan itu telah lama hilang, Manis! Sadarlah dan kembali pada kehidupan nyatamu sebagai Putri keluarga Wiratmo yang terhormat!”
“Kakakmu benar, Aurel! Sudah cukup kamu bermain-main dan mengecewakan keluargamu ini dengan bergaul di lingkungan-lingkungan kumuh itu. Apa kamu tidak mengerti betapa malunya Ayah pada rekan-rekan Ayah yang membicarakan tingkah laku kamu di jalanan bersama gembel-gembel itu?! Kalau kamu terus seperti ini, keluarga Wiratmo bisa kehilangan martabat dan kehormatan yang telah susah payah Ayah bangun sedikit demi sedikit. Seharusnya kamu…”
“Cukup! Seharusnya kamu… Seharusnya kamu… Tubuh ini punya aku Ayah! Tuhan memberikannya untukku dan Dia juga yang menuntun jalanku lewat hati yang dilengkapi dalam tubuhku. Apa ada yang salah?! Aku ingin melihat mereka tersenyum, Ayah. Hanya itu. Setelah itu aku bisa pergi tanpa beban. Aku bukan ingin membangkang. Aku hanya ingin menjadi aku tanpa paksaan siapapun”
“Hebat! Putri Ayah sudah pintar melawan rupanya! Kata-katanya pun manis! Bagaimana kalau kamu jangan lagi pulang ke rumah ini?! Agar kamu bisa menggunakan tubuh kamu tanpa paksaan siapapun dan tanpa bantuan siapapun termasuk Ayah!”
“Itu perintah yang sudah lama saya tunggu, Tuan Wiratmo!”
Entah kenapa, kujatuhkan koper-koper yang semula menempel di tanganku ke lantai. Aku berlari menaiki puluhan anak tangga dan mendapati Bunda sedang menangis di sudut kamar sembari mendengar keributan di bawah.
“Bunda, Aurel minta maaf! Aurel tidak bisa membahagiakan Ayah dan Bunda! Aurel egois dan durhaka! Tapi semua itu Aurel lakukan karena Aurel ingin bangsa ini berubah, semua rakyatnya tersenyum bahagia. Bukan hanya rakyat kaya seperti kita, rakyat miskin juga berhak memiliki senyum itu meski sesaat. Aurel tidak pernah mengecewakan Ayah Bunda tanpa alasan”
Kukecup kening Bunda yang penuh dengan keringat akibat tangisannya yang tak mampu terbendung lagi.
“Bunda, selamat tinggal!”
* * *
“Sekarang kamu tahu kan, kenapa aku terbaring seorang diri di kamar ini. Sampai saat ini mereka tidak tahu keadaanku. Aku meminta William untuk tidak menceritakan keadaanku pada siapapun sebelum aku benar-benar mati”
“Hush! Kamu jangan bicara seperti itu lagi!”
“Heekkk…”
“Aurel!”
“Ah, su… sudah pergi sana! Katakan pada dokter bedah kalau operasinya sudah dapat dimulai!” ucapku terengah-engah sembari menahan sakit yang amat sangat di dadaku.
“Operasi apa?!” tanya Ani panik.
“Jangan banyak tanya lagi! Pergi sana!”
Ani melangkah menuju pintu keluar. Wajahnya telat dibanjiri airmata kesedihan. Sesekali ia menoleh ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, Ani! Jangan khawatir!”
Sepeninggal Ani, tak lagi kuseka airmataku. Kubiarkan ia mengalir sampai mengering dengan sendirinya. Aku harus lapang. Aku harus ikhlas.
“Tuhan, aku lapang! Aku ikhlas! Aku berikan airmata terakhirku untuk senyum dunia…”
* * *

Sayup-sayup kulihat sosok Raisya bermain di bawah pepohonan rindang di taman rumah panti yang dulu kudirikan saat tinggal di Surabaya. Dia sudah tidak menangis lagi, dia tersenyum bahagia sekarang. Tawanya menggema menyelimuti semua ruangan panti. Dia dapat berlari dengan ringan dan tanpa keraguan akan jatuh lagi. Yang terpenting dia punya sorot mata sekarang. Mata yang beberapa hari lalu masih berliang di wajahku.
Ah, bahagianya melihat Raisya tersenyum.
Kuarahkan pandanganku ke tempat lain, tempat dimana keluargaku berada saat ini. Lho?! Itu kan?! Pejabat Depdiknas yang biasa membantuku menjadi guru bantu di luar kota.
“Saya turut berduka cita atas meninggalnya putri Bapak dan Ibu Wiratmo! Maaf saya tidak sempat menghadiri pemakaman Beliau”
“Apa?! Meninggal?! Putriku?!” teriak Ayah terkejut. Bunda terlihat menghuyung pingsan dan jatuh di sofa.
“Jadi Bapak dan Ibu tidak tahu perihal kematian Aurel dua hari yang lalu!”
Ayah menggeleng lesu sambil menahan airmatanya yang hendak jatuh.
“Putri Bapak begitu mulia. Diakhir hidupnya ia masih memberikan senyum kepada orang lain. Raisya, seorang anak yatim piatu yang buta kini sudah dapat melihat dengan normal berkat donor mata yang diberikannya. Kedua belah ginjalnya pun menyelamatkan seorang penderita gagal ginjal yang telah divonis berumur satu bulan lagi. Satu lagi, ini undangan Bapak Wakil Presiden yang ditujukan kepada Bapak Wiratmo. Bapak mendapatkan penghargaan dari Negara atas pengabdian Bapak kepada rakyat kecil dengan membangun panti di berbagai daerah dan membantu lebih 1000 orang anak agar memperoleh pendidikan yang layak”
“Apa?!”
Ah, sekarang Ayah dan Bunda bisa kembali bangga. Mendapatkan penghargaan dari Negara adalah impian yang memicu Ayah bekerja giat membangun usahanya. Sekarang mereka mendapatkannya. Jadi, tidak sia-sia aku mengerjakan semua kegiatan sosial ini atas nama Ayah.
Tapi sayang, aku sudah tidak dapat melihat kebahagiaan mereka dari dekat. Hanya dari sini. Langit berbintang yang jauh di balik awan. Aku bisa merasakan senyum itu merekah di antara pedihnya kehilangan diriku.
* * * TamaT * * *

Detik-detik Perubahan Dunia

By, Ressa Novita (Ocha)

Dunia ini berubah
Segalanya berubah
Tidak tersisa suatu apa
Yang tertinggal untuk ku bernafas kekal

Detik lalu aku tertawa
Mendengar banyak tawa
Tertawa bersama
Saat itu aku tahu aku tak sendiri
Mereka ada untukku

Detik berikutnya aku merenung
Mendengar tawa yang perlahan
Tenggelam dalam dusta
Saat itu aku tahu aku telah sendiri
Mereka bukan untukku

Tapi aku mengerti dunia
Setiap bagian darinya layak berubah
Tak terkecuali hidupku

Detik kini aku menangis
Mendengar apa yang tak terdengar
Terdiam sendiri
Namun saat ini aku sadar
Aku tak pernah sendiri dalam kesendirian

Dunia ini memang berubah
Dan akan terus berubah
Tapi bukan berarti
Senyumku ikut berubah
Karena aku tak sendiri
Tuhan bersamaku
Dan Ia memintaku demikian

Selamanya Pergi

By, Ressa Novita (Ocha)

mungkin adalah wajah yang tak lagi dapat kulihat dengan seksama
telah hilang dari pandangan
sekalipun mataku berkeliling mencari

waktu menjadi dinding pemisah
jarak bukan suatu alasan
hati yang telah dewasa
yang merubah segalanya

bukankah Tuhan yang menggariskan arah?
bukankah ia yang menumbuhkan cinta?
tapi kenapa ia tidak menjaga rasa?

cukup jiwa yang luka karena kecewa
hati ini telah pahit untuk terbuka

haruskah aku merintih pedih?
haruskah aku menangis sedih?
jika apapun lakuku
tetap membuat masa yang lalu
tak akan pernah kembali

Sebelum Akhir

By, Ressa Novita (Ocha)

Segala sesuatu di dunia ini bukan tanpa ujung
Apa yang hadir bukan untuk selamanya

Mungkin detik ini atau esok hari
Akan ada yang merapuh dan hilang tertelan waktu

Tangan manusia untuk meminta
Tapi tidak untuk berkuasa

Tuhan
Hanya Ia yang akan menentukan
Akhir dari setiap benda ciptaanNya

Karena terbatasnya waktu
Biarlah aku berkata
Engkaulah cahaya dalam hidupku yang singkat ini

Jumat, September 19, 2008

Mimpi

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Hanya karena mimpi
Aku masih menanti hingga detik ini
Percaya mimpi hadir
Membawa cahaya
Terangi kegelapan


Mungkin didalamnya ada engkau
Aku berharap ada engkau
Ya… pasti ada engkau
Yang menunggu malam kala mimpiku

Biar…
Walau hanya mimpi
Karena kutahu nyatamu tak hadir untukku

Biarlah…
Bukankah masih akan ada mimpi- mimpi berikutnya
Malam ini, esok, atau lusa
Selalu kubuka pintu hati dalam ruang mimpiku
Untukmu bawakanku kedamaian dan cinta
Yang tak akan pernah kurasakan
Didalam nyata

Dinding Hitam

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Berawal dari sebuah kata
Aku melukis dinding hitam bagi jiwaku sendiri
Begitu kokoh dan kekar
Sekalipun badai tak kan mampu meruntuhkan

Tapi aku adalah penjaga jiwaku
Tuhan memerintahku untuk memelihara
Harus kubiarkan badai menerpa sendi-sendi egoku
Harus kuruntuhkan dinding hitam
yang menghalangi pandangan ini

Sejak awal dunia
Aku membawa jiwa kedalam api sandiwara
Pastilah akan terluka
Pastilah harus ada darah dan airmata

Bila bukan
Apa ini diriku?

Rembulan di Pagi Matahari (Part 3) *Sarah & Pangeran Rembulan

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Aku rembulan…
Aku pernah menyinari dunia dengan cahaya hangatku…
Tapi aku pergi…
Karena aku mencintai pagi dan siang hari…
Dan aku benci diriku…
Yang telah khianati takdir Ilahi…
Sarah…
Jangan harapkan aku kembali…
Aku tak akan pernah kembali…
Tersenyum saja…
Dan lihat senyummu di dalam cermin…
Dirimulah rembulan sesungguhnya…
Yang akan bertahan dalam gelap dan dinginnya malam…



“Sarah!!! Kamu dimana???”
“Sarah!!!”
“Sarah!!!”
Sayup-sayup terdengar suara memanggil namaku. Siapa yang memanggilku. Malaikatkah?! Oh, malaikat! Aku sudah siap jika kau ijinkan aku bertemu Rembulan di duniaku yang nyata.
Perlahan kubuka kelopak-kelopak mataku yang berair. Kuraba rerumputan yang basah dengan jemariku yang lemah. Ah, kenapa aku masih hidup.
“Sarah!!!”
Aku melihatnya tadi, dalam mimpiku. Pangeran berjubah putih itu berbicara padaku. Pangeran tampan itu jelmaan Rembulan dan dia memanggil namaku. Dia benar-benar Rembulan. Rembulan datang padaku lewat mimpi.
Kurasakan hembusan dingin mengalir membanjiri tubuhku. Dingin sekali. Tak lama kemudian tetes-tetes air yang jatuh dari langit menghujani tubuhku dengan kasar. Rasanya menusuk setiap jengkal kulit tubuhku. Aku tidak bisa berdiri. Kakiku diselimuti dingin yang luar biasa. Aku tidak bisa berteduh dari hujan yang deras ini.
Hah, aku tak mau mati dengan cara seperti ini! Jelek sekali! Rambut dan bajuku basah. Tangan dan kakiku kotor oleh tanah yang telah menjadi lumpur karena bersatu dengan air hujan. Riasan wajahku luntur tak bersisa. Aku jelek sekali. Aku tak ingin di surga nanti Rembulan melihatku dalam keadaan seperti ini. Tidak ingin!
Kupejamkan mataku erat-erat. Kurekatkan pipiku ke rumput yang basah. Rasanya lama-lama tubuhku hangat. Kalau begini aku bisa kembali tertidur. Aku bisa bertemu dengan Pangeran Rembulan lagi. Aku ingin berbincang banyak dengannya. Kalau ada dia aku tidak akan mati kedinginan. Aku tidak akan mati di hutan ini.
* * *
Kubuka mataku yang terasa begitu berat. Ah, ternyata aku sudah sadar dan aku baik-baik saja. Tapi aku belum sempat bermimpi. Aku belum bertemu Pangeran Rembulan lagi.
Kulihat sekelilingku. Hutan begitu tenang. Suara-suara binatang malam tak lagi terdengar. Apa sudah hampir pagi?! Kuangkat kedua kakiku yang semula tak dapat kugerakkan karena dingin. Tanganku juga terasa ringan. Tanpa sadar aku melompat hingga berdiri tegak. Seluruh tubuhku ringan. Aku merasa sangat sehat. Apa hujan deras tadi yang menyembuhkanku?! Napasku tidak terasa sesak lagi. Aku benar-benar sembuh!
Kutarik baju terusanku yang basah, hendak kukibas-kibaskan agar terkena angin dan cepat kering. Tapi, lho?! Kenapa bajuku sudah kering?! Noda-noda tanahnya pun tak tersisa sama sekali. Kuraba rambut keritingku yang panjang. Tidak basah sama sekali. Apa aku masih mimpi?!
Kucubit kedua belah pipiku kuat-kuat.
Aw! Sakit! Berarti hujan deras tadilah mimpiku yang sebenarnya. Dan pangeran jelmaan Rembulan yang datang menemuiku bukan mimpi, dia datang menemuiku di dunia nyata. Ya, benar! Senangnya!
Kulangkahkan kakiku riang ke arah mana kakiku hendak melangkah, dan ia memilih untuk melanjutkan langkah ke dalam hutan. Ya, kakiku ingin mengajakku ke danau yang ada di dalam hutan. Kunang-kunang yang bergerak kesana kemari mengiringi langkahku. Membuatku tak ragu untuk terus melangkah. Pepohonan yang besar dan tanaman-tanaman merambat yang kulewati terlihat lebih indah dari biasanya. Bebatuan yang kuinjakpun terasa mendukung langkahku karena sejauh kuberjalan tak satupun dari mereka membuatku terantuk. Udara malam terasa segar memenuhi paru-paruku. Hutan ini seperti perbatasan antara dunia dan surga.
Setelah jauh kuberjalan, akhirnya aku sampai ketepi danau. Airnya yang bening berwarna biru gelap memantulkan wajah langit malam yang berbintang.
“Sarah… Ini surga untukmu…”
Suara itu tiba-tiba terdengar di telingaku. Kuarahkan pandanganku ke sekelilingku, mencari asal suara. Disana, suara itu datang dari seorang wanita bergaun putih yang berdiri di tengah danau. Tidak mungkin. Aku pasti bermimpi. Masa ada manusia yang bisa berdiri di atas air?!
Tiba-tiba sebuah jembatan terbentuk dari bawah kaki wanita itu. Dengan ajaib jembatan itu memanjang sampai ke bawah kakiku. Jembatan itu berkilauan seperti emas, berbalut ribuan kunang-kunang di seluruh bagiannya.
“Ini jalanmu menuju surga, Sarah!” ucap wanita itu lagi.
Surga, katanya. Tapi aku sekarang tidak ingin ke surga. Aku sudah sembuh, karena itu aku ingin merasakan hidup normal seperti sepuluh tahun yang lalu saat aku masih kecil.
“Jangan lihat lagi, hidupmu yang menyedihkan! Jangan pikirkan lagi rasa sakit di dadamu! Di surga kamu hanya akan merasa bahagia. Keluarga dan teman-temanmu tak akan menangis lagi karenamu. Mereka akan bahagia saat melihatmu bahagia di alam bahagia ini. Sarah, tunggu apa lagi! Langkahkan kakimu, datanglah padaku, tinggalkan dunia yang kotor akan penderitaan ini! Kamu akan bahagia disini, apapun yang kamu inginkan akan kamu miliki disini. Karena itu, berjalanlah bersamaku menuju surga”
Tanpa sadar kulangkahkan kakiku melewati jembatan itu. Setiap pijakanku terasa hangat, sangat nyaman, membuatku tak ingin berhenti melangkah.
“Di surga ada Rembulan?” tanyaku. “Di surga Rembulan tidak takut menyinari dunia?”
Wanita itu menjawabnya dengan anggukan yang mantap.
“Dan disana ia bersanding bersama bintang-bintang?! Berarti malam di surga tak sedingin malam di bumi?!”
“Yah, Rembulan tak pernah sekalipun pergi dari langit malam di surga! Ia selalu menyinari surga!” jawabnya meyakinkanku.
“Aku ingin melihat Rembulan! Aku sudah menunggunya selama bertahun-tahun. Aku percaya Rembulan bukan sebatas dongeng. Dan mulai sekarang aku akan hidup di dunia dimana ia ada. Di surga. Tunggu aku, aku mau ikut denganmu ke surga!”
Kupercepat langkahku. Di depanku kulihat wanita membuka kedua belah lengannya, siap menerima kehadiranku.
“Jangan Sarah! Wanita itu menipumu!”
Suara yang sepertinya kukenal seketika menghentikan langkahku. Kubalikkan tubuhku untuk dapat melihat sosok orang yang memanggilku. Samar-samar kulihat seorang pria berambut lurus mengenakan kemeja dan jubah putih, di tangan kanannya tergenggam mawar berwarna kuning. Pangeran jelmaan Rembulan.
“Sarah… Aku disini… Aku tidak hidup di surga, aku hidup di bumi! Kamu tidak akan menemukanku disana! Karena aku hanya akan ada di bumi. Percayalah! Aku ada meskipun kamu tidak dapat melihat sosokku!”
“Pangeran Rembulan! Aku ingin kamu bersinar lagi di langit malam! Berjanjilah kamu akan bersinar lagi di bumi! Seperti yang pernah kamu lakukan puluhan tahun yang lalu”
“Aku berjanji! Tapi kamu harus kembali!”
“Aku akan kembali!”
Pangeran Rembulan mendekatiku, tangan kanan beserta mawar kuningnya itu meraih tanganku. Dari mawar itu mengalir energi yang tersebar dengan cepat keseluruh tubuhku, menyatu dengan darahku. Aku benar-benar merasa hidup kembali.
* * *
“Dok, kami menemukan detak jantungnya lagi! Dia masih hidup!”
“Cepat pasang kembali alat bantu pernapasannya!”
“Sarah… Sarah… Berjuanglah! Kamu gadis yang kuat! Kamu pasti bisa menyelamatkan dirimu sendiri! Berjuanglah, Sarah!”
Suara itu, itu suara Sardy, kakak laki-lakiku.
Aku mau bangun, aku merindukannya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Tuhan, tolong bantu aku! Aku ingin membuka mataku!
“Jantungnya sudah kembali normal! Masa kritisnya juga sudah lewat! Tapi untuk sementara waktu biarkan alat bantu pernapasannya tetap terpasang. Fungsi paru-parunya bisa menurun sewaktu-waktu! Kalau ada apa-apa, segera panggil kami!”
Ternyata aku ada di rumah sakit. Berarti hujan deras itu bukan mimpi. Jembatan menuju surga, wanita dan Pangeran Rembulanlah yang hanya mimpi. Ah, aku bingung! Tapi dalam mimpi Pangeran Rembulan telah berjanji padaku, dia akan bersinar lagi di langit malam. Dia pasti tak akan mengingkari janjinya. Aku akan pergi ke hutan untuk melihatnya!
“Sardy…” tiba-tiba suaraku keluar dengan lancar melalui tenggorokan dan bibirku. Kubuka perlahan kedua mataku, buram. Tak mungkin aku buta! Aku butuh mata ini untuk melihat kemunculan Rembulan.
Lama kelamaan aku dapat melihat cahaya memenuhi kedua retina mataku. Oh, mataku tidak buta! Hanya sedang beradaptasi dengan cahaya di ruangan ini.
Kulihat Sardy, Ayah dan Ibuku berdiri disamping tempat tidurku. Sardy tersenyum sambil meraih jemari tanganku. Ibu menghapus sisa-sisa airmata dengan sapu tangan kesayangannya dan Ayah berdiri memeluknya.
“Aku hampir sampai di surga, tapi seorang pangeran membawaku kembali!” ceritaku.
“Pangeran itu pasti aku kan?!” gurau Sardy. Di wajahnya masih juga tergambar ketegangan. Kondisiku sebelumnya pasti benar-benar parah sehingga Ayah dan Ibu tak mampu lagi berkata-kata melihatku sadar, mereka hanya menangis penuh haru.
“Dia Pangeran Rembulan! Dia yang menolongku. Dan dia berjanji akan menyinari langit malam langit. Ayah dan Ibu masih ingat kan seperti apa Rembulan?! Nah, dia akan datang lagi! Tapi kali ini bukan cuma kalian yang akan melihatnya, aku juga akan melihatnya!”
Kugerakkan kedua kakiku, hendak kuturunkan kebawah tempat tidur sebagai penopangku berdiri. Tapi tidak bergerak sempurna. Rasanya berat sekali.
“Ah, kenapa kakiku tak bisa digerakkan?! Berat sekali?! Aku mau bangun! Sardy bantu aku!”
Tanganku yang lemah mencoba meraih tangan Sardy, tapi tak sampai.
“Sardy bantu aku! Aku mau keluar dari ruangan ini! Aku mau melihat Rembulan! Ayah, Ibu, bantu aku!”
“Sudahlah, Sarah! Semua itu hanya mimpi! Yang namanya Rembulan itu tidak pernah ada!” ucap Ayah sambil menahan tubuhku agar tetap berbaring.
“Tapi Ayah yang bercerita padaku kalau sewaktu Ayah dan Ibu masih muda, kalian senang sekali berbincang-bincang di bawah sinar Rembulan. Kalian yang bilang padaku!” sergahku.
“Kami hanya ingin menghiburmu! Membangkitkan semangat hidupmu! Membuatmu bertahan hidup sampai sejauh ini!” lanjut Ibu.
“Tidak! Kalian bohong! Rembulan ada! Dia datang dan berjanji padaku akan kembali menyinari malam! Aku akan membuktikannya pada kalian!” teriakku histeris.
Kupaksa tubuhku turun dari tempat tidur. Kutapakkan kedua kakiku ke lantai yang dingin. Aku coba untuk menopang berat tubuhku sendiri. Tapi aku jatuh di lantai.
“Sarah, jangan keras kepala! Kamu baru saja melewati masa kritis! Tadi kamu hampir meninggal, jadi jangan berulah lagi!” bentak Ibu sambil mencoba mengangkat tubuhku.
“Aku tidak memilih mati karena Pangeran Rembulan yang memintaku hidup! Dan seharusnya aku sudah sampai ke surga kalau memang dia tidak ada. Tapi dia ada, bu! Dia ada! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya sekarang! Kalian juga harus berterima kasih padanya! Aku yakin di luar sana dia sudah menungguku!”
“Baiklah, tapi kita tunggu sampai tubuhmu pulih kembali! Oke!” bujuk Ayah.
“Ya, aku akan cepat pulih agar bisa berjalan ke hutan lagi!”
* * *
Napasku sesak! Aku sulit bernapas! Yah, seharusnya aku sudah mati! Hari itu seharusnya aku mati! Mati karena kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhku. Umurku sudah 16 tahun, 2 tahun melewati perkiraan umur yang dikatakan dokter padaku! Seharusnya aku sudah berada di surga! Mungkin saatnya datang lagi.
Tapi, tidak! Aku belum sempat melihat Rembulan! Aku mau melihat Rembulan sebelum aku pergi ke surga, karena di surga tidak ada Rembulan. Aku harus keluar dari sini.
Kulihat Sardy tertidur lelap di sofa yang ada di salah satu sudut kamar. Dengan begitu aku bisa keluar.
Tubuhku tak selemah 3 hari yang lalu. Meskipun sedikit berat, tangan dan kakiku sudah mulai dapat digerakkan. Dengan sedikit tenaga lebih, aku pasti bisa sampai di halaman belakang rumah sakit.
Napasku semakin sesak. Dadaku rasanya sakit sekali. Sebentar lagi, aku mohon sebentar lagi. Aku belum sampai. Jangan berhenti bernapas! Jangan berhenti bernapas!
Kutopang tubuhku dengan berjalan merambati dinding rumah sakit. Lewat pintu belakang aku keluar dan sampai di sebuah halaman serupa taman dengan dikelilingi pepohonan rindang dan bunga-bunga dari tanaman hias.
Dengan susah payah kubuat tubuhku berdiri tegak di tengah halaman berumput basah itu. Lubang hidung dan mulutku terus saja memburu udara agar tak membuatku hilang kesadaran. Sebentar lagi… Tunggu sebentar lagi…
Kudongakkan kepalaku ke arah langit malam. Tak ada Rembulan.
Kuputar 90 derajat seluruh tubuhku. Tak ada Rembulan.
90 derajat lagi. Tetap tak ada.
Dimanapun di atas langit Rembulan tidak ada. Kenapa Pangeran Rembulan berbohong padaku! Padahal dia sudah berjanji! Tidak! Dimana Rembulan??? Dimana dia?!
Terus kujelajahi langit yang dapat kulihat dengan mataku. Tubuhku terus bergerak mencari. Tapi tetap saja aku tak mendapatkan apa-apa.
Kurasakan airmataku mengalir deras, pandanganku mulai kabur. Paru-paruku sudah tidak menarik udara lagi. Jantungku berdetak melambat. Tubuhku terkulai dan terbentur tanah berumput. Aku tinggal menunggu sisa detak jantungku. Karena aku akan mati. Aku akan mati tanpa pernah melihat Rembulan.
* * *
“Sarah… Maafkan aku…”
Terdengar suara Pangeran Rembulan di belakangku. Akupun segera menoleh. Tapi sosok pria berjubah putih itu tidak terlihat.
Aku tahu kali ini ia tidak akan datang menolongku. Sekalipun ia datang, aku tidak akan percaya rayuannya lagi.
Aku kembali melanjutkan langkahku, meraih pelukan wanita bergaun putih yang akan mengantarku ke surga.
“Maafkan aku, Sarah!”
Tidak apa-apa, Rembulan. Batinku. Aku percaya kamu ada, meskipun kamu tidak percaya bahwa aku dan dunia mencintaimu. Jadi aku mohon jangan kecewakan gadis-gadis berpenyakitan lain yang mempercayai kehangatanmu. Berikan mereka harapan seperti kamu memberikanku harapan.
“Maafkan aku!”
Selamat tinggal, Rembulan! Selamat tinggal, Pangeranku!
Semoga aku bisa bertemu denganmu di surga!
* * * TamaT * * *

Sang Pujangga

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Aku hanya pujangga perangkai kata…
Begitulah sang nurani berikrar…
Tak ada emosi seindah gores pena…
Tak ada cinta semanis bait penuh makna…


Aku hanya pujangga…
Yang lahir untuk mengabdi pada jiwa…
Jangan suruh aku melompat…
Karena kakiku hanya untuk berpijak…
Jangan pinta aku berpidato…
Karena bibirku bukan untuk mengucap kepalsuan…
Jangan inginkan aku terbang…
Karena aku tak punya sayap yang nyata…
Jangan harapkan kubersenandung…
Karena melodi hidupku mengalun dalam diam…

Aku makhluk bebas…
Sebebas saat kubermain imajinasi…
Aku makhluk rumit…
Serumit tiap rasa yang terbangun dalam baris kata…

Aku hanya pujangga…
Yang hidup bersama matahari…
Dan berkawankan pelangi…
Bukan karena cinta dan bukan untuk cinta…

Aku ada…
Karena Tuhan mengisi jiwa dalam tubuhku…
Untuk hadirkan senyum di dunia Nya…
Seperti ini…

Rembulan di Pagi Matahari (Part 2)

oleh : Ressa Novita (Ocha)
Detik-detik pagi bersama Matahari
Tak juga bosan dinantikan Sang Rembulan
Ia merasa tak ubahnya seorang Adam yang telah ditakdirkan
Untuk bersanding selamanya bersama Hawa yang Sang Maha ciptakan untuknya
Cinta pada pandangan pertama atas kehebatan pada Matahari
Ia ibaratkan sebagai awal rasa yang ia tanam didalam hati
Yang seharusnya maya bagi makhluk langit sepertinya
Tapi hidup tak dapat ia tebak
Kini ia telah menyimpan cinta untuk Matahari
Dan menjaganya di atas permadani kepalsuan
Yang ia letakkan bersama bunga ketulusan



Dari kejauhan Rembulan melihat pujaan hatinya memejamkan mata, berbaring di peraduannya yang dingin. Matahari yang selama 12 jam ia pandangi diam-diam, dari jarak yang begitu jauh, dalam hitungan menit akan hilang dari pandangan kekagumannya.
“Haaaaahhhhhh…”
Rembulan menghela nafas panjang. Malam yang menelan sosok Matahari bukan lagi pemandangan yang janggal bagi dunia, tapi entah kenapa perpisahan rutin itu masih saja menyisakan sepi di hati Rembulan.
Kenapa malam harus gelap?! Kenapa harus ada 2 keadaan yang bertolak belakang?! Kenapa siang harus berganti malam?! Kenapa cahaya harus tertelan gelap?! Kenapa Matahari terlelap meninggalkan dunia?! Lalu kenapa aku menggantikannya?!
“Kenapa aku menggantikannya?!” Rembulan terkejut dengan pertanyaan hatinya sendiri.
Tiba-tiba pandangannya menangkap sepasang manusia tepat di bawah tubuhnya yang mulai meninggi. Pria dan gadis muda itu melangkah perlahan ke arah pantai. Dinginnya angin laut dan gelapnya ruang kehidupan tak menyurutkan mereka untuk terus tertawa dalam keasikan mereka bersenda gurau.
Rembulan merasa tertarik dengan pemandangan manis itu. Sampai-sampai ia lupa dengan apa yang sejak tadi menyita penuh pikirannya. Ia lekatkan pandangannya dan tersenyum sembari memekakan telinga agar dapat mendengar perbincangan mereka dengan jelas.
“Mas, janji ya! Mas ga akan meninggalkan Ajeng!”
Sesayup terdengar ucapan si gadis manja dalam rangkulan kekasihnya.
“Iya, mas janji ga akan ninggalin kamu. Mas akan selalu ada buat kamu!”
Oh, gadis berambut ikal panjang itu mengingatkanku pada Matahari. Yah! Gadis itu persis seperti Matahari. Dan pria itu persis seperti aku, yang pernah berjanji tidak akan meninggalkan Matahari. Batin Rembulan sumringah melihat keakraban keturunan Adam Hawa itu.
Sepasang kekasih itu lalu duduk berdampingan di atas batu karang di tepi pantai. Si gadis kemudian mendengakkan kepalanya menatap langit yang sudah biru pekat. Dilihatnya Rembulan yang saat itu bersinar lebih indah dari biasanya. Ia hitung satu persatu bintang-bintang di sekitarnya, sesekali ia mencuri pandangan singkat ke kekasihnya yang sedang asik menyanyikan lagu cinta dipadu dengan petikan gitarnya.
“Mas!” panggil si gadis. Si pria segera menghentikan petikan gitarnya dan berusaha menyimak si gadis. “Kalau mas jadi tugas ke luar kota! Kita akan seperti Rembulan dan Matahari yang hanya memiliki 30 menit untuk bersama. Saat 30 menit itu berlalu, lihat! Rembulan kembali sendirian. Begitupun dengan Matahari”
“Yah, sedikit benar!”
“Sedikit?”
“Hanya sedikit. Karena aku bukan pria pendusta seperti Rembulan. Dan kamu bukan gadis bodoh seperti Matahari yang tidak sadar dengan tipuan di balik keramahan Rembulan”
Rembulan terkejut mendengar pembicaraan mereka yang ternyata tak lain adalah tentang dirinya dan Matahari. Rembulan sebisa mungkin mempertajam pendengarannya agar tak ada sedikitpun kata yang terlewatkan olehnya.
“Lho, memang ada apa dengan mereka?”
“Rembulan itu tak ada bedanya sama parasit. Ia hidup dengan bergantung pada Matahari. Ia tidak akan ada tanpa kehebatan cahaya Matahari. Andai saja Matahari tahu, Rembulan hanya memanfaatkan dirinya dengan mencuri cahayanya. Matahari pasti akan sangat membenci Matahari!”
“Ah, kamu ini bisa aja! Kamu mau jadi pendongeng? Seenaknya mengarang kisah seperti itu. Mereka kan bukan makhluk hidup!”
“Ini bukan dongeng, tapi dongeng yang dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan alam. Semua orang tahu, kalau cahaya Rembulan yang setiap saat kita nikmati adalah sebagian kecil cahaya milik Matahari. Kalau mereka hidup, sudah pasti cahaya itu curian. Mana mungkin Matahari mau memberikan cahayanya pada Rembulan dengan cuma-cuma. Nah, makanya jangan gunakan mereka sebagai perumpamaan cinta kita donk! Aku lebih suka kalau pakai perumpamaan Mawar dan Kumbang. Lebih romantis.”
“Coba kamu dongengkan tentang Mawar dan Kumbang?”
Rembulan melepaskan pandangannya dari sepasang kekasih itu. Bagi Rembulan mereka tidak lagi terlihat menarik. Apalagi setelah ia mendengar pembicaraan mereka yang sangat dalam menusuk perasaan Rembulan.
“Mereka benar! Ah, kenapa aku menggantikannya dengan cara seperti ini?! Selama ini dalam ketidaktahuan Matahari, aku telah berdusta untuk mendapatkan posisi ini. Tidak! Aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini! Mulai sekarang aku juga tidak boleh mencuri sinarnya lagi!” tekad Rembulan. “Matahari, jika aku membangunkanmu pagi nanti, mungkin itu adalah kali terakhir kamu mendengar suaraku dan melihat diriku”
* * *
“Rembulan, ada apa denganmu! Lesu sekali pagi ini?!” Tanya Matahari heran melihat Rembulan yang sejak tadi tidak benar-benar mendengarkannya bercerita tentang seorang anak kecil yang tak henti menatapnya lalu setelah itu melukis dirinya di atas kanvas bersama pemandangan sawah dan pegunungan.
“Ah, tidak apa-apa!”
Mendengar jawaban singkat Rembulan, Matahari kembali melanjutkan ceritanya.
“Apa sebelum aku datang menemanimu, kamu merasa kesepian?” Tanya Rembulan, tiba-tiba setelah Matahari selesai bercerita.
“Ah, biasa saja! Langit dan bumi kan tidak sepi, malah sangat ramai. Jadi aku tidak akan pernah kesepian walau tanpa kamu disini!”
“Kalau begitu…”
“Kalau begitu, apa?”
“Tidak apa-apa!”
Matahari ingin menanyakan perihal keanehan Rembulan, mungkin ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya saat ini. Tapi niat itu segera diurungkannya ketika Rembulan mengucapkan ‘Selamat tinggal’ padanya. Tanda bahwa sudah waktunya mereka berpisah.
Selamat tinggal?! Lho?! Kenapa Rembulan mengatakan selamat tinggal? Apa ia lupa kalau esok pagi ia akan bertemu lagi denganku?! Batin Matahari.
* * *
Rembulan merasa sedikit lega. Yang terpenting baginya, perpisahan ini tidak akan melukai Matahari. Matahari tidak akan kesepian sepeninggal Rembulan. Demikian yang dikatakan Matahari padanya pagi tadi. Kini Rembulan akan kembali menjadi penonton setia, penggemar rahasia, yang tidak akan melewatkan sedetikpun memandang Matahari. Hanya sebatas itu.
“Hei, apa yang kamu lakukan?! Cahayamu sudah hamper habis! Cepat ambil sinarnya! Ia sudah terlelap. Beberapa saat lagi ia akan tenggelam, dan kamu akan kesulitan mengambil cahayanya. Lakukan sekarang juga!” teriak sebuah Bintang yang paling jauh yang baru saja muncul di langit malam.
Rembulan tak menyahut, ia malah mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menyapa ramah seekor elang yang melintasinya.
“Hei, kamu akan membuat dunia sedih!” teriak Bintang lebih kencang dari sebelumnya.
“Hush, pelan-pelan bicaranya! Bisa-bisa kamu membangunkan Matahari!” Bintang yang lebih redup di sebelahnya mencoba memperingatkan kawan sejenisnya.
“Aku tidak akan mencuri sinarnya lagi!”
Pernyataan tegas itu tiba-tiba keluar dari mulut Rembulan. Semua mahkluk langit yang kebetulan mendengar pernyataan itu, serempak menyerukan suara kekagetan yang sama.
“Apa???”
“Ini tidak adil buat Matahari! Ia terlalu baik untuk di khianati!”
“Akhirnya kamu sadar juga, Rembulan! Kalau tindakan kamu itu begitu merugikan Matahari”
Suara yang muncul entah dari mana terdengar mengomentari pernyataan Rembulan dengan nada sinis.
“Si…siapa kamu?! Dimana kamu?!”
“Aku angin yang ada di sekitarmu. Yang selalu menyaksikan tingkahmu yang sok menjadi pahlawan dalam kegelapan ini. Asal kamu tahu, kalau tidak semua makhluk langit menyukaimu. Kami salah satunya”
“Oh, angin! Kenapa selama ini kamu tidak pernah berbicara padaku?!”
“Kamu tidak dengar?! Kami tidak menyukaimu! Untuk apa kami berbicara padamu?! Buang-buang tenaga! Lagipula selama ini kamu tidak menganggap kami ada, bukan?!”
“Maafkan aku, wahai angin!” ucap Rembulan yang sudah tidak tahu lagi harus membalas dengan kata-kata apa. Karena semua yang diucapkan Angin benar, ia tidak pernah tahu kalau Angin itu sama seperti makhluk langit lainnya. Ia pikir Angin yang tak lepas ia rasakan adalah sejuk tak terlihat yang tidak memiliki jiwa.
“Rembulan! Jangan kamu dengarkan kata-kata Angin! Urungkan niatmu! Ambil kembali cahaya Matahari! Dunia masih membutuhkanmu!”
“Ayo ambillah!”
Seketika ruang tanpa batas itu terdengar gaduh. Ratusan Bintang, Awan, Burung-burung, ditambah serangga-serangga malam yang terbang rendah, memprotes keputusan Rembulan dan membujuknya kembali mencuri cahaya Matahari.
“Keputusanku sudah bulat!” teriakan Rembulan mengheningkan kegaduhan. Hening. “Aku menyayangi Matahari! Aku mengasihinya! Aku tak ingin menyakitinya! Sekalipun semua kebohongan ini tidak akan pernah ia ketahui! Aku tak mau melakukannya lagi! Sudah cukup! Aku terbeban jika harus terus berdusta seperti ini!”
“Tapi, Rembulan…”
“Jangan ada yang bicara lagi! Aku tidak ingin mendengar kalian! Aku cukup bahagia jika aku harus kembali mengagumi dan memandang keindahan Matahari dari kejauhan! Karena aku telah diberi kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat, juga diberi kesempatan untuk berbincang dan bersenda gurau dengannya. Meski hanya sesaat, tapi aku telah merasakan saat-saat yang paling indah dalam hidupku. Dan aku telah belajar tentang rasa yang biasanya hanya diserukan oleh hati manusia. Cinta.”
Cahaya Rembulan meredup. Beberapa menit kemudian ia benar-benar menghilang. Hanya terdengar isak tangisnya yang tak juga henti. Bintang-bintang semakin tak habis pikir, kenapa Rembulan bisa seperti itu?
* * *
Pagi ini Matahari terbangun seperti dahulu ia belum mengenal Rembulan. Kokok ayam membuat telinganya sakit. Saat ia membuka mata, ia segera melemparkan pandangan ke segala arah mencari sahabat 30 menitnya. Tapi ia tidak menemukannya.
“Rembulan!!! Rembulan!!! Kamu dimana?! Kenapa pagi ini aku tidak melihatmu?!” Matahari berteriak-teriak panik mencari Rembulan.
Di suatu tempat di langit yang sama, Rembulan memandangi Matahari dengan mata sembab berusaha menahan isak tangisnya. Ia tidak menjawab panggilan Matahari sekalipun ia bisa melakukannya dalam waktu kurang dari 30 menit meskipun tanpa cahaya.
Jangan khawatir, Matahari! Aku selalu ada di dekatmu, walaupun tanpa wujud dan suara. Aku tidak pernah meninggalkanmu. Batin Rembulan.
Tapi bagi Matahari Rembulan baru saja mengkhianatinya. Rembulan meninggalkannya. Padahal ia pernah berjanji tidak akan pergi.
“Kenapa?! Kembalilah, Rembulan?!”
Matahari menangis tanpa air mata. Ia mengisak tanpa henti.
Tapi Matahari tak berputus asa. Pagi-pagi berikutnya ia tak lelah menanti kembalinya Rembulan. Ia sadar ia salah. Pernah ia mengatakan tidak apa-apa tanpa Rembulan, ia tidak akan kesepian. Tapi kenyataannya, ia sadar ia telah begitu melekat pada Rembulan. Ia sadar ia begitu menyayangi Rembulan ketika ia kehilangan Rembulan dari langit paginya.
“Rembulan! Kembalilah! Aku tahu kamu mendengarku! Karena itu kembalilah! Aku sangat merindukanmu!”
Tiap pagi datang hanya kata-kata itu yang mengawali perjalanan hari sang kunci kehidupan, Matahari. Kata-kata yang selalu terdengar jelas oleh Rembulan dan selalu membuatnya kembali menangis pedih.
Matahari dirundung duka, begitupun langit, dunia dan seluruh isinya.
“Kembalilah, Rembulan! Kami mohon!” bisik pilu para Bintang.
“Rembulan, aku memerlukan sinarmu untuk kelangsungan hidupku” kata seekor burung malam.
“Kami sedih! Kami tak bisa menyanyi jika segelap ini!” sambung serangga-serangga dari balik semak ilalang.
“Mama, kenapa Rembulan tidak lagi terlihat?! Aku mau Rembulan! Huaaaaa…” rengek seorang anak kecil kepada ibunya.
Menyaksikan semua itu Rembulan hanya menggelengkan kepala.
“Maafkan, aku! Aku yang salah! Sejak awal seharusnya aku tidak mengambil cahaya Matahari. Seharusnya aku tidak menjadi Rembulan pujaan kalian semua. Seharusnya aku tidak melakukan semua ini. Dengan itu mungkin kalian tidak akan bersedih seperti ini. Sudahlah! Jangan mengeluh lagi! Semua itu sia-sia, karena aku tak akan pernah kembali jika untuk membawa kepalsuan bagi ia yang aku cintai!”
Rembulan tak lagi punya telinga di sudut hatinya. Ia hanya punya cinta. Dan demi menjaga cinta itu baik-baik, ia rela meninggalkan semuanya. Termasuk Matahari yang paling dicintainya.
* * * TaMaT * * *

Kamis, Juni 12, 2008

Sweet 1

Ada biru yang bersinar digelapnya hati
Dari dunia maya saat kuberpejam dalam sunyi
Ia malaikat mimpi
Yang menuntun diri
Agar aku tetap tersenyum melewati sulitnya hari

By, Ressa Novita (Ocha)

Selamat Pagi, Kawan!

Puisi By, Ressa Novita (Ocha)

Malam menyipitkan matanya tanda ia lelah terjaga
Sang surya intip dunia seolah dongengkan rembulan biar ia lekas bermimpi

Bintang-bintang menarikan salam perpisahan
Kicauan burung menyambutnya riang seolah tawa

Akupun teranjak dari tidurku
Dan teringat akan dirimu

Lekas ingin hatiku mengucap padamu
Selamat pagi, Kawan!
Selamat menjalani hari tuk meraih mimpi!

Suara Hati

Nyanyian alam lirih terdengar

Iringi desah nafas lalui malam

Kuterkapar di atas peraduan

Jarum jam yang terus berputar

Deru kipas yang terus berpacu

Temaram cahaya lampu

Semua tercipta indah

Selasa, Juni 03, 2008

Daun Mawar

Diriku bagaikan sehelai daun dari tangkai mawar
Yang semula hidup mewah bersama duri dan kelopak nan indah
Kuberpikir untuk terus bersanding bersama indah mawarku
Tapi aku hanya helaian rapuh yang telah terjatuh tanpa sebab
Hendak kubertahan diatas tanah dingin dan lembab
Hanya berharap masih dapat menikmatinya
Dalam ketidaklayakan hidup
Tapi ringannya jiwaku membuat angin berkuasa
Menarikku kuat dalam ketidakberdayaan

Bersama yang tak kuharap kulewati hari
Dengan kecemasan akan akhir yang menakutkan
Karena aku hanya sehelai daun yang terpisah dari tangkai mawar
Rapuh dalam menjalani sisa waktu
Takut jika tiba-tiba panas mentari membakar tubuhku yang telah menua
Takut jika tiba-tiba ku melebur bersama deras sungai

Aku hanya ingin kembali
Berharap Sang Maha turunkan keajaiban
Jika aku harus mati
Aku ingin kembali
Dan terbaring tanpa jiwa
Diatas sinar merahnya yang mewangi

Puisi By, Ressa Novita (Ocha)

Enggan Pergi

Panas jalan setapak membakar mulut penuh bisa
Bebunyian besi reot seiring terik mentari
Membakar sampah nenek tua renta tertatih
Diujung jalan pinggir got, bocah kecil mandi segenbiranya

Lalat-lalat suka cita menginjak bangkai tikus mati
Mawar ungu tersandar lemas dekat peti telor
Sebrang jalan debu-debu sesak menempel dalam ruang hidung
Dari balik jendela kusam, coba kenang situasi ini

Duduk penuh diam berat tinggalkan kenangan ini
Sesaat kobar api paksa ku tuk menghapus semua ini

Puisi By, OP

Kain Kafan Tuk Pohon

Elegi membakar sinergi meski seujung jari
Kain kafan membungkus pohon-pohon rindang
Ditemani asap kenalpot dibelai debu-debu jalan
Seongok topi melingkar diatas kepala enggan beranjak

Batang bambu penuh warna coklat menempel setia dekat kantong saku hijau kebiruan
Tanah mengering,rerumputan meranggas mati tanpa jejak
Serangga menghilang entah kemana
Disudut pojok tertumpuk ribuan bangkai semut megap mati terpanggang panas
Terbaring diantara semut kodok buduk sekarat dipaksa meninggalkan dunia

Batu putih rata tetap maju dan tak mau mengalah
Pohon rindang tak rela ditukar batu putih rata untuk mereka si angkuh
Topi kuning keras, tak henti-henti menghantam tanah merah dengan batu putih rata

Puisi By, OP

Aku Tunggu Di Tepi Anyer !


Aku berdiri tegak di depan meja riasku. Kursi cantik berwarna biru muda yang tergeletak menyertai meja rias ini, aku biarkan kosong tanpa guna. Kutatap wajah putihku yang terlihat segar tanpa dihiasi sedikitpun bercak noda. Lalu kucoba tersenyum.
Yah, inilah aku! Apa ada yang salah?!
Sekilas wajah ini terlihat seperti bukan wajah milik seorang gadis yang ramah. Memang benar. Banyak orang yang berkata dengan sinis untuk air muka yang sebenarnya tidak aku buat-buat. Tapi, Tuhan Maha Pengasih. Aku diberikan satu kelebihan dari wajah tidak ramahku ini. Sebuah popularitas. Dan aku bahagia dengan kelebihan itu.
Aku jadi semakin gemar tersenyum pada semua pria yang menyapaku dengan nakal. Dan dapat kumeyakinkan pada siapa saja yang bertanya padaku, aku menyukai mereka. Apalagi jika diantara mereka ada wajah yang terlihat indah untuk dipandang lebih lama dipadu dengan potongan tubuh yang sempurna. Ehm, aku suka sekali. Dan saat memandang mereka aku akan bergumam dalam hati ‘oh, indahnya hidupku!’. Maka akupun tak akan ragu untuk balik menggoda pria-pria indah itu.
Yah, sekali lagi aku katakan. Inilah aku! Dan bagiku tidak ada yang salah pada diriku!
Tapi saat ini…
“Dreeet…dreeet…dreeet…”
Getar tanpa nada yang keluar dari telepon genggamku seketika membuyarkan lamunanku.
Tak segera kutekan tombol penjawab pada handphone Sony Ericson itu. Aku hanya menatap layarnya yang mengeluarkan cahaya terang dengan inisial nama Sayankku yang tak henti berkedap-kedip. Itu inisial pacarku yang tersimpan di memori handphone. Terkadang aku memanggilnya demikian. Dan itu sebuah kemunafikan yang berpadu dengan kebohongan yang manis.
Tiap kali aku melihat nama kebohongan itu menghiasi layar handphoneku. Aku akan teringat sampai hal-hal terkecil yang tersusun rapi dan mengisi kebohongan itu.
Tanpa pikir panjang aku me-reject panggilan itu. Dan segera menon-aktifkan handphoneku.
Maaf, Geral! Tapi hidup ini cuma panggung sandiwara. Begitu juga hubungan kita selama ini. Aku hanya ingin menampilkan sisi romantis dari drama cinta yang kubuat. Dan tinggal menunggu waktu untuk membuat babak penutupnya. Masalah endingnya bahagia atau tidak, itu tergantung kehendakku sebagai sang penulis naskah yang juga merangkap sebagai sutradara dan pemeran utamanya.
“Tok…Tok…Tok…”
Lagi-lagi ada yang membuyarkan lamunanku.
“Devi… Ada telepon dari Geral!”
Mendengar lanjutan ketokan pintu itu, dengan sigap aku meraih handphoneku yang masih dalam keadaan tak bernyawa (non-aktif) dan memasukkannya kedalam tas ranselku.
Aku menenteng tas ranselku dan bergegas keluar kamar. Tapi bukan untuk menjawab telepon dari Geral.
“Mah, udah nggak ada waktu lagi nich!” teriakku sambil menunjuk kaca jam tangan hitam yang menghiasi pergelangan tangan kananku.
Mendengar jawaban tidak enak dariku, mama terlihat sedikit terkejut. Tapi akhirnya ia mengangguk tanda setuju saat aku mencium pipi kanannya sebagai permohonan doa restu sebelum pergi untuk menuntut ilmu.
Hah, Geral! Sekali lagi maaf ya! Bukannya aku tidak ingin berbicara denganmu, tapi belum saatnya aku kembali membuka tirai panggung sandiwara ini. Aku masih memikirkan adegan selanjutnya yang harus aku mainkan sebagai babak penutup drama cinta ini.
  
“Hei, Dev! Makin cerah aja nih!”
Sapaan seorang mahasiswi membuatku berhenti melangkah dan menyempatkan diri untuk menoleh kearahnya. Sekedar untuk membalas sapaannya dengan senyuman khas ala Devi.
Kampusku pagi ini terlihat lebih ramai. Dan tidak biasanya pemilik suara yang kukenal sudah bertengger manis di depan laboratorium bahasa lantai 4 di jam-jam sepagi ini.
Saat kumenoleh, terlihat 3 orang gadis berpakaian serba modis. Mereka teman-teman sekelasku. Si pemilik suara bernama Fiar, si hitam manis yang selalu ramah terhadap siapapun, tak terkecuali padaku. Disebelahnya berdiri, Reny, gadis yang kecantikannya diakui di seantero kampus namun terkenal dengan mulut pedasnya. Dan yang satu lagi Gemma, satu-satunya gadis di kelasku yang sangat aku sukai namanya, tapi sayang dia salah satu orang yang selalu menatapku dengan pandangan sinis, entah apa alasannya.
“Yo, jelas! Lihat di keningnya kan ada susuk! Jadi dia bisa menggaet puluhan pria sekaligus dengan satu senyumannya. Pasti hidup kamu bahagia sekali ya! Dikelilingi banyak pria! Oh iya, sekarang pacar kamu ada berapa?”
Kata-kata yang dilontarkan Reny seketika merubah mood ku yang semula baik-baik saja. Apalagi ditambah tatapan sinis Gemma yang seolah-olah meng’iya’kan komentar sahabatnya.
Dasar cewek sialan! Kalau aku dilahirkan sebagai ‘Dukun Sunat’. Udah ku sunat tuch lidah yang keliwat kotor! Sayangnya, aku dilahirkan dengan sopan santun yang memadai. Jadi apapun alasannya, aku hanya mampu ‘Tersenyum Manis’ pada cewek yang juga bermulut sangat sangat sangat manis itu.
Ditambah sedikit jawaban yang diucapkan dengan manis juga tentunya.
“Uhm… Aduh, nggak keitung tuch berapa banyak pacarku sekarang! Tapi tenang aja! Aku nggak pernah lupa kok sama kamu! Aku nggak akan tega membiarkanmu ‘Jomblo’ seumur hidup. Jadi kalo aku bosen sama salah satu dari mereka, aku pasti rekomendasiin kamu buat jadi pemilik baru mereka. Fiar, Gemma, kalian juga mau kan? Pokoknya semua kebagian dech! So, jangan sedih ya!”
Setelah insiden ringan tak berarti itu, aku segera melanjutkan langkahku menuju kelas yang pada hari ini akan kupergunakan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu.
“Devi…”
Belum sampai aku ke tempat tujuan, teriakan berat seseorang membuatku berhenti melangkah karena sedikit terkejut. Dia Nuri sahabatku, aku kenal betul tingkahnya yang seringkali memanggil namaku dengan suara yang sengaja diubah supaya mirip dengan suara laki-laki. Dan pastinya dia tak pernah berhasil, karena sejak awal dia berjenis kelamin wanita. Dia mungkin akan berhasil mengelabuiku jika ia juga berinisiatif untuk mengubah jenis kelaminnya.
“Oy, cerah banget hari ini! Lagi seneng ya!” lanjutnya setelah berhasil menyamai langkahku.
“Jangan ngomong yang macem-macem dech! Nanti aku sunat tuch lidah!”
“Apaan sich?! Kok jawabnya kayak gitu! Aku kira Devi yang aku kenal benar-benar manis. Nggak taunya…”
“Eh, nggak! Bukan gitu maksudku. Tadi aku mau ngomong kayak gitu ke mereka, tapi secara aku manis nggak mungkin dong aku ngomong sembarangan ke orang sembarangan. Begitcu…” ralatku sambil mencubit sebelah pipinya, setelah itu aku segera nyelonong masuk ke dalam kelas yang sejak tadi sangat aku nantikan (AC-nya).
“Tadi aku ketemu Geral tuch! Dia kayaknya kebingungan nyariin kamu. Emangnya kamu belum nemuain dia buat ceritain yang sebenarnya tentang…”
“Hush!” aku segera membekap mulut Nuri dengan telapak tanganku. Sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimat yang sangat terlarang untuk dikatakan di tempat umum seperti ini. “Aku kan udah bilang, ini rahasia. Kamu kan tau seperti apa imageku di mata anak-anak cewek di kelas ini! Biarkan mereka semua hanya tahu gosip, tapi jangan sampai mereka tahu berita aktual apapun tentangku. Bahaya, bisa-bisa aku hilang kendali dan menyunat lidah mereka satu per satu”
“Okey, lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
“Masih aku pikirkan. Aku harus membuat ending yang benar-benar manis untuk hubunganku dan Geral”
“Gila! Kamu pikir semua cowok itu nggak punya perasaan! Hampir satu bulan kamu menghindarinya dan sekarang kamu benar-benar ingin meninggalkannya?!”
“Hush! Jangan keras-keras!”
“Biarin! Biar orang semua tahu kejamnya seorang Devina Ekaputri!” teriaknya marah.
“Nuri, dengar dulu!”
“Apalagi yang harus aku dengar. Seorang Devi yang terkenal sebagai pemikat cowok, sekarang melanjutkan aksinya dengan menjelma sebagai cewek buaya darat”
“Nuri, dengar dulu! Aku nggak pernah bermaksud seperti itu! Aku memang salah telah membohongi Geral. Tapi itu semua kulakukan semata-mata karena aku tidak ingin terus seperti ini. Aku ingin ada seorang pria yang benar-benar mencintaiku dan membuatku berubah menjadi gadis biasa yang tidak lagi disebut sebagai gadis murahan, gadis pemikat, pemakai susuk dan sebagainya. Karena itu aku menerima Geral saat untuk ke 3 kalinya ia mengungkapkan kata yang sama. Aku pikir dia serius menyayangiku. Tapi ternyata nggak. Geral sama seperti pria-pria yang selama ini menggodaku. Dia hanya memandangku dari fisik bukan hati. Dan aku tidak pernah merasa nyaman bersamanya. Aku hanya berusaha bersikap romantis, tapi sebenarnya semua itu hanya kebohongan. Kebohongan yang aku tata dengan rapi sehingga terlihat begitu manis. Hingga waktunya tiba untuk mengungkapkan semua kebohongan itu”
“Karena alasan itu kamu menduakannya?!”
Aku menundukkan kepalaku, sedikit terpukul dengan kata-kata yang diucapkannya. Aku tidak pernah sekalipun berniat untuk menduakannya. Tapi keadaan memaksaku melakukan kejahatan ini.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini! Karena kamu sahabatku, aku ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini. Perasaan yang dirasakan hati kecilku selama aku menjadi seorang Devi yang selalu memikat semua pria dengan senyuman nakalnya”
  
Saat pembicaraan dengan Nuri pagi tadi, tanpa sadar aku telah menetapkan ending yang harus aku jalani. Yah, Anyer adalah setting tempat yang aku pilih untuk satu babak terakhir dari sandiwara ini. Bukankah tempat itu indah. Maka endingnya pun akan terlihat sangat indah.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini!”
Pesan singkat lewat sms aku kirimkan ke nomor milik Geral. Satu kalimat itu sudah cukup menegaskan suatu perintah, bukan sekedar permohonan. Dan aku yakin dia pasti datang juga Nuri tidak akan menolak perintah itu.
Hari itu masih cukup siang. Tapi aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke panggung sandiwaraku.
Yup! Aku kan tokoh paling penting. Aku juga bertindak sebagai sutradara. Jadi aku harus datang paling awal untuk mempelajari kondisi panggung sekaligus beradaptasi agar adegan yang akan aku lakonkan nanti. Supaya benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Ah, mungkin penjelasan ini agak sulit dimengerti. Intinya, aku ingin datang lebih dahulu ke tempat indah itu untuk memikirkan masak-masak apa yang akan aku katakan pada mereka. Sekaligus aku ingin menikmati pemandangan pantai dan merasakan sejuknya udara Anyer agar kepenatan ini sedikit berkurang.
Okey! Semangat Devi!
  
Matahari hampir tenggelam saat aku sampai ke tepi pantai Anyer. Satu-satunya yang aku cari setiap kali aku datang ke tempat ini, ya hanya cahaya yang satu itu.
Cahaya redup berwarna oranye berpadu dengan biru pekat air laut, dengan latar belakang langit kelabu yang berhiaskan beberapa bintang senja. Indah. Ciptaan Tuhan yang luar biasa hebatnya. Rasanya tak ingin waktu cepat berlalu. Ingin mengabadikan keindahan itu.
Tapi dalam hitungan menit yang singkat, langit kelabu pun berubah gelap. Rembulan perlahan meninggi dan bintang-bintang terus bertambah. Menjadi kilauan cahaya yang memantul di lautan. Hembusan angin terasa semakin kuat, mendorong ombak semakin mendekati telapak kakiku yang telanjang.
Menguatkan rasa dalam diriku. Dingin. Sepi. Dan semakin ingin lari. Lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan mengakhiri sandiwara ini.
Aku menutup kedua belah mataku. Menghirup segarnya udara pantai. Mencoba kembali menenangkan pikiran yang mulai mengeluh tak mampu. Kutatap satu per satu bintang di langit malam. Kunikmati deburan ombak yang berpadu dengan hembusan angin yang terdengar mendayukan irama alam nan lembut.
“Kalau seperti ini rasanya aku ingin meninggalkan Jakarta dan mencari rumah tinggal untuk menetap di Anyer” gumamku pelan.
“Aku juga mau!”
“Nuri…”
“Kenapa harus di tepi Anyer?”
“Karena… aku pertama kali bertemu dengannya disini. Saat LDO Fakultas. Tapi aku nggak pernah tahu namanya. Yang aku tahu dia orang Kepresidenan Mahasiswa di kampus kita. Wajahnya tampan namun terlihat begitu lembut dan senyumannya sangat tulus”
(LDO=Latihan Dasar Organisasi)
“Yah, kamu pernah menyebutnya dalam daftar pria yang menurutmu tampan dan perlu di dekati. Kamu bahkan bertanya namanya padaku. Lalu apa bedanya?! Dia sama seperti Geral. Kamu sama menyukainya seperti rasa sukamu pada Geral. Kamu hanya menyukai ketampanannya!”
“Tidak! Kamu salah! Awalnya aku memang memperlakukannya sama seperti pria-pria tampan yang lain. Aku hanya memuja keindahan wajahnya. Tapi waktu itu aku mulai memperhatikannya ketika aku menyaksikan satu hal yang menurutku sangat ganjil dilakukan pria setampan dia. Aku melihatnya membersihkan lantai di salah satu ruangan kampus”
“Dia membersihkan ruang Kepresidenan, aku pernah melihatnya sekali”
“Yah, mulai saat itu entah kenapa aku terus memperhatikannya. Mataku nggak pernah sekalipun lepas untuk mencari sosoknya. Anehnya apa yang biasa kulakukan terhadap pria-pria tampan yang aku sukai, nggak bisa aku lakukan padanya. Aku nggak punya keberanian secuil pun untuk sekedar berkata ‘hai’ padanya. Aku sendiri nggak tahu! Aku nggak tahu kenapa? Hanya dia pria yang berhasil melumpuhkanku. Dia membuatku nggak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kamu melihat itu, Nuri. Karena kamu seringkali bersamaku. Seharusnya kamu mengerti apa yang aku rasakan. Aku…aku mencintainya…”
“Devi… Kamu bilang apa?!”
“Aku mencintainya, Nuri! Perasaan yang ada hanya karena dan untuknya! Bukan seperti yang kamu lihat selama ini menghiasi hidupku. Bukan kebohongan. Bukan kemunafikan. Hanya aku miliki disini!”
Sambil menunjukkan jari ke dadaku, aku melangkah pelan mendekati Nuri.
Kulihat Nuri tersenyum manis, seolah memberikan komentar yang menggembirakan. Airmatanya jatuh perlahan dan ia menghapusnya dengan telapak tangannya masih dengan disertai senyuman.
“Haha, aku bego banget ya! Ternyata aku selama ini belum bertindak sebagai sahabatmu. Bahkan aku tidak tahu bahwa selama ini si gadis pemikat memendam perasaannya pada seorang pria!” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku balas tertawa.
“Yah, pada seorang Rivan!”
  
“Rivan???” Geral yang saat itu sudah berdiri diantara kami terkejut mendengar nama yang keluar dari bibirku yang telah mengucap yakin.
Kedatangan Nuri yang lebih dulu dari Geral membuatku lebih berani. Yah, cukup berani untuk menyakiti seorang Geral.
“Yah, lengkapnya Rayn Rivanno, kelas sore, tingkat 4”
“Jadi selama ini?!”
Aku mendekati Geral. Sangat dekat. Serasa jiwa nakalku kembali saat melihat wajah tampannya yang cemas.
“Kamu tampan Geral. Manis. Indah. Aku suka sama semua yang terlihat ‘Beauty’ di mataku. Termasuk kamu. Makanya ketika aku merasa mustahil untuk memiliki Rivan dan mulai putus asa, akhirnya aku menerimamu. Cowok tampan yang menurutku ‘boleh juga’ sekedar untuk mengisi kekosongan. Saat aku mulai terbiasa dengan sandiwaraku bersamamu. Tiba-tiba Rivan datang padaku. Dan dengan caranya ia mengisi hari-hariku yang penuh kepalsuan. 3 bulan aku menduakanmu, dan sekarang waktunya aku bicara jujur. Aku hanya menginginkannya. Tidak yang lain! Jadi…”
Geral menatapku tajam. Wajahnya terlihat sangat kesal. Pastinya dia sudah tahu kelanjutan kata-kataku. Tapi kenapa dia masih diam saja?! Apa masih perlu aku melanjutkan kata-kataku?! Huh…
“Jadi, aku ingin mengakhiri sandiwara ini! Sekarang juga!”
  
“Gimana?! Sandiwaraku hebat kan?!” tanyaku sambil merangkul hangat tubuh jangkung Nuri.
Kaki kami melangkah menyusuri tepi Anyer, setelah meninggalkan Geral dan kekesalannya di ujung pantai sana.
“Jadi penjelasan yang kamu berikan pada Geral cuma sandiwara?!”
“Huh, si eNeng lemot! Coba inget-inget, tadi siang aku bicara apa!”
“Apa yah?! Ehm??? Ah, lupakan! Biarlah dia tertelan ombak dan menghilang bersama buih samudera” jawab Nuri tak mau pusing.
“Hei, dia bukan putri duyung!”
“Tapi bukankah dia patah hati seperti kisah putri duyung?!”
“Uhmmm… Hahaha…” tawaku meledak seolah tanpa dosa.
“Eittt…aku lupa belum menanyakan satu hal, hal yang penting banget”
“Apa?”
“Bukankah pacarnya Rivan cewek judes yang namanya Asta?!”
“Dulu. Sekarang Rivan pacarku! Cewek Rivan sekarang ya si manis Devi!”
“Syukurlah! Aku kira sahabatku alih profesi sebagai gadis perusak hubungan sepasang kekasih!”
“Sialan kamu! Aku ini perempuan baik-baik tauuu…”
“Huuu… Dasar… Eh, ngomong-ngomong siapa yang nembak duluan? Rivan atau kamu?”
“Udah aku bilang, aku mati kutu didepan dia. Emang dia yang tiba-tiba deketin aku. Aku sendiri malah bingung kenapa kisahku berbalik seperti ini. Aku pikir selamanya aku tidak akan mengenal Rivan lebih dari tatapan jarak jauh. Tapi ternyata sekarang…”
Aku menatap langit. Bintang-bintang terasa semakin indah untuk dinikmati sinarnya. Seindah perasaanku hari ini.
“Nur, ternyata selain cakep, keren, dia juga baik banget, baik banget… Oh, bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit. Thanks to You God…”
“Heh, udah deh… Lama-lama jijik tau nggak liat muka kamu yang kayak gitu!”
Aku tidak memperdulikan protesan Nuri. Aku masih tersenyum bahagia sambil terus menatap keindahan langit dengan lekat.
“Cukup Devi! Aku tinggal nih! Kamu bilang Rivan nunggu kamu di seberang jalan sana! Jalannya cepetan donk! Atau kamu mau membagi Rivan untukku?!”
“Enak aja! Rivan hanya milikku!”
Sekarang dan kuharap juga untuk selamanya.
 The End 
Cerpen By, Ressa Novita (Ocha)