Jumat, Juni 26, 2009

Manusia Biasa

Tumbuh dari rangkaian kesederhanaan
Melangkah diketerbatasan
Hidup selalu dimanja kekurangan
Memandang luas hanya sebuah impian
Berangkat menggapai harapan
Dengan kebiasaan nan biasa-biasa saja

Tak pernah bisa dipandang maupun terlihat
Enggan menjamah tinggi keinginan
Melanda diri sepanjang umur
Menjulur sulur-sulur kerikil
Tingginya elok batu harapan

Bahkan enggan berharap sesuatu
Dari luar telapak tangan
Karna sadar bahwa bagian dari manusia kelas dua
Nan cuma bisa bernafas dari sebelah hidung

By, OP 2008

Selasa, Mei 19, 2009

Tahun Baru Tiya

Kurentangkan ke dua belah tanganku kearah yang berlawanan, seperti malaikat yang siap pulang ke surga. Kurapatkan kaki tak beralasku ke bebatuan kasar di tengah rel-rel besi yang mulai berkarat.
“Selamat Tinggal Masa Lalu !!!”
Lantang, kuteriakkan kalimat keramat itu berulang kali. Yah, karena hanya saat ini aku akan mengucapkannya. Lagi dan lagi. Sampai aku benar-benar yakin, telah kutinggalkan masa lalu ku.
“Tuuuuutttttttttt…”
Kereta listrik itu akan segera tiba, aku bisa mendengar suaranya dari kejauhan. Suara dari gerbong yang akan mengakhiri masa lalu ku.
Kututup sepasang kelopak mataku yang putih pucat tertiup hembusan angin. Aku nikmati udara terakhirku. Udara dari masa lalu. Tiba-tiba bayangan itu muncul lagi. Lagi! Sejumlah kenangan yang mungkin tak akan aku lupakan. Seolah jiwa dan raga ku kembali ke waktu itu. 29 Desember 2007, 3 hari yang lalu di masa lalu ku.

“Masih bertahan?!”
Segaris senyum di hadapanku membuatku segera membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk lesu sambil lekat menatap matanya yang bersinar kecoklatan.
“Sampai kapan?! Tahun akan segera berganti lagi. Kalau kamu terus bertahan di jurang sesempit ini, biar aku siapkan peti mati dan sebuah lubang rumah masa depan untukmu!”
“Yah, boleh! Kalau uangmu cukup aku pesan dua. Aku mau kamu ada di sebelahku!”
“TIDAKKK!!!”
Galang berteriak histeris. Nafasnya terhenti seketika. Dia mati suri di depanku.
Panggil aku Tiya. Si gadis belia yang bertahan hidup di dalam keluarga yang super bobrok, super kacau, super hancur, dan semua kata yang berarti sesuatu yang tidak menyenangkan boleh dipadukan dengan kata ‘super’ di atas.
Sejujurnya aku tak tahan, hanya saja aku mencoba bertahan. Aku ini putri tunggal seorang pengusaha kecil yang bisnisnya lumayan berkembang. Dulu aku pernah punya seorang kakak lelaki, tapi dia sudah berpulang berkat kegagalan orangtua ku mendidik anak-anaknya. Bagaimana tidak?! Suhu udara di dalam rumah tak pernah sejuk, sekalipun pendingin udara dipasang di setiap ruangan. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir mereka berbincang mesra. Hari-hari bersama mereka lalui dengan pertengkaran. Kadang hanya makian yang menyayat hatiku, kadang satu perabot dapur terlempar ke lantai, kadang sebuah pintu kamar rusak setelah dibanting kuat-kuat. Tak hanya itu, kadang pria yang tak kukenal masuk ke kamar Ibuku, kadang sebaliknya, Ayah membawa wanita simpanannya pulang ke rumah.
Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka?! Kalau mereka bertengkar di setiap detik mereka bersama, kenapa mereka menikah dan terus bersikeras mempertahankan pernikahan mereka? Lalu, tak ingatkah mereka padaku, pada kakakku?! Kami masih terlalu muda untuk kehilangan kehangatan keluarga. Yah, masih bagus aku tidak berpikir untuk mengikuti jejak kakakku. Meninggal di antara tumpukan jarum suntik dan obat-obatan terlarang.
“Seperti tahun yang baru, seharusnya kamu memulai hidup baru. Tinggalkan yang tidak berguna dan cari yang bahagia. Buatlah sebuah perubahan. Ukir sebuah senyum, biarkan airmatamu mengering!”
“Tak ada gunanya berpuitis seperti itu! Bilang saja kamu mau aku cepat-cepat menyusul Kak Tyas! Cepat pesan lubang masa depannya! Jangan lupa buat kamu tepat di samping aku! Aku sudah tidak sabar nih!”
“Masih ingat tawaranku waktu itu kan?! Pertimbangkan sekali lagi! Aku beri tambahan waktu sampai malam tahun baru besok untuk keputusannya” jawabnya mengakhiri pembicaraan karena bel masuk pelajaran berikutnya sudah menggema di seluruh sudut sekolah.
Awalnya aku kekeh untuk bertahan dan tetap berada di tengah-tengah keluarga ini apapun yang terjadi, karena bagaimanapun juga mereka keluargaku, Ayah dan Ibu yang membesarkanku. Sampai akhirnya tawaran itu datang dari Galang, teman dekatku. Dia menawarkan hidup baru yang lebih baik. Dan tawaran itu kini membuatku bimbang. Ada perasaan ingin melangkahi hidup yang baru tapi ada perasaan berat jika harus meninggalkan hidup yang kacau ini dengan di dasari ego. Ini tidak akan adil untuk Ayah dan Ibu ku. Tapi jika tidak kulakukan, sama saja ini tidak adil untukku.

“Ratiya!!! Apa yang kamu lakukan?!”
Teriakan itu membuatku kembali pada diriku dan mengalihkan pandangan ke asal suara. Kulihat Galang melambaikan tangannya dari kejauhan. Tubuhnya bergerak semakin cepat mendekatiku.
“Tidak!!! Tetap berdiri disitu, Galang!!! Jangan ikut campur!!! Ini hidupku!!! Ini hidupku!!!”
Kulihat Galang memperlambat langkahnya. Siapa perduli?! Dia tak akan bisa mencegah keinginanku!

“Enam puluh… Lima puluh sembilan… Lima puluh delapan…”

Suara apa itu?! Itu kan… Aku tadi malam… Aku yang sedang menghitung mundur detik-detik terakhir pergantian tahun.

“Lima puluh tujuh… Lima puluh enam… Lima puluh lima…”
Kuarahkan pandanganku lekat ke luar jendela kamarku. Malam-malam pergantian tahun pada tahun-tahun sebelumnya, dari sini terlihat banyak kembang api di langit tepat pukul 12 malam. Malam ini aku ingin lebih menikmati pemandangan indah itu. Katanya di pusat kota akan ada pesta kembang api besar-besaran untuk pergantian tahun kali ini.
“Lima puluh empat… Lima puluh tiga…”
“Prangggg!!!”
“Kyaaaaaaaaaa…”
Suara dahsyat itu membuatku sontak menutup telinga sambil berjongkok di dinding jendela. Itu bukan suara kembang api yang terlalu awal di nyalakan, kan?! Bukan?!
“Braaaaaakkkk!!!”
“Jaga Mulutmu!!! Perempuan Jalang!!!”
Oh, itu suara Ayah! Entah benda-benda apa yang mereka buat senjata di lantai bawah sana?! Huh, masa tahun baru mereka bertengkar juga!!! Apa mereka tidak berpikir bahwa itu akan sangat menggangguku?!
Kulirik jam dinding yang menempel dekat dengan foto keluarga yang sengaja kupajang dengan bingkai besar.
Ah, aku kehilangan 20 detik yang berharga.
“Tiga puluh satu… Tiga puluh… Dua puluh sembilan…”
Tuhan, berikan aku kesabaran dua puluh sembilan detik lagi! Aku mohon, Tuhan!
“Dua puluh delapan… Dua puluh tujuh… Dua puluh enam…”
“Aku Sudah Tidak Tahan Lagi!!!” suara Ibu.
“Kalau Begitu Tunggu Apa Lagi, Kita Cerai!!!” timpal Ayah.
“Pikirkan Kata-Katamu!!! Omong Kosong Saja Isinya!!! Aku Sudah Memintanya Sejak Dulu!!! Tapi Kamu Tak Juga Menceraikanku!!!”
“Aku Memikirkan Perasaan Putri Kita!!! Tidak Seperti Kamu!!!”
“Dasar Bajingan!!!”
“Braaaaaakkkkkk!!!”
“Cukup!!! Kalian Sudah Gila!!!” teriakku tak tertahankan lagi.
Aku segera bangkit dan bergegas keluar dari kamar. Tiba-tiba pandanganku kabur. Otakku terasa penuh. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kubasuh mataku dengan telapak tangan yang kering karena dingin. Ah, ternyata airmataku sendiri yang membuat pandanganku kabur.
“Pyaarrr!!! Pyaarrr!!! Dhuaarrr!!!”
Suara letupan kembang api yang khas menggema di telingaku. Dan aku baru saja kehilangan detik-detik itu. Detik-detik yang sudah berjam-jam kutunggu, sampai-sampai aku tak berani merebahkan tubuhku di kasur dengan selimut yang hangat.
Kualihkan pandanganku ke arah jendela. Benar, langit berkilau api beraneka warna. Tapi pemandangan itu tidak lagi terasa menarik bagiku.
Kata orang, tahun baru itu berarti harapan akan adanya perubahan menuju hidup baru yang lebih baik. Meninggalkan kenangan-kenangan tak berarti dan membungkusnya dalam selembar mimpi di malam terakhir. Membuka hari dengan segenggam pasir impian dan menaburkannya di setiap sudut doa. Menghitung waktu yang tak pernah berjalan mundur, di depan sana semoga masih ada kebahagiaan untukku.
Happy New Year, Ratiya Damayanti !
Mungkin ini saatnya kamu mengakhiri penderitaan orangtua mu. Hanya ini yang bisa kamu lakukan untuk membalas jasa mereka membesarkanmu sampai bisa berpikir sedewasa ini.
Cepat, kugerakkan kaki-kakiku menuruni tangga, menuju “penjara” mereka. Kulihat pintu kamar mereka tak tertutup, mereka asik perang di dalamnya. Tangan Ayah menggenggam sebuah vas bunga yang cukup besar, mungkin hendak ia layangkan ke kepala Ibu. Di sudut ruangan Ibu meringkuk ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, wajahnya bersimbah airmata.
“Cukup!!! Permainan kalian selesai sampai disini!!!” ucapku lantang.
“Tiya, sedang apa kamu disini, Sayang? Sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Ayah lembut seperti biasanya. Wajahnya bermain saat berbicara denganku, tapi tangannya tak bergeser sedikitpun. Terlihat sekali niatnya untuk mengadu vas bunga itu dengan kepala Ibu.
“Jangan pura-pura manis lagi!!!” kurebut vas bunga dari tangan Ayah. “Kalian berdua iblis!!! Bukan orangtua biasa!!!” teriakku lagi.
“Praaaanggggg!!!”
Kulemparkan vas bunga itu kuat-kuat ke luar kamar, melewati pintu yang masih terbuka lebar.
“Sayang, maafkan Ibu! Gara-gara kami, kamu terbangun!”
Ibu berlari hendak meraih pelukanku, tapi aku segera menghindar.
“Kapan kalian sadar?!” lanjutku kali ini dengan suara pelan. “Kalian kira aku bahagia?! Kalian kira perasaanku terjaga karena keegoisan masing-masing dari kalian?! Seperti apa yang selama ini kalian harapkan?! Tidak! Aku sudah bilang sejak dulu sebaiknya kalian bercerai! Jangan pikirkan aku! Pikirkan hidup kalian dulu! Toh, akhirnya keputusan kalian membuatku merasa… tak ada artinya aku di keluarga ini. Dan lebih dari itu… kalian menghancurkan jiwaku, perasaanku… Aku tertekan… Jauh lebih tertekan dari apa yang dulu pernah dirasakan almarhum Kak Tyas. Kalian tahu, apa yang selama ini aku simpulkan atas hidupku yang kalian buat sedemikian rupa? Seharusnya sudah sejak dulu aku menyusul Kak Tyas. Mempertahankan hidupku sama dengan mempertahankan penderitaan kalian berdua. Sikap kalian yang egois membuatku merasa menjadi anak yang durhaka!”
“Tidak, Tiya! Tidak! Bukan maksud Ayah untuk…”
“Diam!!! Aku tak minta kalian menjelaskan apapun! Indera ku cukup sempurna untuk membaca semua permasalahan secara mendetail, bahkan lebih dari semua yang kalian sadari. Aku bukan anak kecil yang selamanya bisa kalian cekoki dengan kalimat yang manis dan bujukan-bujukan yang menyenangkan. Semuanya harus berakhir sekarang!”
“Tiya…”
“Kalau aku pergi, aku yakin tidak akan ada lagi yang menghalangi perasaan kalian untuk berpisah! Iya, kan?! Karena itu aku akan pergi!”
“Tiya, jangan pergi! Kamu mau kemana?! Kamu harus tetap bersama kami!”
“Ibu tidak perlu khawatir! Aku ingin bersama Kak Tyas lagi, itu saja!”
“Tidak!!! Tidak Tiya!!! Tidak!!!”
Ibu berteriak histeris mendengar jawabanku. Reaksinya membuatku tak mampu menahan bendungan airmata. Aku bahkan tak mampu lagi menahan emosiku.
“Aku ingin melihat kalian bahagia!!! Aku juga ingin hidupku bahagia!!! Dan itu semua tidak akan pernah kudapati kalau aku terus berada diantara kalian!!! Mengertilah!!!”
“Jangan lakukan hal bodoh itu! Kami janji akan lakukan apapun yang kamu minta! Kami tidak ingin kehilangan kamu, Tiya!”
“Aku juga tidak ingin kehilangan kalian! Tapi aku lebih tidak ingin mempercayai kalian lagi! Selamat tinggal Ibu, Ayah!!! Semoga kalian bahagia dengan hidup baru kalian tanpaku!”
Dengan yakin kumelangkah keluar dari kamar mereka. Sebelum akhirnya Ayah menarik tubuhku kuat-kuat untuk menghalangi niatku.
“Kamu tidak boleh melakukannya!!! Ayah tidak akan membiarkan itu terjadi!!!”
“Ayah tidak bisa mengatur hidupku!!! Lepaskan aku!!!”
Dengan sedikit kasar aku mendorong tubuh tinggi Ayah menjauhiku. Hampir ia hilang keseimbangan dan terjatuh.
“Maaf!!! Jangan cari aku!!! Karena aku tidak akan ada lagi dimanapun?! Sekalipun berbentuk mayat!!!”
Dengan cepat aku lari ke luar rumah. Kulihat mereka mengejarku. Tapi aku sendiri tahu mereka tak akan mampu mengejarku. Karena untuk pertama kalinya aku begitu bersemangat lari dari kenyataan hidupku, aku akan lari sekencang mungkin. Meninggalkan masa lalu. Mencari hidup yang baru.

Kubuka mataku. Kulayangkan pandangan mataku pada langit yang biru. Pagi yang indah.
Kudengar suara gerbong kereta listrik itu semakin mendekat, kira-kira 50 meter di dekat ku. Suaranya terdengar indah.
Semakin mendekat… Semakin mendekat…
Berbaur dalam satu suara, Galang berteriak memanggil namaku. Ternyata suara Galang terdengar merdu, atau hanya perasaanku saja.
Angin di sekitarku semakin kuat berhembus. Tanda bahwa jarak antara aku dengan kereta itu sudah sangat dekat. Berarti, sudah saatnya.
“Selamat Tinggal Masa Lalu!!!”
Detik berikutnya kurasakan tubuhku terlempar dari tempatku berdiri semula. Aku terguling di atas tanah berumput basah. Bersama Galang yang memeluk tubuhku erat-erat.
“Galang, lepaskan aku?!”
“Tidak akan! Sebelum pikiranmu kembali waras?!”
“Aku tidak gila, Galang! Lepaskan aku!”
“Kamu hendak membiarkan tubuhmu tergilas barisan gerbong itu dan kamu berpikir kalau itu tindakan waras. Apa itu bukan gila namanya?!”
“Hahaha!!! Kamu pikir aku manusia yang sepicik itu, manusia yang rela tubuhnya digilas kereta listrik?! Aku belum mau mati!”
“Tapi, kalau aku tidak mendorong tubuhmu…”
“Aku akan melompat dengan sendirinya! Ah, kamu mengganggu ritualku! Aku kan sudah bilang, perhatikan saja dari jauh!” protesku.
“Kamu benar-benar gila, Tiya!” cibirnya pelan.
“Galang, aku terima tawaranmu! Aku bersedia menjadi anggota baru keluargamu! Mulai sekarang juga aku akan jadi adik yang manis untukmu!” ucapku sembari mengumbar senyum.
“Kalau aku meminta lebih bagaimana?!”
“Itu urusan nanti…”
“Oke! Selamat datang di hidupmu yang baru, Ratiya Damayanti!”
“Maaf, Ratiya Damayanti baru saja mengakhiri hidupnya di atas lintasan kereta! Perkenalkan, namaku Gemintang!”
Ratiya sudah mati, dipagi hari setelah ia meninggalkan keluarganya. Dia sudah menyusul kakaknya di surga. Semua orang harus tahu itu. Dan mereka harus percaya itu. Ratiya sudah mati tergilas kereta api dan jasadnya menghilang begitu saja.
Selamat tinggal, Ratiya! Selamat tinggal masa lalu mu!
Tapi…
Gemintang, Selamat Datang di Hidup yang Baru!

* * * TamaT * * *

created by, Ressa Novita (Ocha)

Senin, Mei 18, 2009

Hurt in My Heart

Hati ini gelap, aku seolah mencinta, tanpa pernah belajar mencinta. Sebenarnya apa yang aku inginkan?! Kasih sayang? Cinta? Bukan! Yang aku ingin hanya kepuasan batinku. Bayang-bayang semu yang aku anggap nyata dibalik sosoknya.
Hebatnya aku! 5 tahun berlalu dan wajah ini hanya milik seorang aktor professional. Kebohongan menjadi penopang utamaku dalam menjalani sandiwara hidup ini. Tapi, apakah panggung kebahagiaan ini dapat kupertahankan untuk selamanya?!
“Alena, maukah kamu menikah dengan ku?”
Ketika apa yang ada didepan mata, adalah kesungguhan. Ketika sang aktor lainnya bermain tanpa seolah bermain. Ketika semua aktor selain aku menghidupi panggung ini dengan kejujuran dan ketulusan hati.
“Aku…”
Pantaskah aku terus bermanis dengan dusta. Menyakiti hatinya. Lagi dan lagi.
“Alena…”
Geon mengeluarkan kotak kecil cantik berwarna merah dari saku jaketnya. Dan aku dapat menebak apa isinya. Tapi Geon, apa pantas aku menerimanya? Padahal aku belum sedikitpun menerima hatimu dengan ketulusan. Selama ini aku hanya berdusta. Berdusta pada diriku sendiri, padamu, Rena dan pada semua orang. Tidak, aku tidak bisa menerimanya. Tapi bagaimana aku menolaknya?!
Geon hendak membuka kotak kecil itu untuk menunjukan isinya.
“Uhm, Geon… Aku belum siap!” jawabku segera, sambil meraih tangannya yang hampir saja membuka kotak itu.
Mendengar jawabanku yang mungkin sedikit membingungkan untuknya, ia memasukkan kembali kotak kecil itu ke saku jaketnya. Wajahnya berubah sendu. Seolah baru saja kehilangan semangat hidup yang semula tak pernah lepas dari raut wajahnya yang tampan itu.
“Maafkan aku Geon, tapi aku belum siap!” ucapku sekali lagi.
Geon tersenyum lembut setelah mencerna kata-kataku dengan lebih bijaksana. Kesenduannya pun hilang seketika. Kembali menjadi Geon yang aku kenal.
“Tak apa, sayang! Asalkan kamu tidak memintaku pergi dari sisimu. Coz, I love you!”
Geon mengecup keningku dengan lembut. Kecupan yang hanya dapat kubalas dengan satu senyuman tanpa rasa.
* * *
“Apa? Geon melamarmu?! Bagus donk kalo gitu! Selamat ya!”
Aku menggelengkan kepalaku tanda tak setuju dengan pendapat yang baru saja dilontarkan Rena. Uluran tangannya untuk menyelamati ku tidak kuraih. Yah, pikirku untuk apa kata selamat. Ini bukan sesuatu yang pantas dirayakan. Karena ini luka baru untukku.
“Maaf, Rena! Tapi aku menolak lamarannya!” ucapku pelan.
“Apa?!”
Keterkejutan Rena membuatku sepuluh kali lebih terkejut. Jantungku hampir saja terpisah dari tubuhku. Memang Rena pantas terkejut dan dia pantas marah jika ia tahu alasan apa yang membuatku menolak lamaran seorang pria yang selama ini semua orang tahu sangat aku cintai melebihi apapun.
“Alena! Jadi tebakanku selama ini benar?! Kamu mengejarnya, kamu membuatnya mencintaimu, kamu menerima cintanya, dan menjalani hubungan selama 5 tahun, hanya untuk menutupi luka dihatimu. Menggantikan Rion mengisi hari-harimu. Berkhayal kalo kamu ada disamping Rion, dan kamu akan terus disamping Rion. Benar kan?!”
Aku mengangguk pelan mengiyakan kata-kata yang tanpa disangka keluar begitu saja dari mulut Rena. Padahal aku baru saja ingin mengakui semua itu, tapi ternyata ia sudah tahu, bahkan ia lebih tahu.
“Braakkk!!!”
Meja kayu tempatku menyanggahkan kedua tanganku bergetar bersamaan dengan tangan Rena yang dibenturkan sangat keras ke muka meja.
“Rion sudah mati! Dan luka di hati kamu tak akan pernah terhapus selama kamu belum menghapus kemelekatan kamu terhadap Rion. Lupakan Rion! Sejak dulu aku sudah bilang, lupakan Rion! Kamu memang cinta mati sama dia, tapi bukan berarti saat Rion mati kamu menganggap semua pria itu Rion. Karena Rion tidak bisa disamakan dengan pria manapun. Rion hanya satu Rion. Dan dia tidak akan kembali apapun yang kamu lakukan, dia tidak akan kembali. Dia sudah mati!”
“Cukup! Rion tidak mati!”
“Alena?!”
“Maksudku Rion memang sudah mati. Tapi dia masih hidup! Dan dia sekarang hidup dalam diri Geon!”
“Rion sudah mati, Alena! Dan tidak ada Rion di dalam diri Geon! Hentikan khayalan kamu! Kamu hidup di dunia nyata! Saat ini yang kamu miliki adalah Geon, yang ada di sisi kamu adalah Geon, yang paling mencintai kamu adalah Geon, dan yang kamu butuhkan adalah Geon. Bukan Rion, atau pria manapun yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam di masalalu mu!”
Aku menangis, airmataku berjatuhan dengan sangat deras saat mendengar semua yang diucapkan Rena padaku. Semua tanpa satupun kesalahan.
“Selama ini aku sudah menyadari kebohonganmu pada Geon, sejak kamu berusaha menemuinya padahal dulu kamu sama sekali tidak mengenalnya. Aku tahu ini semua salahku. Aku yang salah pernah mengatakan kalau mata Geon murip dengan mata Rion. Aku yang salah. Tapi aku mohon, Al! Hentikan! Kamu hanya memperparah luka di hatimu! Kamu juga akan membuat luka di hati Geon! Di hatiku, juga di hati Rion yang mengawasimu dari alam sana. Kamu melukai dirimu dan semua orang! Karena itu hentikan! Aku mohon!”
Aku mengangguk tanda setuju. Dibalas senyuman dan pelukan hangat dari Rena, sahabatku.
* * *
“Al, selama 3 hari aku akan pergi ke Singapura! Aku harus…”
“Tidak boleh!” perintah tegas itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
Geon tidak boleh pergi ke tempat itu. Pikiran melayang ke masa lalu. Ketika Rion berpamitan untuk pergi ke Singapure untuk menjenguk kerabatnya yang sedang sakit parah selama 3 hari.
“3 hari lagi aku akan kembali ke Jakarta, aku tunggu kamu di bukit jam 7 malam. Aku ada sesuatu buat kamu”
Dan Rion pergi tanpa sedikitpun usahaku untuk menahannya. Dan dia…
“Al, aku harus…”
“Kamu tidak boleh pergi ke Singapura!”
“Kamu ini kenapa sih?!”
3 hari kemudian aku menerima sms dari Rion. Yang isinya mengulangi permintaannya sebelum ia berangkat. Ia ingin aku menemuinya di bukit jam 7 malam. Tanpa firasat apapun aku memenuhi keinginannya. Tapi yang aku temui di bukit itu bukan Rion.
“Ri…Rion…”
Terkejut. Aku melihat sebidang tanah dengan nisan marmer bertuliskan nama Rion dipermukaannya. Diatasnya berserakan kelopak-kelopak bunga yang masih segar.
“Haha…Jangan becanda deh! Nggak lucu tau! Rion cepat keluar!”
Akupun yakin dia pasti sedang bersembunyi dan mengawasiku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Dia pasti menungguku menangisi makam palsu yang dibuatnya.
“Rion! Udah deh! Aku nggak akan menangis cuma karena kejahilan kamu ini! Cepet keluar! Kalo nggak aku pulang nih!”
Tapi dia tetap tidak muncul.
“Alena, maafkan aku!”
Suara Rion.
“Rion, ayo keluar! Jangan permainkan aku lagi!”
“Alena…”
Suara itu terdengar semakin pelan. Dan terus terdengar sayup-sayup lalu hilang tertelan hembusan angin..
Aku mulai berpikiran jelek. Aku kembali menatap batu nisan itu dengan teliti untuk menghilangkan keraguanku. Aku meraba setiap ukiran huruf yang menghiasi nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian,dan…
“Sebuah cincin?!”
Cincin cantik aku temukan tergantung di sebuah paku yang menancap diantara huruf-huruf di nisan itu.
“Jadi ini yang ingin kamu tunjukan?! Baiklah, sekarang keluar! Aku sudah menemukan hadiahmu! Rion…”
Tidak! Aku tidak bisa bersabar lagi! Ini sudah keterlaluan!
“Cukup! Cukup Rion! Keluar!!! Jangan membuatku takut!!! Rion keluar!!! Aku ingin memelukmu… Aku ingin kamu memasangkan cincin ini di jariku…”
Aku menangis tiba-tiba. Entah atas dasar apa. Aku hanya ingin melihat wajahnya yang muncul dan mentertawaiku. Tak apa! Aku hanya ingin melihatnya.
“Maaf, Alena…”
“Rion…”
Aku menoleh keasal suara dan mendapati sosok pria yang menyerupai Rion.
“Rion…”
“Alena, ini aku Dion. Kakak Rion! Maaf aku terlambat!”
“Kak Dion! Rion mana?!”
“Itu, yang kamu pegang”
Aku menatap nisan yang tanpa sadar masih terus kulekatkan dengan telapak tanganku.
“Hah, kak Dion! Jangan becanda deh! Mana Rion?!”
“Alena, Rion…”
Aku melihat airmata berjatuhan dari kelopak mata Dion. Bibirnya terlihat kelu untuk melanjutkan kata-katanya.
“Kak Dion jangan becanda! Rion tidak mungkin… Tidak mungkin… Dia janji tidak akan ninggalin aku… Tidak mungkin, Kak…”
“Saat mobil kami melewati pertokoan, Rion melihat sebuah boneka tedy bear berukuran sangat besar terpajang di etalase toko. Dia bilang kamu sangat menginginkan boneka seperti itu. Lalu dia menghentikan mobil yang dikendarainya dan berlari menyebrangi jalan menuju toko itu. Ia membeli boneka itu, tapi saat ia kembali menyabrangi jalan, ia lengah. Sebuah taksi menabraknya dengan kencang. Dan dia…”
“Rion meninggal di Singapura… Karena itu kamu jangan pergi, kamu tidak boleh pergi!”
Tanpa sadar aku sudah memeluk Geon dengan sangat erat dan menangis di pangkuannya. “Siapa Rion?!”
Pertanyaan itu tiba-tiba membuatku terhentak. Geon bertanya siapa Rion. Apa yang harus aku katakan padanya tentang Rion.
“Alena, siapa Rion?!” ulangnya.
* * *
Akupun menceritakan semuanya. Yah, aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini. Aku harus mengakhirinya.
“Maaf, Geon! Selama ini aku sudah jahat sama kamu! Aku menyayangimu, tapi aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya memanfaatkan kemiripanmu untuk menutupi kesedihanku yang telah kehilangan dia, orang yang aku cintai. Dan aku sadar, aku tidak bisa selamanya hidup dengan kebohongan, kepura-puraan. Aku harus mengakhiri semuanya!”
“Al…”
“Kamu boleh marah! Kamu boleh benci! Kamu boleh memukulku! Tapi maaf kan aku! Aku sudah banyak melukai hatimu! Aku jahat! Aku egois!”
“Tapi kebohongan itu manis, sayang! Dan aku bahagia! Selama ini kamu bersandiwara sebagai orang yang paling mencintaiku, walaupun hanya sandiwara, tapi aku bahagia. Aku sedih! Tapi aku tidak akan marah, tidak akan membencimu. Apapun kenyataannya. Kebohongan, kepura-puraan, apapun yang kamu berikan. Aku senang. Karena di dalam sini hanya ada satu perasaan. Cinta yang tak akan pernah hilang”
Baiknya pria ini, kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari ketulusannya? Kenapa selama ini aku tidak pernah benar-benar mengenali dia yang sesungguhnya? Dan kenapa aku tega melukainya?
Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku menangis dibahunya. Aku menyesal telah melakukan semua ini padanya. Aku menyesal tidak pernah menghargai perasaannya. Aku menyesal tidak pernah tersenyum tulus padanya. Aku menyesal tidak pernah mencintainya. Aku menyesal telah menyimpan bayang-bayang Rion dibalik sosoknya. Dan ribuan penyesalan yang tak akan pernah terhapuskan dengan satu kata maaf.
“Lagi pula, tadi kamu melarangku pergi karena teringat masa lalumu dengan Rion. Aku percaya, itu tandanya kamu menyayangiku sama seperti kamu menyayangi Rion. Iya kan?!”
Aku membenarkan kata-kata Geon didalam hati. Dia benar, aku mulai menyayanginya. Dan aku tidak ingin kehilangan dia seperti dulu aku kehilangan Rion.
“Jangan tinggalkan aku, Alena! Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku benar-benar mencintaimu!”
“Aku tidak pernah bilang ingin meninggalkanmu kan?”
Geon memelukku lebih erat saat mendengar jawabanku.
“Terima kasih, sayang!”
“Tapi, biarkan aku mengulanginya dari awal! Dari toko buku Fraza”
“Apa?!”
“Aku bersedia menikah denganmu!”
“Benarkah?!”
Geon hampir melompat dari tempatnya duduk manis.
“Yup, jika kamu bersedia memulainya dari awal pertama kali kita bertemu”
Karena saat itu aku akan menyapamu tidak sebagai Rion atau siapapun. Tapi akan ku sapa dirimu sebagai malaikat yang akan menyembuhkan luka di hati ini.


*** TamaT***

created by, Ressa Novita (Ocha)

Tak Kan Kulakukan Segalanya Untuk Cinta!!!

“Rose, aku cuma mau kasih tau kamu kalau Pak Ricky baru aja jadian sama….”
Suara dari speaker telepon genggamku tak lagi terdengar. Sesaat. Hening.
“Merliana. Ehm… Maaf, Rose! Tapi semenjak kamu lulus Merliana tak henti-hentinya mendekati Pak Ricky. Aku ga tau jelas apa penyebab hubungan mereka bisa sampai sejauh ini. Mungkin Pak Ricky…. Halo?! Rose?! Kamu masih disana kan?! Halo?! Rose?!”
Braakkk!!! Sekuat tenaga kulemparkan telepon genggamku ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Kenapa?! Entahlah! Kabar yang baru saja kudengar membuat darah di seluruh tubuhku serasa mendidih dan memenuhi kepalaku. Panas. Sangat panas. Selanjutnya aku tidak dapat mengendalikan diriku lagi. Ricky. Merliana. Hanya 2 nama itu yang terus bergantian menggema di rongga kepalaku.
Tanpa sadar aku berlari, berlari dengan cepat, dan terus berlari. Berlari ke Gedung SMU lamaku yang letaknya lumayan jauh dari kampusku. Aku tak peduli apapun. Aku hanya ingin bertemu Ricky. Saat ini juga. Dan memperingatkannya untuk menjauhi Merliana. Karena gadis itu yang dengan cara liciknya telah memisahkan aku dan Ricky.
* * *
Aku mengenal Ricky 5 tahun yang lalu, saat ia memaksaku membantunya membersihkan Laboratorium Biologi. Ya. Dia adalah guru yang mengajar pelajaran Biologi di SMU ku. Meskipun guru usianya hanya 4 tahun lebih tua dariku dan masih sendiri. Awalnya aku tidak menyukainya, sama seperti murid-muridnya yang lain. Murid-murid men-capnya sebagai guru paling tampan saat pertama kali bertemu, tapi setelah itu tidak ada satupun pujian baik untuknya. Dingin, galak, kejam, dan tidak mau berkomunikasi dengan siapapun di sekolah itu, termasuk rekan seprofesinya. Tapi ternyata sikapnya tidak seperti itu padaku, malah sebaliknya.
Hari berganti hari keakraban pun tumbuh diantara kami. Hanya sebatas akrab. Berawal dari keakrabannya denganku, aku berusaha merubah image nya di depan semua orang dan berhasil. Haha, ternyata dia hanya grogi karena belum terbiasa menghadapi orang banyak yang tidak dikenalnya.
Ditahun kedua keakraban kami, dia bukan lagi guru yang dibenci. Malah begitu banyak gadis yang mengelilinginya, Murid perempuan maupun guru perempuan yang masih lajang. Hubungan kami pun tak lagi sekedar keakraban antara guru dan murid tapi sepasang kekasih. Meskipun kami tidak saling mengungkapkan perasaan kami, tapi kami tahu perasaan kami masing-masing.
Hubungan ini kami jaga rapat-rapat, jangan sampai pihak sekolah mengetahui. Karena statusnya sebagai guru dan statusku sebagai murid dengan prestasi cukup memuaskan. Jika ketahuan terlibat hubungan percintaan, resikonya berat. Dia bisa dipecat sebagai guru, dan bukan tidak mungkin aku pun dikeluarkan.
Ditahun terakhirku sebagai murid SMU, muncul seorang murid baru yang sepertinya mencium rahasia kami. Dialah Merliana, gadis dengan sorot mata yang tajam dipadukan dengan senyuman yang manis. Dia begitu lihai memainkan lidahnya. Sangat menarik. Sampai-sampai ia bisa berada diantara aku dan Ricky tanpa membuat kami curiga. Dalam pikiranku ia hanya seorang gadis yang butuh teman, mungkin Ricky juga berpikir seperti itu.
Tapi ternyata perkiraanku salah. Saat waktuku bersama Ricky menipis karena kesibukanku menjelang ujian akhir. Ricky lebih sering menghabiskan waktunya bersama Merliana. Dan entah apa yang mereka obrolkan setiap saat, berdua. Tapi yang aku tahu perlahan hubunganku dan Ricky merenggang tanpa alasan yang jelas. Dia seringkali melemparkan tatapan benci padaku, bahkan tidak lagi membiarkanku masuk keruangannya. Sampai masa sekolahku ditempat itu berakhir, ia tidak sekalipun menghiraukanku.
Beberapa waktu kemudian aku bertemu Arindi. Gadis hitam manis berambut ikal itu, meminta maaf padaku. Ternyata dia adalah sahabat Merliana yang juga satu kelas dengan Merliana. Arindi tidak suka dengan perbuatan Merliana tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menceritakan semua siasat Merliana untuk memisahkanku dan Ricky dari awal sampai akhir. Sampai saat ini kabar tentang Ricky yang disampaikan Arindi menjadi pelepas rindu setiap kali aku teringat kenanganku bersama Ricky. Dan akan terus seperti itu sampai Arindi menyelesaikan sekolahnya.
Tapi kali ini, tidak cukup hanya dengan berdiam diri setelah mendengar kabar Ricky yang baru saja disampaikan Arindi. Aku harus menemui Ricky. Pertemuan pertama setelah hampir 2 tahun aku meninggalkan sekolah itu.
* * *
“Kamu mau apa kesini?!” Arindi menghadangku di depan pintu gerbang sekolah dengan wajah memerah karena marah.
“Menemui Ricky! Minggir!”
“Aku kasitau kamu bukan untuk mengganggu hubungan mereka!”
“Ndi, aku pernah bersumpah. Siapapun boleh, asal jangan dia! Ga boleh dia! Dia yang telah menghancurkan hubunganku dan Ricky. Dan kamu juga kan yang bilang kalo pacar Meliana tuch dimana-mana. Sedikitpun dia bukan gadis yang baik buat Ricky. Aku ga rela kalo mereka jadian!”
“Kamu ga boleh menemui Pak Ricky! Bagaimanapun juga Meliana sahabatku, dan aku ga akan mengkhianatinya lebih jauh lagi!”
“Kamu ga mau melihat sahabatmu membuat kesalahan kan?! Kamu tahu kan maksud Meliana membina hubungan itu bersama Ricky. Dan tidak perlu dijelaskan lagi kalo Ricky hanya menjadi korban kebenciannya padaku. Aku tidak ingin Ricky terluka! Aku harus menyadarkannya!”
“Apapun alasan kamu, kamu tetap ga berhak mengganggu hubungan mereka!”
“Begitupun dengan Meliana, 2 tahun yang lalu dia juga ga berhak memisahkanku dengan Ricky. Apa salahnya jika sekarang aku sedikit membalas perbuatannya?! Aku ingin yang terbaik buat Ricky meskipun yang terbaik itu bukan aku. Jangan halangi aku!”
Aku mendorong tubuh Arindi sampai nyaris terjatuh dan dengan cepat melangkah masuk ke gedung sekolah.
* * *
Aku masuk tanpa permisi ke ruang Lab. Biologi tempatnya menghabiskan waktu. Tak peduli meskipun saat itu ia sedang sibuk mengajar murid-muridnya.
“Apa yang kamu lakukan disini?!”
Setelah melihat kemunculanku yang tiba-tiba, dengan sigap Ricky berdiri dari bangkunya dan menarik tanganku untuk segera keluar.
“A… aku ga mau kamu terluka! Ja… jadi tolong akhiri hubungan kalian!” ucapku terbata-bata. Ternyata setelah hampir 2 tahun tidak bertemu hati ini tetap berdebar-debar saat berbicara dengannya. Bahkan lebih dari yang pernah kurasakan saat menghabiskan waktu bersamanya dulu.
“Hubungan apa???” tanya Ricky sambil menahan tawanya dengan tampang serius.
“Lho?! Kok malah tanya hubungan apa?! Ya, hubunganmu dengan Meliana!” tegasku kesal.
“Huahahahhahaha….”
Tawa Ricky tiba-tiba meledak. Tawa seperti tawa yang selalu kulihat saat masih bersamanya. Tawa apa adanya yang dulu hanya diperlihatkannya padaku. Sejenak aku terbuai dengannya. Ada rasa ingin memeluknya. Tapi, ini ga lucu!
“Cukup!!! Jangan tertawa lagi!!!” teriakku marah.
Kemarahanku seketika menghentikan tawanya dan wajahnya kembali terlihat serius.
“Aku datang kesini bukan untuk melihatmu mentertawaiku! Aku cuma mau kamu tahu siapa Meliana yang sebenarnya. Dia adalah orang yang….”
“Membuatku melakukan kesalahan terbesar dengan meninggalkanmu tanpa alasan. Aku tahu itu!”
“Kalau kamu sudah tahu kenapa kamu tetap menjalin hubungan dengannya?!”
“Hubungan apa?!” tanya Ricky sambil kembali tertawa. “Aku tidak pernah mengganti posisimu dihatiku dengan gadis manapun!”
“Jadi yang dikatakan Arindi padaku?!”
“Selama ini aku mendekati semua murid satu persatu hanya untuk mencari tahu tentang kamu yang selama 2 tahun tidak bisa aku temui, yang suaranya saja tidak bisa aku dengar. Akhirnya aku menemukan kabar tentangmu dari Arindi. Aku tahu semuanya dari awal kejadian 2 tahun yang lalu sampai keadaanmu sekarang dari Arindi. Awalnya aku cukup senang, kerinduanmu padamu cukup terobati. Tapi aku sangat ingin bertemu denganmu. Aku sudah berusaha menemuimu, menghubungimu, tapi kamu tidak pernah sekalipun menghiraukanku. Karena itu aku minta pertolongan Arindi untuk mencari cara agar kamu datang padaku”
“Jadi kamu dan Arindi menjebakku?! Iya?!”
“Kalo tidak dengan cara ini apa kamu mau datang padaku seperti ini?! Kalo tidak dengan cara ini apa kamu mau sekali saja mendengar penjelasanku?! Kalo tidak dengan cara ini mengangkat telepon dariku saja kamu tidak akan sudi kan?! Iya kan?!”
Aku tersenyum puas. Lega. Aku tahu aku baru saja dibohongi. Tapi ini berita baik buat ku. Kenyataannya tidak seperti yang sejak tadi kubayangkan. Tidak ada Merliana. Tidak ada siapapun. Aku senang.
“Jadi kamu dan Meliana ga ada hubungan apa-apa?!” tanyaku sambil tersenyum.
“Lebih dari itu. Bahkan aku sudah tidak pernah melihatnya lagi. Dia sudah lama pindah sekolah, entah kemana. Arindi, sahabatnya pun tidak tahu dimana dia sekarang. Karena itu, Rose, temani aku mengajar disini seperti dulu lagi. Menghabiskan waktu berdua, hanya kita berdua”
Aku menunduk diam. Kenyataan bahwa tak sekalipun ia melupakanku membuatku sedikit tersentuh. Aku merasakan airmataku mulai membasahi pipiku ketika aku sadari pelukannya mendarat di tubuhku. Dia memelukku. Pelukan yang sangat kurindukan bersamaku sekarang.
“Maafkan aku, Rose! Aku memang bodoh! Aku sangat bodoh! Bisa-bisanya aku mempercayai ucapan Meliana tentang kamu. Padahal seharusnya aku mempercayaimu. Seharusnya aku percaya kalo kamu tidak seperti yang ia katakan. Rose, aku memang ga pantas mendapatkan kata maaf darimu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa selama ini aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.
Didalam pelukannya yang begitu hangat, untuk pertama kalinya aku mendengar kata cinta darinya. Kata yang selalu aku nantikan dalam setiap detik waktu yang kulalui bersamanya. Tapi itu dulu, saat aku masih meyakini dia tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi.
Segera aku mendorong tubuh Ricky agar melepaskan pelukannya.
“Maaf, Ricky! Tapi seharusnya kamu katakan itu 2 tahun yang lalu. Bukan sekarang! Kamu tinggal kenangan untukku. Aku ingin melihatmu bahagia. Tapi tidak denganku”
“Kamu ngomong apa sih, Rose?!”
“Aku juga mencintaimu, Ricky. 2 tahun aku mencoba melupakan rasa itu, tapi rasa itu tidak juga hilang. Sampai saat ini aku tetap mencintaimu. Tapi aku bukan pejuang cinta. Cintaku memang tidak pernah mati, mungkin akan ada untuk selamanya. Sayangnya aku sudah lama membunuhmu dalam hatiku. Tidak lagi aku mengharapkan keajaiban untuk dapat kembali padamu. Maaf, Ricky! Seberapapun inginnya kamu kembali padaku, itu sudah tidak mungkin. Karena disini, dihatiku sudah tidak ada lagi tempat untukmu”
“Tapi, Rose….”
“Rose!!!”
Seorang pria berlari kearah kami. Tangannya menenteng tas ransel cantik berwarna hitam. Tas ransel milikku yang kutinggalkan di taman kampus setelah menerima telepon dari Arindi.
“Steve! Kamu kok bisa tau aku ada disini?!” tanyaku sambil tersenyum sumringah menyambut kedatangannya.
“Kamu kemana aja sih?! Aku kan sudah bilang, tunggu aku di taman! Saat aku sampai disana yang tersisa tinggal tas dan serpihan hand phone kamu ini” protes Steve sambil menunjukan serpihan hand phone Nokia kepadaku.
Aku membalas ocehannya dengan senyum nakal tanpa dosa sambil mengambil kembali tas ranselku yang bertengger manis dibahunya.
“Rose, 1 jam lagi kita harus berangkat. Kamu masih lama?”
Tiba-tiba Steve melirik ke arah Ricky yang berada di belakangku.
“Dia….”
“Oh, Steve! Dia Ricky, mantan guru Biologi ku disini” ucapku basa-basi, padahal aku tahu Steve pasti bisa menebak siapa dia dari ceritaku selama ini. Yah, entah kenapa aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya, termasuk masalahku dan Ricky. “Ricky, ini Steve, dia….”
Bibirku kelu. Sanggupkah aku berpisah dengan cara ini. Ricky, baru saja aku mengucap ingin melihatmu bahagia. Tapi apa dengan cara ini kamu akan tersenyum bahagia. Oh, aku ragu. Padahal aku telah memutuskan untuk menanggalkan cinta ku pada Ricky, beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa tiba-tiba aku ragu.
“Rose, tidak ada kata terlambat untuk memilih! Hanya kamu yang berhak menentukan jalan hidupmu sendiri! Jika pilihan terakhirmu bukan aku. Aku rela melepaskanmu. Demi cintaku padamu”
Demi cintamu padaku?! Kamu rela melepaskan aku?! Kamu rela aku memilih Ricky?! Benarkah?! Steve?! Apa aku tidak salah dengar?!
Aku menatap wajah Steve. Air mukanya begitu cerah namun sekilas ada kesenduan dibalik senyumannya. Tak dapat kutahan lagi air mataku, saat melihat ketulusan itu. Cinta yang tulus di wajah Steve.
“Terima kasih, Steve!”
Kubelai rambut pirang kecoklatannya. Kukecup kedua belah pipi Steve. Hangat. Namun saat itu pula kulihat airmata membasahi pipi lembut itu. Airmata yang keluar dari bola mata biru miliknya yang telah bercampur dengan airmataku.
Setelah kukeringkan airmatanya dengan jemariku. Aku menghampiri Ricky yang sejak tadi membisu, namun terukir jelas kemenangan diwajahnya. Ia tahu aku akan berubah pikiran. Tapi tidak!
Aku meraih kedua tangan Ricky, menggenggamnya dengan erat. Seerat mungkin.
“Ricky, aku tidak akan pernah bisa melupakan hari ini. Kata cinta darimu. Juga kebohongan yang membuatku berada disampingmu sekarang. tapi, bersediakah kamu mengucapkan apa yang baru saja Steve ucapkan?!”
“Aku ga akan lepasin kamu lagi, Rose! Ga akan pernah!” tegas Ricky yakin.
Segera aku menarik Ricky ke dalam pelukanku. Memeluknya dengan pelukan terhangat dari semua pelukan yang pernah aku berikan padanya.
“Aku mencintaimu Ricky!”
Aku mempererat pelukanku. Karena ini pelukan terakhir dariku.
“Aku sangat mencintaimu Ricky!”
Dan ini adalah kata cinta terakhir dariku.
“Aku juga, Rose! Mencintaimu lebih, lebih dari segala-galanya di dunia ini!” balas Ricky.
“Tapi aku ingin hidup bersama Steve. Selamanya. Dia calon suamiku, Ricky. Dia menjagaku dengan cintanya selama ini. Meskipun dia ingin menyerahkanku padamu, tapi aku tidak akan meninggalkannya. Karena aku yakin, hanya bersamanya aku akan hidup bahagia. Relakan aku, Ricky!” ucapku sambil melepaskan pelukanku.
“Rose, kamu pasti bercanda kan?! Aku yakin kamu hanya mencintaiku. Dan kamu tidak mencintainya. Kamu ga mungkin bahagia hidup bersamanya!”
“Jangan bicara lagi, Ricky! Bukannya aku ingin membalas perbuatanmu padaku 2 tahun yang lalu. Bukan! Aku memang tidak mencintai Steve. Tapi aku yakin, Steve tidak akan membuangku hanya karena hasutan gadis lain. Seperti yang kamu lakukan padaku. Saat ini aku tak punya hati untuk meninggalkannya hanya untuk memilihmu”
“Rose….”
“Hari ini aku akan ikut Steve ke Inggris. Minggu depan kami akan resmi menjadi suami istri. Setelah itu kamu tidak akan menemukanku lagi di Indonesia. Jadi lupakan aku. Seperti aku yang akan melupakan rasa cintaku padamu mulai detik ini. Selamat tinggal, Ricky!”
* * *
“Rose….”
Steve menarik tanganku dan berusaha menghentikan langkahku yang hendak menuju sedan milik Steve yang terparkir dekat gerbang sekolah.
“Tadi kan kamu bilang kalo 1 jam lagi kita berangkat. Ini udah lewat 1 jam lho!”
“Kamu serius ga mau kembali sama dia?!”
“Jadi kamu ga mau nikah sama aku?!” protesku sambil cemberut. “Ya udah, pulang sana ke Inggris! Dan jangan cari aku lagi!”
Aku melangkah melewati mobilnya menuju jalan raya.
“Rose, kamu mau kemana?!”
“Kemana aja!”
“Tapi kamu kan ga punya siapa-siapa lagi disini!”
“Makanya jangan buang aku! Aku kan sudah meninggalkan cintaku hanya demi kamu!”
“Aneh! Ya udah, ayo masuk ke mobil!”
Aku tidak aneh. Hanya saja aku tidak akan melakukan segalanya untuk cinta. Karena apa?! Karena Steve adalah jawaban dari doaku pada Sang Pencipta. 3 tahun yang lalu, saat Ricky meninggalkanku dan aku merasa aku tak lagi punya harapan untuk kembali bersamanya, aku berdoa pada Tuhan.
“Tuhan, aku mohon turunkanlah malaikat yang paling mencintaiku dalam wujud yang nyata! Maka apapun yang terjadi, aku tidak akan lagi mengharapkan cinta dari seorang pria bernama Ricky”
Dalam doa itu aku bersumpah, jika terkabul aku akan melupakan Ricky. Dan ternyata dalam waktu singkat doa itu terkabul, atau memang Tuhan telah menyiapkannya untukku. Entahlah. Yang kutahu dan kuyakini. Steve adalah malaikat yang Tuhan turunkan untukku. Malaikat yang paling mencintaiku. Bahkan rela berkorban demi kebahagiaanku. Dan aku tidak boleh mengecewakannya.
“Kalo memang kamu memilihku, kenapa harus melakukan adegan seperti tadi?! Atau kamu sengaja ingin membuatku menangis?!”
“Diam! Ga usah dibahas!”
Suatu hari, entah kapan?! Aku yakin. Aku pasti jatuh cinta padanya.
~ TamaT ~

created by, Ressa Novita (Ocha)

Cermin

Dari rangkaian angka melengking suara udara
Tanpa kenal berbaris kata-kata tanpa arah
Dibalik nada tanpa tau siapa kau namun terus dan terus berkata-kata
Mencoba tuk mengenal dari pinggir-pinggir cermin kusam

Berkaca diair kotor penuh minyak kotor
Melangkah tegak karna tulang tersanggah kayu jati
Meski sedih coba menggapai jauh mentari pagi
Maaf ku semoga kau waktu mau tuk berputar kembali hari itu

OP

THE MUCUS

Hampir 5 tahun aku meninggalkan bangku sekolah menengah umum (SMU) ku dan selama itu pula aku tidak pernah lagi menginjakkan kakiku di gedung sekolah mewah itu (dinding berlumut, dua lantai, meja dan kursi penuh rayap, ruangan ber-AC alami sepoi-sepoi, lapangan olahraga sempit, tempat parkir kendaraan yang sangat tidak memadai, wc beraroma?, kepala sekolah botak).
Bukannya aku merasa malu pada semua orang yang kukenal disana karena aku tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Toh, sekarang aku sudah berpenghasilan yang lebih dari cukup hanya dengan melakukan pekerjaan yang tidak terlalu menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Bukan karena aku dulu terkenal sebagai siswi badung yang sama sekali tidak bisa diatur kelakuannya. Toh, sejak awal bersekolah disana aku diberikan kebebasan untuk menjadi apapun yang aku mau, berkat kepandaianku memberikan alasan saat ditanya ‘kenapa kamu selalu datang terlambat ke sekolah?’. Dengan sangat tidak aku mengerti, aku sadar bahwa jawaban ‘karena rumahku di belakang sekolah’ merupakan jawaban yang sangat memuaskan sang ketua yayasan Sekolah Budak Kaya itu.
Bukan juga karena aku sudah putus hubungan dengan Iwan, mantan kekasihku, seorang pegawai yang bekerja di bagian administrasi sekolah. Yang memang tidak ingin kulihat lagi wajah sang bajigur itu, gara-gara aku memergokinya mencuri bekal makan siangku saat kami sedang asik bermesraan.
Aku pernah bilang ke salah seorang temanku di sekolah itu. Bahwa jika aku lulus, aku tidak akan kembali ke sekolah itu barang sedetikpun, kalau hanya untuk menengok keadaan guru-guru dan mengenang kembali masa-masa sekolah. Alasannya sederhana, 3 tahun waktu yang lebih dari cukup bagiku untuk bersabar dan menghabiskan hari-hari penuh penderitaan dengan WC yang sama sekali tidak membuatku nyaman, walaupun hanya untuk mengeluarkan sisa polusi tadi malam.
Dan tentunya bukan itu masalahnya. Aku tidak pernah menganggap celotehan nakal itu sebagai sumpah yang harus dipatuhi, meskipun aku memang benar-benar prihatin dengan keadaan WC siswa yang ‘sangat’ wajar itu.
Jadi artinya, lebih dari 50 orang teman sekolah yang aku temui tanpa sengaja di pasar ikan dan makam pahlawan. Dan bertanya kenapa aku tidak pernah datang ke sekolah itu lagi, sekalipun pada saat acara reunion. Namun sampai saat ini tak ada satupun dari mereka yang tahu pasti penyebabnya.
Awalnya aku berharap hanya aku dan Tuhan yang tahu. Tapi ketika yang bertanya sahabat terbaikku. Seorang sahabat yang setelah hari kelulusan langsung melanjutkan studi nya di Singapura. Yang sekarang datang dengan mempersembahkan waktu yang singkat untuk ku dapat kembali berakrab-akrab layaknya sepasang kekasih ‘abnormal’ (enggak deng! Biasa aja kok :p). Apa aku harus tetap merahasiakan hal ini?
* * *
Senin, 25 Juni 2007. Hari pertama. Sahabatku Rumi tiba di bandara ‘Soekanto Mana’ dan tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi ia langsung mengajukan permintaan mengerikan.
“Temenin aku ke sekolah, ya! Aku kangen banget nih sama Ibu Dora!”
Doraemon dikangenin!
Dan keluhan itu hanya berani kuucapkan dari gua hati yang paling dalam, penuh dengan kelelawar masa lalu.
Aku masih ingat saat-saatku bersama Rumi yang paling menyengsarakan. Gadis kurang mungil itu sayang banget sama guru item berambut kribo bernama Dora, yang sering aku panggil Doraemon.
Setiap kali nama panggilan itu terdengar di telinga Rumi, tanpa assalamualaikum lagi panci susun tiga berturut-turut mencium keningku. Yang lebih parah lagi, si pemilik panci susun tiga bukannya usaha mencari si pelaku yang sesungguhnya, malah menggantungku diatas genteng kantin sekolah sebagai pelampiasan. Dan sesaat setelah itu si pemilik panci yang ternyata ibu kantin akan tersenyum dengan puasnya karena kantinnya penuh oleh siswa-siswi yang datang hendak menikmati keajaiban dunia ke delapan sambil minum es cendol buatannya.
Padahal kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tidak menjelek-jelekan Ibu Dora dengan panggilan itu. Malah sebaliknya, tokoh Doraemon lebih baik bentuk dan ukurannya dibandingkan Ibu Dora yang segede kutil. Atau jangan-jangan justru karena alasan itu Rumi marah. Karena Doraemon terlalu manis jika dipakai sebagai panggilan Ibu Dora.
“Kok, malah senyum-senyum?!” teguran ramah Rumi seketika mengembalikan nyawaku ke tempatnya semula.
“Eh, kita nonton ‘Dora The Explorer’ nya di rumah aja! Aku punya banyak lho DVD bajakannya!” jawabku asal.
“Bener?!” tanya Rumi yang seketika terlihat kegirangan. “Kalo gitu, ayo kita pulang sekarang!” ajaknya sambil langsung menarik koper-kopernya dan melangkah riang meninggalkan bandara.
Apa telingaku mulai ga waras?!. Sebenarnya yang tadi diajakin Rumi, ketemu Ibu Dora atau nonton film Dora sih???
* * *
Selasa, 26 Juni 2007. Hari kedua, aku dan Rumi siap-siap mau pergi nonton konser band terkenal Lalapan di Gelora Bung Parno, Tempayan. Ajakan mampir ke kuburan Ibu Dora kembali terdengar dari bibir seksi Rumi.
“Kita ke sekolah dulu, yuk! Kan jalannya satu arah!”
“Aduh, Rumi! Ga bisa! Lalapan itu band yang lagi ngetop-ngetopnya di Sunde Kelape ini. Udah banyak kasus penonton yang ga tau apa-apa mati keinjek-injek fans gila Lalapan. Jadi kita harus datang paling pagi buat cari tempat duduk paling strategis. Tempat duduk yang kira-kira bakal jadi inceran nenek-nenek dan kakek-kakek, juga ibu-ibu sama anak-anak. Pokoknya, kita harus duduk diantara manusia-manusia yang doyan Lalapan tapi ga punya kekuatan lebih buat bikin onar. Ngerti?!”
“Yah, ga usah segitunya kali! Kan hidup mati di tangan Tuhan!”
“Iya, kalo kita keinjek-injek langsung mati! Kalo kita ga mati tapi isi perut keluar dari sarangnya, gimana? Aku sih ga mau ngelanjutin hidup sambil bawa-bawa kantong kresek yang isinya usus kecil, usus besar, usus dua belas jari, usus buntu dan semua kawan-kawannya yang seharusnya terbaring nyaman di sini” ucapku meyakinkan sambil menunjuk ke bagian bawah tubuhku (maksudnya perut). “Ehm, tapi ga apa-apa sih kalo kamu mau keinjek-injek sendirian! Ayo, aku temenin sampe sekolah aja ya!”
Rumi menggeleng pasrah dan aku tersenyum puas. Menang.
* * *
Rabu, 27 Juni 2007. Hari ketiga, jalan-jalan ples (+) cuci mata ke Mall Taman Bandrek.
“Gian, jadi ya hari ini kita ke sekolah!!!” pinta Rumi terdengar sedikit memaksa setelah kami keluar dari Warkop 21 (dibaca : Warkop Tuentiwan).
“Serius, mau ke sekolah!”
“Ya, seriuslah!”
“Gianty!”
Tiba-tiba seorang pria separuh baya dengan tubuhnya yang atletis, berwajah kebapakan yang tampan dan berpenampilan bak seorang manager menyapaku tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Tanpa cepat-cepat membalas sapaan itu, aku segera menarik tangan Rumi untuk mendekat ke si pemilik suara.
“Halo, Mas Dhani! Kebetulan banget kita ketemu disini. Datang sama siapa?”
“Sendiri. Aku mau cari makan siang. Ehm, gimana kalau kita makan siang sama-sama? Biar aku yang traktir deh!”
“Boleh! Oh ya, mas! Kenalin ini Rumi, sahabatku yang baru datang dari Singapura yang sering aku ceritain ke mas Dhani!” ucapku sambil menarik tangan Rumi yang ternyata suhunya sudah lebih dingin dari suhu di Kutub Selatan untuk lebih mendekat. “Rumi, ini mas Dhani, cowok single yang kerjanya meng-edit naskah komik yang aku buat”
Dan hari itu berlalu hanya didalam Mall berkat kerjasama mas Dhani yang sangat memuaskan. Rumi itu paling ga tahan sama cowok single paruh baya yang kebapakan, itu tipe cowok idamannya sejak TK dulu. Suuutttt…. jangan bilang-bilang Rumi kalau aku sengaja mempersiapkan mas Dhani untuk membatalkan keinginan Rumi datang ke sekolah! Oke! :p
* * *
Kamis, 28 Juni 2007. Hari keempat, aku ngajak Rumi ke salon baru deket rumah.
“Hari ini kamu harus menemaniku ke sekolah!!!” pinta Rumi dengan nada suara yang lebih pantas diartikan sebagai perintah seorang Ratu Linggis yang tinggal di Istana Bengkelham.
Dengan santai dan suasana hati tetap tenang, aku balik bertanya tanpa menghiraukan pertanyaannya.
“Kamu tau ga kenapa aku ajak kamu ke salon hari ini?!”
“Buat creambath, manicure, pedicure, luluran,….”
“Artinya kamu ga tau kan?!” lanjutku sebelum Rumi berhasil menyebutkan semua layanan jasa yang ada di salon ini dan mendapatkan satu gelas cantik sebagai hadiahnya.
“Ga tau!”
“Aku ajak kamu kesini karena 1 jam lagi sepupuku Tondy mau datang ke rumah. Katanya, dia kangen berat sama kamu. En piringku mengatakan kalo dia masih ada rasa sama kamu dan punya niat tulus buat ngajak kamu balikan. So, setelah ini kamu ga boleh kemana-mana kecuali duduk manis di bangku taman belakang rumahku, dengan sikap anggun bak kamar mandi. Soalnya, aku bilang ke dia kalo kamu yang sekarang jauh lebih oke”
Wajah Rumi berubah sumringah.
“Mbak, sekalian di make-up yang cantik ya! Hehe!” pinta Rumi kepada si Mbak pekerja salon yang sejak tadi asik mengulung-gulung rambut panjang Rumi dengan gulungan kabel, yang katanya alternative terbaru dalam memperindah tampilan rambut wanita Indonesia.
* * *
Kamis, 29 Juni 2007. Hari kelima, mengurung diri di rumah tanpa kegilaan.
Awalnya ga punya niat untuk seharian di rumah. Karena ini berarti sama dengan hari-hariku biasanya tanpa kehadiran seorang teman hidup sesama jenis. Tapi, 3 jam sudah berlalu sejak Bejo si jantan yang tinggal di rumah sebelah berkokok melengking sebanyak 5 kali dan Rumi sama sekali belum terdengar menghentikan dengkurannya. Entah apa yang ia lakukan bersama Tondy semalaman sampai ia tak punya kuasa untuk bangun seperti biasa.
Yang dapat kulakukan saat ini hanyalah memanfaatkan waktu yang tersedia. Aku pikir selama 1 minggu aku tidak akan menyentuh peralatan menggambarku, aku benar-benar merindukan mereka semua. Tapi akhirnya kerinduan itu dapat terobati.
Tepat pukul 12 siang Rumi bangun dari mimpi indahnya. Dan tanpa kusadari dia sudah nangkring di sebelahku dan menarik lembaran kertas yang sedang menjabat sebagai media imajinasiku, alhasil sebotol tinta tumpah diatas jimat keberuntunganku.
“Rumi!!! Gambarku kamu apain?!”
Tanpa rasa bersalah Rumi merapikan semua lembaran kertas bergambar yang ada di depanku dan membuangnya ke tong sampah terdekat.
“Kamu ga boleh ngapa-ngapain hari ini, kecuali nemenin aku ke sekolah!”
“Ga bisa! Aku harus selesain kerjaanku. Waktu deadline komikku sudah dekat. Jadi tolong kertas-kertasku dipungut lagi!”
Rumi segera memungut kembali kertas-kertas yang dibuangnya di tempat sampah dan membersihkannya dengan perasaan bersalah.
“Maaf, deh! Emang kapan deadlinenya?”
“Bulan depan!”
Tiba-tiba kertas-kertas itu melayang di langit-langit kamarku, dalam ukuran yang sangat halus. Seperti turun salju, indah. Lho?!
“Arghhh… Rumi!!! Kembalikan jimat keberuntunganku!!!”
“Minggu depan kamu bisa bikin lagi! Kan deadlinenya masih bulan depan! Sekarang ganti baju kamu en kita ke sekolah”
“Kamu pergi aja sendiri! Kamu ga lupa jalannya kan?!”
“Aku mau pergi sama kamu!”
“Ga mau!”
“Harus mau!”
Paksa Rumi yang tiba-tiba menarikku dengan kekuatan bisep yang selama ini di sembunyikan di balik kemulusan lengannya.
“Tolonggggggg………………”
* * *
“Nah, kita udah sampai! Ah, akhirnya aku bisa membawamu kesini, meskipun aku belum juga mengerti kenapa kamu ga pernah mau datang kesini lagi”
“WCnya bau ikan tongkol!” jawabku dengan susah payah, karena Rumi belum juga melepaskan rantai besi milik doggi nya yang saat ini melingkar manis di leherku.
“Tau ga kenapa aku ngotot bawa kamu kesini?!”
Aku menggeleng pasrah dan tak mengharapkan jawaban bagus, karena apapun itu sekolah ini tetap penderitaan yang telah sampai di depan mata. Aku tak bisa lari lagi.
“Handry bilang ke aku kalo kamu susah banget diajak ke sekolah! Padahal waktu itu dia pengen banget datang ke sekolah bareng kamu waktu selametan sunatannya Pak Tohir yang ke 20 kali yang diadain di aula sekolah!”
Aku diam sambil ngiler mendengar alasan aneh yang ternyata diawali dengan ke’ember’an teman sekelasku yang bernama Handry itu.
“Penasaran banget nih, pengen tau apa alasannya kamu ga mau ke sekolah. Pastinya bukan karena WC. Kita semua kan tau, kalo WC di sini ga pernah bau tongkol atau jengkol atau apalah semua bau yang pernah kamu sebutin itu. Dengan sampai disini aku yakin sebentar lagi aku akan tau alasannya”
Rumi melanjutkan langkahnya, masih dengan memegang erat-erat rantai doggi yang sesungguhnya amat menyiksa batinku.
Langkahku semakin dekat dengan kebangkitan rasa bersalah. Hidupku akan berakhir disini.
Meyakinkan diri sendiri, hanya itu yang ada didalam pikiranku sekarang.
Aku segera memutuskan rantai doggi yang menjerat leherku dengan taring-taring yang tajam dan melarikan diri. Kudatangi pos satpam yang tadi kami lewati tanpa permisi.
“Bapak, pak Goni nya ada?”
Si satpam yang kayaknya masih baru bekerja disini, menjawab dengan nada dingin.
“Pak Goni udah ga ngajar disini lagi!”
Jawaban singkat, jelas, padat dan menyenangkan.
Tanpa sadar aku melompat dan berteriak kegirangan. Hal itu membuat Rumi menyadari bahwa manusia peliharaannya baru saja lepas dan sekarang sedang mengganggu satpam yang tak berdosa. Ia segera menghampiriku dan kembali melingkarkan rantai penderitaan itu ke leher manisku.
“Maaf ya, pak! Piaraan saya lepas!”
“Oh ya, ga apa-apa kok Neng! Lain kali kalo mau di ajak jalan-jalan, piaraannya di suntik rabies dulu. Biar ga berbahaya!”
“Iya deh, pak! Makasih ya!”
“Whoooo, dasar Satpam donggo! Ga bisa bedain apa mana orang mana binatang?! Mata lu mletos!” maki ku sambil mengikuti Rumi dari belakang.
Si satpam yang punya prinsip kritikan adalah pujian malu-malu segera mengambil cermin yang semula terdiam tanpa daya di meja kerjanya.
“Wah, mata ku mletos ya! Keren donk?!”
??????
“Wah, udah lama banget nih ga kesini! Kangen juga! Cari Iwan dulu ato ke WC dulu ya?!”
“Heh, Gianty! Mau kemana?!”
“Mau cari Iwan! Kali aja dia mau balik lagi sama aku! Hehe!”
Rumi mengeluarkan kembali rantai doggi nya dan berusaha meraih leherku.
“Eh, ga jadi deh Rum! Ngapain juga nyariin Iwan. Dia kan udah jahat banget sama aku. Ke WC juga enggak deh! Kayaknya masih bau jengkol deh, nanti aku pingsan lagi. Ehm, gimana kalo kita ke Ruang Guru? Ketemu sama ibu Dora”
Tanpa menunggu isyarat tanda setuju dari Rumi, aku berlenggak riang diatas jalanan kucing yang telah disiapkan untuk menyambut kedatanganku dan tak lupa melemparkan senyum terindah ke 8 penjuru mata anjing. Saat sampai di depan pintu ruang guru, segera aku mengetuk pintu berukir gambar gajah yang melambangkan Sekolah Budak Kaya itu dan membuka pintunya sebelum terdengar jawaban dari dalam.
“Selamat siang!”
“Eh, Gianty! Apa kabar? Silakan masuk!” sapa seorang guru yang sangat dipuja Rumi, Ibu Dora.
Ruangan itu sebenarnya tidak sepi, ada sekitar 10 orang guru di dalam ruangan itu. Sebagian guru kukenal dengan baik, sebagian lainnya mungkin guru baru. Karena suasana yang kali ini terlihat sedikit mencekam, aku jadi agak sungkan untuk masuk ke ruangan yang dulu jadi tempat langgananku untuk sekedar minum teh dan makan snack yang disediakan office boy sekolah untuk para guru dan antek-anteknya.
“Bu, kok sepi banget sih?! Pada sariawan ya! Biasanya kan guru-guru di sini biang gossip. Jadi kayak kuburan!”
“Hush, jangan ngomong sembarangan!”
“Ibu takut ya!”
“Sejak kepergian Pak Goni, ruangan ini rasanya hening banget. Ga ada satupun dari kami yang punya selera untuk berbincang apalagi menggosip. Karena setiap kali kami mencoba melakukan itu, kami selalu teringat akan tawa ringan milik Pak Goni. Kami jadi sedih!”
“Ah, ibu jangan terlalu membesar-besarkan! Kan masih ada guru-guru lain yang jauh lebih asik dan lebih gaul dari Pak Goni!”
“Hiks…hiks…HUAAAAAAA……”
“Lho?! I…Ibu…?! Ibu kok malah nangis?! Udah bu, lupain aja Pak Goni! Bukannya malah bagus kalo dia pergi!”
“HUAAAAAA… Kamu jahat Gianty!!! Ibu tahu kamu benci sama Pak Goni, tapi Ibu benar-benar ga nyangka kalo ternyata kamu sangat mensyukuri kematiannya. Kamu benar-benar siswa yang tidak berbakti! HUAAAAA… Bagaimana pun juga dia itu guru yang paling menyayangimu! Dia tak pernah melupakan kamu, sejak kamu keluar dari sekolah ini dia selalu menanti-nantikan kedatangan kamu. Selama 5 tahun ia selalu berharap kalo kamu mau sekali saja untuk melihat keadaannya, paling tidak untuk melihat keadaan sekolah ini. Tapi kamu tak pernah datang, sepertinya perasaan bencimu kepadanya bukan sekedar main-main, sehingga kamu terlihat seperti tidak lagi menghargai sekolah ini sebagai tempat yang telah mendidik kamu. Kamu benar-benar tidak punya……”
Entah kenapa semakin lama amarah bercampur isak tangis Ibu Dora semakin sulit untuk kudengar. Warna putih cat yang mendominasi dinding ruangan itupun semakin lama semakin menghitam. Kepalaku pusing, aku tidak tahu kenapa?! Yang aku tahu, aku tidak tahu apa-apa lagi! Aku tidak tahu!
* * *
“Sebenarnya kamu kenapa sih?! Biasanya kan kamu pingsan di WC yang bau jengkol itu. Apa ruang guru yang sekarang juga bau jengkol?!”
Sudah satu jam aku terbangun dari ketidaksadaran diriku dan selama itu pula aku belum mengucapkan sepatah katapun untuk memjawab pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi dilontarkan Rumi. Ruang kamarku terasa dingin dan tubuhku tak juga berhenti gemetar. Aku berusaha menatap diriku sendiri. Aku telah menambah dosaku. Aku berdosa.
“Apa semua ini karena Pak Goni?! Apa benar kamu sangat membencinya sehingga kamu tidak sudi lagi menginjakkan kakimu di sekolah yang telah membesarkan kita selama 3 tahun?! Tapi, kenapa?!”
“Aku ga membencinya!”
“Lalu kenapa?!”
“Aku malu… Aku merasa bersalah… Dan semakin hari aku semakin merasa bersalah. Karena aku sudah melakukan hal yang paling ia benci untuk kulakukan tanpa sedikitpun merasa bersalah. Makanya aku berusaha melupakan semua itu dengan cara tidak lagi bertemu dengannya. Dan itu cuma bisa aku lakukan dengan tidak datang lagi ke sekolah itu”
“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?!”
“Aku… Aku sudah membohonginya. Padahal aku sudah berjanji pada aku sudah berjanji pada diriku sendiri, kalo aku tidak akan melakukannya lagi. Dulu aku pernah menjatuhkan cairan hidungku di atas kertas ujian. Waktu itu aku mengikuti ujian matematika susulan, dan dia duduk di depanku sambil mengawasiku”
“Kenapa kamu bisa ga datang saat ujian matematika?! Apa kamu tidak tahu kalau mata pelajaran ini sangat penting?!” tanya pria setengah botak itu sambil memberikan kertas soal dan kertas jawaban ujian padaku.
“Sruuuuttttt… Sruuuuuttttt…” aktivitas di lubang hidungku mendahuluiku menjawab pertanyaan Pak Goni. Pak Goni pun sepertinya puas dengan fakta yang dilihatnya, ia mengangguk tanda memahami masalah yang sedang kuhadapi.
Tanpa banyak bicara lagi ia membuka Koran pagi yang sejak tadi dibawanya dan dengan santai membaca berita utama di Koran itu.
“Sruuuuuttttt… Sruuuuuttttt…”
“Duh, kamu ini! Sana pergi ke WC, bersihkan ingus kamu itu! Jorok tau!” perintah Pak Goni yang sepertinya sudah tidak tahan mendengar suara dari aktivitas si lubang hidungku.
“Sruuuuttttt… Sruuttt… Plukk!”
“Suara apa itu?!”
“Sruuuuttttt… Sruuuuttttt… Sruuttt… Maaf, pak! Ingus saya tumpah!” jawabku jujur tanpa dosa.
Pak Goni dengan wajah pucat pasi melirik ke kertas jawaban yang hampir terisi penuh oleh ukiran-ukiran alphabet bercampur angka-angka berpangkat yang sedang kubuat.
Dengan cepat ia menemukan segumpal cairan bening kental menghiasi kertas itu. Cairan hasil kerja keras kedua lubang hidungku.
“GIANTY!!! KELUAR KAMU!!! GA USAH IKUT UJIAN!!!”
“Tapi Pak, nanti nilai saya gimana?!”
“KAMU KIRA SAYA SUDI MEMERIKSA KERTAS UJIAN YANG TELAH DILUMURI CAIRAN KOTOR ITU?! KELUAR!!!”
“Tapi ingus saya bersih kok, Pak! Sumpah!”
“KELUARRRRRRR!!!!!!”
“Sejak saat itu setiap kali aku flu, Pak Goni melemparkan tatapan jengkel padaku. Matanya seolah berbicara, awas kalau kamu berani mengulanginya lagi! Dan akupun berusaha sebaik mungkin agar kecerobohan itu tak terulang lagi. Tapi suatu hari, saat aku lagi-lagi terserang flu berat”
“Gian, kamu kok bengong aja sih?! Itu, buku absennya belum kamu isi! Hari ini kan tugas kamu buat ngisi absen! Sebentar lagi jam pelajaran Pak Goni habis! Cepat kamu isi!”
Peringatan Tias menghentikan pengembaraan pikiranku yang masih tertambat pada sebuah teka-teki yang sudah hampir 6 bulan belum juga kutemukan jawabannya. Yang mana yang lebih dahulu di ciptakan oleh Tuhan, telor ayam, emak ayam atau kakek nya si ayam?!
“Sruuuuttttt… Sruuuuttttt… Telor ayam kali!”
“Hush… Jangan kenceng-kenceng narik ingusnya! Tuch liat, dari tadi Pak Goni melototin kamu!” bisik seorang cowok yang duduk tepat di belakangku.
Suasana kembali hening. Pak Goni kini sibuk mengukir barisan-barisan alphabet di papan tulis berbulu. Sedangkan murid-muridnya sibuk membuntuti tingkah laku sang guru.
Absen hari ini sudah kuisi dengan sempurna. Tapi, rasanya masih ada yang kurang. Apa ya?! Apa benar telor yang duluan?!
Selagi aku berpikir di atas buku absen berwarna biru. Tiba-tiba sumber keluarnya ingus siduardji, memuncahkan ingus berkali-kali lipat banyaknya. Aku sebagai sang pemilik sumber ingus siduardji sudah berusaha sebaik mungkin untuk menarik kembali tumpahan ingus itu, tapi apa daya seluruh hidungku tak lagi sanggup menampung ingus-ingus itu.
Aku segera mencuri pandangan ke arah Pak Goni, dan menemukannya masih asik mengukir alphabet tanpa terganggu dengan bunyi PLUKK! yang tadi sempat mengusik ketenanganku.
Setelah itu ku curi pandangan ke sekitarku, dan mendapati tak ada seorangpun yang menyadari kejadian alam ini.
Kutatap buku absen yang sudah berlumuran ingus dan sejak tadi terdiam pasrah menanti sebuah keajaiban. Kudorong sisa ingus di hidungku untuk menemani mereka yang terlihat kesepian di atas buku absen itu.
“Pluk! Pluk! Pluk!”
Tak lupa kuiringi kepergian mereka dengan doa setulus hati.
“Semoga kalian berbahagia di rumah kalian yang baru!”
“Hemph…” suara yang keluar dari tenggorokan Rumi cukup membuktikan kalau dia tidak bisa berkomentar apa-apa tentang kejadian itu.
“Aku merasa sangat bersalah pada Pak Goni. Tapi aku tahu rasa bersalah itu sudah tidak ada gunanya lagi. Pak Goni sudah meninggal. HUAAAAAAAA!!!”
“Udah jangan nangis! Gimana kalo kamu minta maaf sama dia?! Tidak ada kata terlambat buat bertobat kan?! Pak Goni pasti mau memaafkanmu!”
“Tapi kan Pak Goni udah ga ada di mana pun. Dia udah meninggal! HUAAAAAAAA!!! HUHUHUUUUU…”
“Gimana kalo kita ziarah ke makamnya? Tadi aku udah tanya dimana tempat pemakamannya sama Ibu Dora!”
“Hiks… Hiks… Iya deh…”
Nasi sudah menjadi bubur. Dan terjual habis di suatu pagi yang cerah. Aku sadar penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Pak Goni, maafkan kelancangan aku dan ingus-ingus ku! Selamat jalan, Pak Goni! Bagaimana pun juga Bapak telah memberikan kehangatan yang layak kepada ingus-ingus ku di atas buku absen milik Bapak! Jasa Bapak tak akan pernah kami lupakan!

* * * TamaT * * *
created by, Ressa Novita (Ocha)

Kamis, Maret 12, 2009

Rembulan di Pagi Matahari (Part 4) * Setulus Bintang

Pernahkah kamu melihat bintang sendiri dalam kegelapan???
Ketika ia melewati malam yang telah menelan rembulan
Ketika ia menanti pagi bercahaya membakar sinarnya
Pernahkah kamu mendengar keluhnya yang tanpa airmata???
Setiap saat ia merindukan cinta dalam bayangan mimpi
Setiap saat ia mengelukan hangat yang abadi
Aku pernah!
Dan ia ingin kamu melihat dan mendengarnya juga

“Lama ia menghilang! Lama aku merindukan senyumnya yang begitu hangat! Ia seolah marah pada dunia, pada semua alam beserta isinya. Karena satu tragedi kini ia kembali…”
“Kematian Sarah…” potongku, mencoba menjawab teka-teki yang sedang diberikannya.
Aku menatap sinarnya yang benderang kemudian meredup, benderang lagi dan kembali meredup. Setiap detik volume sinarnya berganti, seperti kelap-kelip lampu warna-warni yang mengelilingi pohon natal. Sepertinya ia sedang berpikir. Memikirkan kata-kata selanjutnya yang akan disenandungkan untukku.
“Ah, nggak asik! Masa kamu udah tahu setiap yang aku ceritakan padamu tentang Rembulan!” protesnya sambil merengut.
Cukup lama cahayanya meredup, menandakan kekesalannya yang dibuat-buat. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkahnya yang menggemaskan.
Sahabatku yang satu ini bernama Lintang, sebuah bintang penghuni langit malam. Bintang yang kalau di dunia nyata hanya benda mati yang bersinar tanpa jiwa. Yang bagi penghuni alam hanya hiasan langit semata. Tapi di dunia ku yang satu ini berbeda. Bintang sama dengan jutaan makhluk langit lainnya yang dibuat hidup, punya pikiran, beberapa bahkan berperasaan. Hanya saja manusia di dunia ku ini tidak semua menyadarinya, mereka pikir penghuni alam selain mereka dan binatang-binatang tak lebih dari benda mati.
Aku dan keluarga kecilku tinggal di sebuah rumah mungil di pegunungan. Saat subuh, setiap hari, aku mendahului matahari menyambut pagi. Dulu juga aku pernah melihat Rembulan, bersanding serasi dengan Matahari. Waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengerti. Tapi tidak sekarang. Sayangnya, bintang yang satu ini menghilang setiap pagi sebelum matahari muncul, jadi ia tidak tahu tentang kebersamaan yang indah itu.
“Sarah itu temanku sedari kecil. Ia selalu membicarakan Rembulan sama seperti kamu, Lintang!”
Cahaya Lintang sedikit terguncang, menandakan ia gugup mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan.
“Tidak apa-apa, Lintang! Mengaku saja padaku! Ceritakan yang belum aku ketahui tentang seperti apa hatimu menatap Rembulan Sang Pangeran Malam? Kamu menyukainya?!” desakku penasaran.
Tiba-tiba cahayanya terlihat lebih pekat dan jelas, jika ia berwujud manusia pasti pipinya sedang memerah karena malu. Hah, dasar Bintang. Dirinya, kisah hidupnya, manis sekali. Membuat langit selalu lebih indah dari biasanya. Apalagi dipadu oranye dari sudut dunia yang mulai menyala. Ah, matahari terbangun!
“Aku pergi dulu, Wilda! Sampai jumpa besok!” pamit Lintang tiba-tiba.
Matahari mulai menyipitkan matanya, ia terbangun. Bumi berotasi searah jarum jam. Bintang-bintang menjauh dan tak lagi terlihat mata manusia, kini hanya Tuhan yang mengetahui dimana keberadaan mereka.
“Oke! Jangan lupa besok ceritakan padaku tentang apa yang belum kuketahui, tentang isi hatimu sedalam-dalamnya!” teriakku mengakhiri perbincangan.
Kulihat Matahari telah menampakkan tubuhnya dengan sempurna, berlawanan arah samar-samar masih terlihat sosok Rembulan. Benar, Rembulan telah kembali berkat Sarah dan mimpi-mimpinya yang kini telah terkubur dalam perut bumi. Bahkan dengan sosok yang lebih manis dari sebelumnya.
Lagi, aku akan menyaksikan kisah cinta yang begitu romantis saat Rembulan bersanding dengan Matahari. Setiap kata-kata yang keluar dari bibir maya mereka yang terpadu riang dalam waktu sesingkat kerdipan mata, ada sebuah rasa yang terbalas namun tak terucap. Mereka seperti percintaan remaja zaman kakek nenek ku dulu. Malu-malu, seringkali berakhir tragis dengan perjodohan. Entah kapan mereka akan lebih dekat satu sama lain, entah siapa yang akan memulainya terlebih dahulu.
* * *
”Semalam aku berbincang dengannya!” teriak Lintang sumringah. Jelas sekali terlihat sinarnya berubah kemerah-merahan. Dia benar-benar terlihat bahagia.
Pagi ini terlihat istimewa bagiku. Karena sahabat langitku yang manis ini terlihat lain dari biasanya. Seringkali ia tertawa kecil dan sinarnya bergerak-gerak perlahan seolah ia sedang menari-nari mengitari langit.
”Oh ya, jadi kalian sudah berteman sekarang?! Apa saja yang kalian perbincangkan?!” sahutku semangat meskipun aku tahu ego Rembulan yang telah membuat Sarah pergi tanpa dapat meraih harapannya.
Kenapa baru sekarang Rembulan kembali?! Kemana dan apa yang dia lakukan dulu?! Saat ia tahu ada seorang anak penyakitan yang mengharapkannya, yang menggantungkan mimpi terakhir pada dirinya.
Semua pertanyaan itu tiba-tiba muncul, menghancurkan simpati ku pada Rembulan hanya dengan hitungan detik. Kalau ingat Sarah, betapa aku membenci Rembulan bodoh, yang telah mengingkari janjinya entah atas dasar apa. Dia tidak pantas mendapat gelar pangeran malam, pikirannya begitu picik, dia datang dan pergi sesuka hatinya seolah langit miliknya seorang.
Aku mendengar kisah kematian Sarah dari cerita Lintang. Sarah menagih janji Rembulan dipertengahan bulan Desember yang dingin. Sarah memohon harapannya terkabul sekali lagi di sela sisa-sisa napasnya. Sarah hanya ingin didetik terakhirnya melihat dunia, yang ia lihat hanya Rembulan. Namun Rembulan berkhianat. Bintang mendengar isak Rembulan dari kejauhan, sehingga Bintang yakin Rembulan ada dan menyaksikan pemandangan menyedihkan itu. Seharusnya ia muncul barang sejenak, itu tidak akan merugikan siapapun bukan. Setelah Sarah jadi mayat, baru ia muncul setiap saat, seperti dulu lagi. Maksudnya apa?!
Kulirik Bintang, terlihat sumringah memikirkan pertanyaanku tadi. Melihat pemandangan manis itu, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan dibenakku. Kalau aku jadi Bintang dan saat itu melihat penderitaan Sarah yang merintih kesakitan berharap Rembulan berbelaskasihan padanya. Aku akan sangat marah, aku akan menyumpahi kekejaman Rembulan yang teguh pada pendiriannya. Apalagi kekejaman itu sampai merenggut nyawa seorang gadis di depan mataku sendiri. Tapi Bintang?! Kenapa Lintang seolah tidak mempermasalahkan kejadian itu?! Apa menurutnya tindakan Rembulan saat itu adalah yang terbaik?! Dan sampai saat ini, masih dengan sumringah memuji-muji Rembulan. Seperti apakah perasaan Lintang terhadap Rembulan yang sesungguhnya?!
”Aku menyukai kharismanya! Itu saja... Dan rasa suka itu tidak akan lebur oleh panas Matahari sekalipun!” jawab Lintang beberapa hari yang lalu saat aku menanyakan tentang perasaannya terhadap Rembulan.
Hah... Aku rasa tidak hanya masalah kharisma yang membuat Lintang begitu menyenangi Rembulan. Rembulan tidak pantas diberikan simpati sebesar itu oleh Lintang. Rembulan bahkan tidak pantas bersanding dengan Matahari, sejauh apapun jarak mereka.
”Rembulan tidak seburuk yang kau pikirkan, Wilda!” ucap Lintang tiba-tiba, seolah ia merasakan kebencianku terhadap Rembulan yang kembali membara.
Dengan sedikit heran mendengar apa yang ia katakan, aku mulai menyimak. Tak sepatah katapun terlontar dari bibirku. Dan Lintang mengerti bahasa hatiku.
”Aku bertanya padanya perihal kematian Sarah, aku memaki atas kebodohannya membiarkan Sarah mati tanpa senyuman dan kenapa dia baru muncul sekarang, saat semuanya telah terlambat. Dia menjawab dengan berlinang airmata. Dia mengaku salah atas kebodohannya saat itu, ada rasa yang tak mampu ia ungkapkan yang membuatnya tidak bisa memenuhi harapan Sarah. Dia merasa tidak cukup kuat untuk kembali”
”Lalu kenapa setelah Sarah meninggal, dia malah muncul kembali?!” tanyaku kesal mendengar pernyataan itu.
”Rembulan bertekad tidak akan kembali apapun yang terjadi. Kematian Sarah mengguncangkan tekad kuat tersebut, tapi sebisa mungkin Rembulan masih bersikukuh pada tekad tersebut. Sampai suatu malam ada suara seorang anak yang memanggilnya dalam mimpi. Rembulan teringat Sarah yang dulu pernah memanggilnya seperti itu. Ingatan yang kuat terhadap Sarah membuatnya mendatangi mimpi anak itu, akhirnya Rembulan melihat satu lagi kenyataan pahit. Anak yang memanggilnya adalah yatim piatu yang terbaring koma di rumah sakit. Ia baru saja mengalami kecelakaan mobil saat mengamen di jalan yang ramai. Didalam komanya, ia ingin melihat Rembulan untuk pertama dan terakhir kalinya. Ia percaya orang yang sudah meninggal akan menjadi bintang di langit dan bersanding menemani malam-malam Rembulan, ia pun percaya kedua orangtuanya yang sudah meninggal hidup menjelma sebagai bintang. Ia ingin melihat Rembulan walau hanya dalam mimpi, agar ia pun percaya saat ini ia sudah meninggal dan berada di langit yang sama dengan kedua orangtuanya, langit berbintang dengan Rembulan di sisinya. Apa yang terjadi saat itu membuat Rembulan menghancurkan tekadnya sendiri. Ia tidak ingin melihat anak itu meninggal tanpa senyuman seperti yang terjadi pada Sarah! Ia tidak ingin ada anak yang mengalami seperti apa yang dialami oleh Sarah! Kematian Sarah adalah akibat dari kebodohannya, tapi kebodohan itu akan jadi pelajaran berharga, ia ingin Sarah yang entah sekarang berada dimana, bisa sedikit saja merasakan kehadiran Rembulan di setiap malam milik semua makhluk! Rembulan berjanji tidak akan pergi lagi! Apapun alasannya! Ia rela bila Tuhan meleburkannya kelak jika ia mengingkari janji tersebut”
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir ku untuk menyanggah atau sekedar mengomentari penjelasan Lintang. Setiap orang pasti pernah lalai dan melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Rembulan. Ah, sudahlah. Sarah pasti sudah tenang di alamnya yang baru. Dia pasti tidak setuju kalau ia tahu aku masih memikirkan bagaimana caranya meninggal, bagaimana Rembulan membuatnya meninggal dengan mata terbelalak menegadah ke langit malam berbintang tanpa senyuman perpisahan dari Rembulan, bagaimana ia mengubur harapannya ditubuh yang tak lagi bernyawa, dan pikiran-pikiranku negatifku yang lain tentang Rembulan.
”Rembulan sudah berjanji pada semesta! Jangan khawatir, Wilda! Tidak akan ada Sarah yang lain! Hanya akan ada orang-orang yang semakin mencintainya! Seperti aku!”
”Apa?! Coba katakan sekali lagi, Lintang!”
Tiba-tiba ia meredupkan sisa cahayanya. Hingga hilang tertelan jingga yang belum seharusnya sempurna.
”A... Aku pergi dulu ya, Wilda! Sudah pagi!” kilah Lintang, gugup.
”Tapi, fajar belum tiba!”
Lintang tak perduli, ia sudah pergi. Lebih tepatnya bersembunyi.
Lintang mencintai Rembulan. Kenyataan yang pahit. Seandainya Lintang tahu apa yang kulihat setiap pagi menjauhkan dirinya dari Rembulan.
Lalu menjelang pagi di hari-hari berikutnya, menjadi begitu sepi untukku. Entah, kemana Lintang bersembunyi. Tidak rindukah ia berbincang denganku. Mungkinkah ia ada masalah dengan Rembulan. Atau?! Ah, tidak mungkin ia lebur secepat ini kan?!
”Ia ada setiap malam. Coba temui dia di malam hari!” saran sebuah bintang yang meredup lebih dini darinya.
“Ya, kamu benar! Akan ku coba! Terimakasih!”
”Atau bermainlah denganku sebagai penggantinya!” tambah bintang itu, yang hanya kubalas dengan satu senyuman perpisahan sebelum ia menghilang.
* * *
Malam sudah cukup larut, cahaya-cahaya langit sudah cukup tinggi untuk kusapa dari jendela kamarku. Kuintip Lintang yang terlihat berkelap-kelip riang. Kutajamkan telingaku untuk mendengarkan bersama siapa ia berbincang.
”Mana mungkin ia tahu kalau kamu tak pernah mengatakannya! Kalau kamu hanya menunggu, sampai kapan?! Sampai Tuhan meleburkannya?!”
Membicarakan siapa ia?! Matahari?!
”Aku takut, ia malah membenciku!”
Itu suara Rembulan. Lintang berbincang dengan Rembulan.
Aku nyaris melompat kegirangan saat mengetahui dengan siapa Lintang menghabiskan malam. Tapi keinginan itu teredam dengan kalimat selanjutnya yang keluar dari cahaya mungil Lintang.
”Kamu ingat Wilda, teman kecil Sarah, sahabat manusia yang menemaniku menjelang pagi yang seringkali kuceritakan kepadamu. Menurutnya Matahari menaruh hati padamu”
Aku tidak pernah berbicara begitu padamu! Meskipun memang benar, tapi kalau aku cerita kamu akan patah hati! Lintang?! Apa yang kamu lakukan?! Bukankah kamu mencintai Rembulan. Kenapa kamu menyemangati Rembulan dengan kata-kata seperti itu.
Tanpa kusadari airmataku mengalir setetes demi setetes. Seolah sedang kuselami hati terdalam milik Lintang saat ia membohongi dirinya sendiri.
* * *
”Katakan kalau kamu tak lagi mencintainya, Lintang!”
”Maaf, aku mencintainya! Tak akan pernah berhenti mencintainya, Wilda!”
Cahayanya redup pucat. Tak perlu bertanya padanya, ia pasti tertekan.
”Tapi kenapa? Kenapa membohonginya? Kenapa membohongi dirimu sendiri? Kenapa kamu malah membuat lebih besar peluang untuknya bersama Matahari?”
”Karena aku mencintainya!”
Airmatanya mengalir deras. Aku baru tahu kalau bintang bisa menangis seperti manusia.
”Aku mencintainya dan aku sangat berbeda dengannya. Aku tak pantas untuknya. Hanya Matahari takdirnya. Tuhan membawa Rembulan untuk Matahari, untuk menemaninya, bukan untukku”
”Bodoh! Cinta itu butuh perjuangan!”
”Tidak! Cinta itu butuh pengorbanan, Wilda! Berkorban untuk orang yang kita cintai ketika ia dengan tulus mencintai orang lain. Seperti Rembulan yang dengan sangat tulus mencintai Matahari. Aku tak bisa lain. Aku ingin Rembulan bahagia. Dan aku tahu hanya dengan Matahari ia bisa bahagia”
Airmatanya berhenti mengalir. Tanda ketegaran hatinya dan keteguhan pendiriannya. Aku kembali menyelami dasar hati Lintang. Dadaku sakit seolah merasakan apa yang Lintang rasakan. Aku tidak bisa menahan pedih hatiku. Aku tidak bisa menahan gejolak perasaan lewat airmata yang jatuh berhamburan.
Lintang meninggalkanku bersama pagi yang telah datang membawa sepasang kekasih kerajaan langit. Sepasang kekasih yang bahagia dibalik hancurnya hati bintang terbaik yang pernah ketemui, sahabatku Lintang.
Inikah awal beserta akhir kisah cinta Lintang. Ketulusan telah membawanya dalam kebahagiaan yang tak pernah bisa terungkap tanpa meneteskan airmata kepedihan yang terpendam.

Andai kamu melihat dan mendengar dari bibir mungilnya
Akankah hatimu lebih tegar dariku
Untuk tidak meneteskan airmata
Mewakili kepedihannya yang terpendam bersama sebuah ketulusan

* * * The End * * *
Created By, Ressa Novita (Ocha)

Rabu, Maret 04, 2009

Hidup akan terasa berarti ketika kita berarti untuk semuanya
Berarti untuk sesama
Berarti untuk makhluk2 lainnya
Berarti untuk alam semesta

Meskipun adakalanya tak satupun dari mereka berarti untuk kita


created by, Ressa Novita (Ocha)

Kamis, Februari 26, 2009

Show Me Your Love !!!

created by, Ressa Novita (Ocha)


bintang surga bersaksi…
cinta ini tak pernah mati…

“Cinta sih ga pernah mati, tapi penulisnya yang mati!”
“Kenapa, Sya?! Puisinya jelek ya?!” tanya Madya yang ga denger jelas gumamanku.

demikian rasa tulus dari hati…
untukmu bidadari…

“Cuihhh… Uekhhh…” jijik tak terhingga.
“Arsya…” Madya bingung.
Apapun didunia ini berubah seiring berjalannya waktu, begitu juga perasaanku. Aku mencintaimu, tapi itu dulu. Kalau sekarang, aku berani jamin, aku sudah bosan memberi rasa itu padamu. Ada sesuatu yang telah merubah hatiku menjadi lebih dewasa dan sesuatu itu lebih pantas memilikiku.
“Sreeekkk…” aku merobek kertas itu menjadi delapan bagian dan segera membuangnya ditempat sampah yang kebetulan kami lewati.
Aku segera mempercepat langkahku meninggalkan Madya, karena aku dapat menebak apa yang akan dikatakannya setelah ia sadar betul dengan apa yang baru saja aku lakukan terhadap surat itu.
“Lho?! Suratnya?! Kenapa dibuang gitu aja?!” teriak Madya marah sambil mencoba menyamai langkahku.
“Seperti yang kamu inginkan, aku sudah membaca surat itu sampai selesai. Dan sekarang aku sudah tidak membutuhkannya lagi, makanya aku buang”
“Tunggu!!!” Madya menarik tanganku agar aku segera menghentikan langkahku. “Sya, kamu menyukainya kan?! Iya, kan?! Lalu kenapa kamu harus membuang puisi pemberiannya?!”
“Siapa bilang aku menyukainya?! Aku ga pernah memberi kesimpulan seperti itu kepada siapapun termasuk kamu!”
“Kamu tidak bisa membohongi mataku, aku bisa melihat perasaan yang terpancar setiap kali Edo…”
“Jangan sebut nama dia lagi!”
Madya terhentak kaget mendengar pernyataan tegas yang tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Aku tidak butuh semua omong kosongnya. Terlalu lama aku menunggunya, Madya. Tapi apa yang aku dapatkan?! Cuma kertas-kertas bertinta yang hampir setiap hari ia berikan melalui kamu. Kalau aku bilang cinta, berarti kami ga lebih dari pacar pena. Yups, pa-car pe-na! Hubungan yang lokasinya satu tingkat diatas sahabat pena. Dah, Madya! Aku masuk kelas dulu” meninggalkan Madya yang sepertinya tak punya kata-kata untuk memperpanjang pembicaraan.
Aku menyukai Edo sejak 5 tahun yang lalu, saat seorang gadis SMU seperti aku dengan polosnya mengagumi karya-karya pujangga bodoh itu. Ditahun ketiga aku mengoleksi buku-bukunya, tiba-tiba aku bertemu dengannya disini, di universitas yang sama. Ternyata dia seorang assisten dosen di fakultas sastra. Saat itu aku baru saja memulai kuliahku di fakultas hukum. Menyadari keberadaannya di tempat yang sama denganku, bagaikan tertimpa rembulan (lho, kok jadi bahasa pujangga juga?!) aku sangat bahagia. Rasa itu pun berubah perlahan menjadi cinta. Dan entah apa yang terjadi, selembar surat cinta darinya sampai padaku.
Madya, mahasiswi fakultas sastra satu angkatan denganku, sejak awal dialah merpati pos milik Edo yang setia menyampaikan puisi-puisi cinta untukku. Entah apa imbalan yang diberikan Edo padanya sehingga ia tidak hanya menjadi merpati pos tapi juga seringkali mencekokiku dengan cerita-cerita manis tentang Edo, yang katanya assisten dosen paling oke di fakultas sastra.
Hati semakin berbunga-bunga? Sudah jelas! Cinta mati? Saat itu memang! Tapi jika ditanyakan sekarang, jangan harap aku mau berkata ‘iya’. 3 tahun adalah waktu yang cukup untukku membalas dengan perasaan yang sama. Awalnya aku sangat yakin kalau sebentar lagi dia pasti akan bertindak lebih jauh dari ini. Karena itu ku menunggu. Yakin dan terus yakin. Tapi keyakinan itu tak sekalipun terwujud. Puisi dan puisi lagi yang aku terima, dengan kata-kata yang bervariasi indah, namun mengandung makna yang sama, cinta.
Masih dengan harapan yang indah, aku merencanakan pertemuan manis dengannya melalui Madya. Tapi hasilnya tetap nihil. Dengan berbagai macam alasan, tak sekalipun undanganku dipenuhinya
Jenuh!!! Bosan!!! Muak!!! Empet!!!
Kata-kata diatas sudah cukup untuk menggambarkan perasaanku padanya saat ini. Tidak ada kata yang lebih manis dari kata-kata itu yang pantas dipersembahkan kepada Edo Renaldy sang pujangga muda yang terkenal dan tampan.
“Arsya!!! Arsya!!! Vie Marsya Dwi Santika!!! Hallo!!! Ngapain sih bengong sendirian didepan perpus?!”
Kehadiran Madya yang sesungguhnya tidak aku inginkan, menghentikan lamunanku.
“Eh, iya! Kenapa?” tanyaku wajar dengan senyuman yang tetap manis, walaupun di penuhi firasat buruk saat melihat raut gembira bercampur khawatir yang tergambar di wajah Madya.
“Tunggu lima menit lagi, aku sudah kasih tau Edo kalau kamu ada disini, dan kali ini dia pasti akan dating menemuimu” ungkap Madya berseri.
“Untuk apa?!” jawabku santai setengah kaget.
“Kok, tanya ‘untuk apa’ sih?! Ya untuk membicarakan soal hubungan kalian!”
“Cukup Madya! Sekali lagi aku katakan ‘aku tidak menyukainya’. Lebih baik kamu dan Edo jauhi aku, karena aku sudah tidak mau bermain lagi. Mulai sekarang cari cara lain supaya kamu mendapat nilai bagus untuk mata kuliah Edo!”
Kata-kata yang tepat! Kenapa tidak terpikir sejak dulu ya?! Dengan apa lagi Edo membayar Madya kalau tidak dengan nilai.
“Sudah ya! Aku harus pergi sekarang!” meninggalkan Madya yang pada hari ini untuk kedua kalinya kubuat diam dengan kata-kataku.
“Arsya, tunggu!!!”
Bukan suara Madya, tapi…
Aku menghentikan langkah dan membalikkan tubuhku. Tepat! Itu suara Edo, suara yang selama 3 tahun ini baru pertama kali ini kudengar langsung (penulisnya kebangetan!).
Tapi…
Aku sudah siap!
“Arsya… Sudah baca puisi dariku?”
“Ehm… Sudah! Puisinya bagus kok. Tapi, sorry tadi kertas puisi kamu terkena tumpahan saus saat aku makan siang di kantin! Jadi, aku buang deh! Sorry ya!” kebohongan yang sangat manis.
“Tidak apa-apa! Nanti aku buatkan lagi untukmu yang jauh lebih bagus dari puisi tadi” berseri-seri bahagia.
“Ga usah repot-repot! Percuma aku ga ngerti artinya! Lagipula puisi yang kamu berikan sudah terlalu banyak, sampai aku bingung mau dikemanakan” kejam banget.
“Arsya… Maaf… Sebenarnya aku…”
“Aku menyukaimu Edo. Sejak kamu mulai menerbitkan puisi-puisimu, aku sudah menyukaimu. Dan ketika aku tahu kamu ada di tempat yang dekat denganku, aku semakin menyukaimu” motong kalimat orang seenaknya.
“Aku juga menyukaimu, Arsya! Semua puisi yang berikan padamu…”
“Sudahlah, Edo!” lagi-lagi motong kalimat orang sembarangan. “Aku tak bisa menyembunyikan padamu bahwa… Aku benci kamu yang selalu memberikanku harapan-harapan indah melalui puisi-puisimu itu. Tapi kenapa hanya puisi?! Aku ga ngerti jalan pikiran orang macam kamu!”
“Maafkan aku… Tapi mengertilah, aku sungguh mencintaimu…”
“Sudah terlambat. Cinta yang ku jaga selama 3 tahun sudah cukup untuk membalas perasaan yang kau tuliskan untukku selama ini. Edo, terima kasih karena sudah mengajarkan padaku satu hal, yang semoga juga dapat menjadi pelajaran untukmu. Edo, aku atau gadis manapun butuh bukti bukan puisi”
Kata-kata terakhirku. Dan seketika keheningan menusuk telingaku. Tak terdengar suaranya sedikitpun. Hanya terdengar riuhnya lingkungan kampus yang dipenuhi aktifitas disore hari.
Hingga aku menyadari kedatangan seseorang yang sudah lama kunantikan.
“Ardan…”
Ardan. Tunanganku. Teman masa kecil yang 2 tahun lebih tua dariku. Orang yang selama ini dekat dengan aku dan keluargaku. Dulu aku hanya menganggapnya sebagai kakakku, karena ia sangat menyayangiku. 3 tahun yang lalu dia menyatakan cintanya padaku, dan aku mengabaikannya, mengabaikannya demi menunggu cinta Edo. Tapi ternyata ia begitu sabar menunggu dengan kasih sayangnya yang selalu ia berikan padaku.
“Edo, ini Ardan tunanganku. Seminggu yang lalu kami meresmikan hubungan kami. Ardan, ini Edo yang sering kuceritakan padamu”
“Hai…” sapa Ardan singkat. “Arsya, ayo kita pergi. Aku kan sudah janji akan mengajak mu ke suatu tempat hari ini”
“Iya! Edo, aku pergi dulu ya!”
Dan kamipun meninggalkan Edo yang masih belum mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kasihan sekali! Pasti hatinya sangat terluka. Sampai bengong begitu”
Aku tersenyum geli mendengar gumaman Ardan yang terdengar mengejek.
“100% SUKSES!!!” teriakku kencang, membuat Ardan yang berjalan di depanku terkejut dan berhenti melangkah.
“Bangga…”
“Iya dong! Karena sekarang aku bisa dengan tenang menyayangimu seorang”
“Cuma sayang?! Ga lebih?!”
“Juga menyukaimu…”
“Tidak cinta…”
“Ehm…”
Terdiam sejenak.
“Suatu hari nanti pasti!” jawabku yakin sambil menarik tangannya untuk segera menuju tempat parkir di belakang kampus.
Seorang pria yang telah memberitahukan cinta padaku ternyata telah dikalahkan oleh seorang pria yang menunjukkan cinta padaku. Cinta yang tidak terbatas oleh kertas dan goresan pena.
Selamat tinggal, Edo.


“TAMAT”

Jumat, Februari 20, 2009

Bukan Aku Lagi... (mengenang dikebumikannya sepupuku tercinta 'Ivan Djauhari')

matahari kian meninggi kala peti itu tersangga balok kayu
dibawahnya ada liang mayat yg katanya 'aku'

hembusan angin menjadi saksi airmata yg sia-sia
pedih resapi doa sang pandita utk mayat yg katanya 'aku'

kasihan, mayat yg katanya 'aku'
kan slamanya terbaring dlm kegelapan

namun patut manusia bijaksana memahami
disana bukan 'aku' lagi

'aku' disini
antara ada & tdk ada
antara nyata & tdk nyata

masih menanti hidup
yg kan terulang lagi

/OCHA

Sabtu, Januari 31, 2009

Waktu ....

waktu...
bagai pedati tak berpelana
melintas jalan berbatu tak terkendali

aku penumpang di kursi tunggalnya
atap rapuh usang melengkung membentur dahiku

waktu...
sulit ku bernafas hening barang sejenak
detik berlalu selalu berganti baru

tiap jalan yg terlalui tlah ku lupakan
namun didepan sana masih menanti
tak terhingga yg harus ku lewati

waktu...
semoga ada satu detik belas kasihan
untukku bernafas hening
melepas penatnya hidup

Kamis, Januari 29, 2009

Doa Terakhir

terima kasih Tuhan...
aq msh punya mata
msh bisa melihat indahnya dunia
aq msh punya telinga
msh bisa mendengar merdunya suara

qtahu tak selamanya qtertawa
qmenanti waktu tuk menderita

jikalau memang tak ada bahagia didepan sana
kedua indera ini akan membantuq
utk bertahan hidup
meski tak ada lagi tujuan
selain menanti mati

krn itu Tuhan...
apapun kehendakMu utkq kelak
jgn Kau ambil mata & telinga ini
aq membutuhkannya
utk tersenyum esok pagi

Senin, Januari 26, 2009

Happy Sin Cia 2560 !

sehrsnya mereka mEngerti, sin cia itu tradisi org2 tionghoa & keturunan2nya.
tp ga tau knp, byk kerabatku yg ga lg merayakan sin cia krn alasan pindah agama.
lho, apa pindah agama jg berarti pindah silsilah keluarga?

sehrsnya mereka jg pindah wajah, dr yg wajah oriental menjadi wajah yg mencirikan agama baru mereka.
so, lengkaplah kekecewaan leluhur2 kita bangsa tionghoa.

bwt yg msh menghargai darah tionghoa yg mengalir ditubuhnya

"Kiong Hi"

Minggu, Januari 25, 2009

Doa Malam Imlek

di tahun yg baru ini
aku ingin mengakhiri sebuah perjalanan
satu dr sekian bnyk perjalanan yg kujalani

kuingin perjalanan ini diakhiri dg hadiah yg selama ini hadir dlm mimpiku
bukan cinta
bukan impian setiap wanita
karena cinta tak mampu membuatku sempurna

kuingin sebuah tongkat kayu yg kokoh
lbh kokoh dr kursi beroda yg kumiliki

maka aku akan mengakhiri sebuah perjalanan
dan menjalani sisa perjalanan yg lain
dg lbh tegar
dg penghapus airmata

Kamis, Januari 22, 2009

The Last Time Goodbye 4 Ne

for the last time
goodbye, Ne !

see you tomorrow in day dream only !
coz i've already burned
one page paper about you from my life book

here's no anydoubt again
here's no anyfeeling for you
here's no place for your name
go and don't come again !

i don't need your big bad love !

i'm so happy and enjoy life without you !

Senin, Januari 19, 2009

Penantian

jika langkahku adl hukuman
Tuhan, biar letihku berbuah karunia

jika nafasku adl derita
Tuhan, biar suara kecilku menjadi tawa

jika sepanjang usiaku adl kesendirian
Tuhan, biarkanku mencintai diriku sendiri

dan jika hidup tak juga berbelaskasihan
Tuhan, biarkanku tetap menanti
dalam doa

Kamis, Januari 01, 2009

SELAMAT DATANG TAHUN 2009 !!!

Ressa Novita

Thn itu tlah brakhir
Mnyebrangkn mimpi k pulau sana
Bln ktika q temukan bintang plng terang
Minggu ktika q jalani hdp damai diatas awan
Hr ktika q akhirx trlempar kmbl ke tmptku semula brpijak, kegagalan

Wktu itu tlah brakhir saat rembulan mati cahaya
3.. 2.. 1..
& q pun kmbl sprt dulu
Sprt sblm thn itu q lewati
Mngukir mimpi yg bu
Utk esok tujuan q mlangkah

2009
Slmt dtng thn yg br
Krn detik brsm wktumu
Q kan kmbl mngejar impian