Jumat, September 19, 2008

Mimpi

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Hanya karena mimpi
Aku masih menanti hingga detik ini
Percaya mimpi hadir
Membawa cahaya
Terangi kegelapan


Mungkin didalamnya ada engkau
Aku berharap ada engkau
Ya… pasti ada engkau
Yang menunggu malam kala mimpiku

Biar…
Walau hanya mimpi
Karena kutahu nyatamu tak hadir untukku

Biarlah…
Bukankah masih akan ada mimpi- mimpi berikutnya
Malam ini, esok, atau lusa
Selalu kubuka pintu hati dalam ruang mimpiku
Untukmu bawakanku kedamaian dan cinta
Yang tak akan pernah kurasakan
Didalam nyata

Dinding Hitam

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Berawal dari sebuah kata
Aku melukis dinding hitam bagi jiwaku sendiri
Begitu kokoh dan kekar
Sekalipun badai tak kan mampu meruntuhkan

Tapi aku adalah penjaga jiwaku
Tuhan memerintahku untuk memelihara
Harus kubiarkan badai menerpa sendi-sendi egoku
Harus kuruntuhkan dinding hitam
yang menghalangi pandangan ini

Sejak awal dunia
Aku membawa jiwa kedalam api sandiwara
Pastilah akan terluka
Pastilah harus ada darah dan airmata

Bila bukan
Apa ini diriku?

Rembulan di Pagi Matahari (Part 3) *Sarah & Pangeran Rembulan

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Aku rembulan…
Aku pernah menyinari dunia dengan cahaya hangatku…
Tapi aku pergi…
Karena aku mencintai pagi dan siang hari…
Dan aku benci diriku…
Yang telah khianati takdir Ilahi…
Sarah…
Jangan harapkan aku kembali…
Aku tak akan pernah kembali…
Tersenyum saja…
Dan lihat senyummu di dalam cermin…
Dirimulah rembulan sesungguhnya…
Yang akan bertahan dalam gelap dan dinginnya malam…



“Sarah!!! Kamu dimana???”
“Sarah!!!”
“Sarah!!!”
Sayup-sayup terdengar suara memanggil namaku. Siapa yang memanggilku. Malaikatkah?! Oh, malaikat! Aku sudah siap jika kau ijinkan aku bertemu Rembulan di duniaku yang nyata.
Perlahan kubuka kelopak-kelopak mataku yang berair. Kuraba rerumputan yang basah dengan jemariku yang lemah. Ah, kenapa aku masih hidup.
“Sarah!!!”
Aku melihatnya tadi, dalam mimpiku. Pangeran berjubah putih itu berbicara padaku. Pangeran tampan itu jelmaan Rembulan dan dia memanggil namaku. Dia benar-benar Rembulan. Rembulan datang padaku lewat mimpi.
Kurasakan hembusan dingin mengalir membanjiri tubuhku. Dingin sekali. Tak lama kemudian tetes-tetes air yang jatuh dari langit menghujani tubuhku dengan kasar. Rasanya menusuk setiap jengkal kulit tubuhku. Aku tidak bisa berdiri. Kakiku diselimuti dingin yang luar biasa. Aku tidak bisa berteduh dari hujan yang deras ini.
Hah, aku tak mau mati dengan cara seperti ini! Jelek sekali! Rambut dan bajuku basah. Tangan dan kakiku kotor oleh tanah yang telah menjadi lumpur karena bersatu dengan air hujan. Riasan wajahku luntur tak bersisa. Aku jelek sekali. Aku tak ingin di surga nanti Rembulan melihatku dalam keadaan seperti ini. Tidak ingin!
Kupejamkan mataku erat-erat. Kurekatkan pipiku ke rumput yang basah. Rasanya lama-lama tubuhku hangat. Kalau begini aku bisa kembali tertidur. Aku bisa bertemu dengan Pangeran Rembulan lagi. Aku ingin berbincang banyak dengannya. Kalau ada dia aku tidak akan mati kedinginan. Aku tidak akan mati di hutan ini.
* * *
Kubuka mataku yang terasa begitu berat. Ah, ternyata aku sudah sadar dan aku baik-baik saja. Tapi aku belum sempat bermimpi. Aku belum bertemu Pangeran Rembulan lagi.
Kulihat sekelilingku. Hutan begitu tenang. Suara-suara binatang malam tak lagi terdengar. Apa sudah hampir pagi?! Kuangkat kedua kakiku yang semula tak dapat kugerakkan karena dingin. Tanganku juga terasa ringan. Tanpa sadar aku melompat hingga berdiri tegak. Seluruh tubuhku ringan. Aku merasa sangat sehat. Apa hujan deras tadi yang menyembuhkanku?! Napasku tidak terasa sesak lagi. Aku benar-benar sembuh!
Kutarik baju terusanku yang basah, hendak kukibas-kibaskan agar terkena angin dan cepat kering. Tapi, lho?! Kenapa bajuku sudah kering?! Noda-noda tanahnya pun tak tersisa sama sekali. Kuraba rambut keritingku yang panjang. Tidak basah sama sekali. Apa aku masih mimpi?!
Kucubit kedua belah pipiku kuat-kuat.
Aw! Sakit! Berarti hujan deras tadilah mimpiku yang sebenarnya. Dan pangeran jelmaan Rembulan yang datang menemuiku bukan mimpi, dia datang menemuiku di dunia nyata. Ya, benar! Senangnya!
Kulangkahkan kakiku riang ke arah mana kakiku hendak melangkah, dan ia memilih untuk melanjutkan langkah ke dalam hutan. Ya, kakiku ingin mengajakku ke danau yang ada di dalam hutan. Kunang-kunang yang bergerak kesana kemari mengiringi langkahku. Membuatku tak ragu untuk terus melangkah. Pepohonan yang besar dan tanaman-tanaman merambat yang kulewati terlihat lebih indah dari biasanya. Bebatuan yang kuinjakpun terasa mendukung langkahku karena sejauh kuberjalan tak satupun dari mereka membuatku terantuk. Udara malam terasa segar memenuhi paru-paruku. Hutan ini seperti perbatasan antara dunia dan surga.
Setelah jauh kuberjalan, akhirnya aku sampai ketepi danau. Airnya yang bening berwarna biru gelap memantulkan wajah langit malam yang berbintang.
“Sarah… Ini surga untukmu…”
Suara itu tiba-tiba terdengar di telingaku. Kuarahkan pandanganku ke sekelilingku, mencari asal suara. Disana, suara itu datang dari seorang wanita bergaun putih yang berdiri di tengah danau. Tidak mungkin. Aku pasti bermimpi. Masa ada manusia yang bisa berdiri di atas air?!
Tiba-tiba sebuah jembatan terbentuk dari bawah kaki wanita itu. Dengan ajaib jembatan itu memanjang sampai ke bawah kakiku. Jembatan itu berkilauan seperti emas, berbalut ribuan kunang-kunang di seluruh bagiannya.
“Ini jalanmu menuju surga, Sarah!” ucap wanita itu lagi.
Surga, katanya. Tapi aku sekarang tidak ingin ke surga. Aku sudah sembuh, karena itu aku ingin merasakan hidup normal seperti sepuluh tahun yang lalu saat aku masih kecil.
“Jangan lihat lagi, hidupmu yang menyedihkan! Jangan pikirkan lagi rasa sakit di dadamu! Di surga kamu hanya akan merasa bahagia. Keluarga dan teman-temanmu tak akan menangis lagi karenamu. Mereka akan bahagia saat melihatmu bahagia di alam bahagia ini. Sarah, tunggu apa lagi! Langkahkan kakimu, datanglah padaku, tinggalkan dunia yang kotor akan penderitaan ini! Kamu akan bahagia disini, apapun yang kamu inginkan akan kamu miliki disini. Karena itu, berjalanlah bersamaku menuju surga”
Tanpa sadar kulangkahkan kakiku melewati jembatan itu. Setiap pijakanku terasa hangat, sangat nyaman, membuatku tak ingin berhenti melangkah.
“Di surga ada Rembulan?” tanyaku. “Di surga Rembulan tidak takut menyinari dunia?”
Wanita itu menjawabnya dengan anggukan yang mantap.
“Dan disana ia bersanding bersama bintang-bintang?! Berarti malam di surga tak sedingin malam di bumi?!”
“Yah, Rembulan tak pernah sekalipun pergi dari langit malam di surga! Ia selalu menyinari surga!” jawabnya meyakinkanku.
“Aku ingin melihat Rembulan! Aku sudah menunggunya selama bertahun-tahun. Aku percaya Rembulan bukan sebatas dongeng. Dan mulai sekarang aku akan hidup di dunia dimana ia ada. Di surga. Tunggu aku, aku mau ikut denganmu ke surga!”
Kupercepat langkahku. Di depanku kulihat wanita membuka kedua belah lengannya, siap menerima kehadiranku.
“Jangan Sarah! Wanita itu menipumu!”
Suara yang sepertinya kukenal seketika menghentikan langkahku. Kubalikkan tubuhku untuk dapat melihat sosok orang yang memanggilku. Samar-samar kulihat seorang pria berambut lurus mengenakan kemeja dan jubah putih, di tangan kanannya tergenggam mawar berwarna kuning. Pangeran jelmaan Rembulan.
“Sarah… Aku disini… Aku tidak hidup di surga, aku hidup di bumi! Kamu tidak akan menemukanku disana! Karena aku hanya akan ada di bumi. Percayalah! Aku ada meskipun kamu tidak dapat melihat sosokku!”
“Pangeran Rembulan! Aku ingin kamu bersinar lagi di langit malam! Berjanjilah kamu akan bersinar lagi di bumi! Seperti yang pernah kamu lakukan puluhan tahun yang lalu”
“Aku berjanji! Tapi kamu harus kembali!”
“Aku akan kembali!”
Pangeran Rembulan mendekatiku, tangan kanan beserta mawar kuningnya itu meraih tanganku. Dari mawar itu mengalir energi yang tersebar dengan cepat keseluruh tubuhku, menyatu dengan darahku. Aku benar-benar merasa hidup kembali.
* * *
“Dok, kami menemukan detak jantungnya lagi! Dia masih hidup!”
“Cepat pasang kembali alat bantu pernapasannya!”
“Sarah… Sarah… Berjuanglah! Kamu gadis yang kuat! Kamu pasti bisa menyelamatkan dirimu sendiri! Berjuanglah, Sarah!”
Suara itu, itu suara Sardy, kakak laki-lakiku.
Aku mau bangun, aku merindukannya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Tuhan, tolong bantu aku! Aku ingin membuka mataku!
“Jantungnya sudah kembali normal! Masa kritisnya juga sudah lewat! Tapi untuk sementara waktu biarkan alat bantu pernapasannya tetap terpasang. Fungsi paru-parunya bisa menurun sewaktu-waktu! Kalau ada apa-apa, segera panggil kami!”
Ternyata aku ada di rumah sakit. Berarti hujan deras itu bukan mimpi. Jembatan menuju surga, wanita dan Pangeran Rembulanlah yang hanya mimpi. Ah, aku bingung! Tapi dalam mimpi Pangeran Rembulan telah berjanji padaku, dia akan bersinar lagi di langit malam. Dia pasti tak akan mengingkari janjinya. Aku akan pergi ke hutan untuk melihatnya!
“Sardy…” tiba-tiba suaraku keluar dengan lancar melalui tenggorokan dan bibirku. Kubuka perlahan kedua mataku, buram. Tak mungkin aku buta! Aku butuh mata ini untuk melihat kemunculan Rembulan.
Lama kelamaan aku dapat melihat cahaya memenuhi kedua retina mataku. Oh, mataku tidak buta! Hanya sedang beradaptasi dengan cahaya di ruangan ini.
Kulihat Sardy, Ayah dan Ibuku berdiri disamping tempat tidurku. Sardy tersenyum sambil meraih jemari tanganku. Ibu menghapus sisa-sisa airmata dengan sapu tangan kesayangannya dan Ayah berdiri memeluknya.
“Aku hampir sampai di surga, tapi seorang pangeran membawaku kembali!” ceritaku.
“Pangeran itu pasti aku kan?!” gurau Sardy. Di wajahnya masih juga tergambar ketegangan. Kondisiku sebelumnya pasti benar-benar parah sehingga Ayah dan Ibu tak mampu lagi berkata-kata melihatku sadar, mereka hanya menangis penuh haru.
“Dia Pangeran Rembulan! Dia yang menolongku. Dan dia berjanji akan menyinari langit malam langit. Ayah dan Ibu masih ingat kan seperti apa Rembulan?! Nah, dia akan datang lagi! Tapi kali ini bukan cuma kalian yang akan melihatnya, aku juga akan melihatnya!”
Kugerakkan kedua kakiku, hendak kuturunkan kebawah tempat tidur sebagai penopangku berdiri. Tapi tidak bergerak sempurna. Rasanya berat sekali.
“Ah, kenapa kakiku tak bisa digerakkan?! Berat sekali?! Aku mau bangun! Sardy bantu aku!”
Tanganku yang lemah mencoba meraih tangan Sardy, tapi tak sampai.
“Sardy bantu aku! Aku mau keluar dari ruangan ini! Aku mau melihat Rembulan! Ayah, Ibu, bantu aku!”
“Sudahlah, Sarah! Semua itu hanya mimpi! Yang namanya Rembulan itu tidak pernah ada!” ucap Ayah sambil menahan tubuhku agar tetap berbaring.
“Tapi Ayah yang bercerita padaku kalau sewaktu Ayah dan Ibu masih muda, kalian senang sekali berbincang-bincang di bawah sinar Rembulan. Kalian yang bilang padaku!” sergahku.
“Kami hanya ingin menghiburmu! Membangkitkan semangat hidupmu! Membuatmu bertahan hidup sampai sejauh ini!” lanjut Ibu.
“Tidak! Kalian bohong! Rembulan ada! Dia datang dan berjanji padaku akan kembali menyinari malam! Aku akan membuktikannya pada kalian!” teriakku histeris.
Kupaksa tubuhku turun dari tempat tidur. Kutapakkan kedua kakiku ke lantai yang dingin. Aku coba untuk menopang berat tubuhku sendiri. Tapi aku jatuh di lantai.
“Sarah, jangan keras kepala! Kamu baru saja melewati masa kritis! Tadi kamu hampir meninggal, jadi jangan berulah lagi!” bentak Ibu sambil mencoba mengangkat tubuhku.
“Aku tidak memilih mati karena Pangeran Rembulan yang memintaku hidup! Dan seharusnya aku sudah sampai ke surga kalau memang dia tidak ada. Tapi dia ada, bu! Dia ada! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya sekarang! Kalian juga harus berterima kasih padanya! Aku yakin di luar sana dia sudah menungguku!”
“Baiklah, tapi kita tunggu sampai tubuhmu pulih kembali! Oke!” bujuk Ayah.
“Ya, aku akan cepat pulih agar bisa berjalan ke hutan lagi!”
* * *
Napasku sesak! Aku sulit bernapas! Yah, seharusnya aku sudah mati! Hari itu seharusnya aku mati! Mati karena kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhku. Umurku sudah 16 tahun, 2 tahun melewati perkiraan umur yang dikatakan dokter padaku! Seharusnya aku sudah berada di surga! Mungkin saatnya datang lagi.
Tapi, tidak! Aku belum sempat melihat Rembulan! Aku mau melihat Rembulan sebelum aku pergi ke surga, karena di surga tidak ada Rembulan. Aku harus keluar dari sini.
Kulihat Sardy tertidur lelap di sofa yang ada di salah satu sudut kamar. Dengan begitu aku bisa keluar.
Tubuhku tak selemah 3 hari yang lalu. Meskipun sedikit berat, tangan dan kakiku sudah mulai dapat digerakkan. Dengan sedikit tenaga lebih, aku pasti bisa sampai di halaman belakang rumah sakit.
Napasku semakin sesak. Dadaku rasanya sakit sekali. Sebentar lagi, aku mohon sebentar lagi. Aku belum sampai. Jangan berhenti bernapas! Jangan berhenti bernapas!
Kutopang tubuhku dengan berjalan merambati dinding rumah sakit. Lewat pintu belakang aku keluar dan sampai di sebuah halaman serupa taman dengan dikelilingi pepohonan rindang dan bunga-bunga dari tanaman hias.
Dengan susah payah kubuat tubuhku berdiri tegak di tengah halaman berumput basah itu. Lubang hidung dan mulutku terus saja memburu udara agar tak membuatku hilang kesadaran. Sebentar lagi… Tunggu sebentar lagi…
Kudongakkan kepalaku ke arah langit malam. Tak ada Rembulan.
Kuputar 90 derajat seluruh tubuhku. Tak ada Rembulan.
90 derajat lagi. Tetap tak ada.
Dimanapun di atas langit Rembulan tidak ada. Kenapa Pangeran Rembulan berbohong padaku! Padahal dia sudah berjanji! Tidak! Dimana Rembulan??? Dimana dia?!
Terus kujelajahi langit yang dapat kulihat dengan mataku. Tubuhku terus bergerak mencari. Tapi tetap saja aku tak mendapatkan apa-apa.
Kurasakan airmataku mengalir deras, pandanganku mulai kabur. Paru-paruku sudah tidak menarik udara lagi. Jantungku berdetak melambat. Tubuhku terkulai dan terbentur tanah berumput. Aku tinggal menunggu sisa detak jantungku. Karena aku akan mati. Aku akan mati tanpa pernah melihat Rembulan.
* * *
“Sarah… Maafkan aku…”
Terdengar suara Pangeran Rembulan di belakangku. Akupun segera menoleh. Tapi sosok pria berjubah putih itu tidak terlihat.
Aku tahu kali ini ia tidak akan datang menolongku. Sekalipun ia datang, aku tidak akan percaya rayuannya lagi.
Aku kembali melanjutkan langkahku, meraih pelukan wanita bergaun putih yang akan mengantarku ke surga.
“Maafkan aku, Sarah!”
Tidak apa-apa, Rembulan. Batinku. Aku percaya kamu ada, meskipun kamu tidak percaya bahwa aku dan dunia mencintaimu. Jadi aku mohon jangan kecewakan gadis-gadis berpenyakitan lain yang mempercayai kehangatanmu. Berikan mereka harapan seperti kamu memberikanku harapan.
“Maafkan aku!”
Selamat tinggal, Rembulan! Selamat tinggal, Pangeranku!
Semoga aku bisa bertemu denganmu di surga!
* * * TamaT * * *

Sang Pujangga

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Aku hanya pujangga perangkai kata…
Begitulah sang nurani berikrar…
Tak ada emosi seindah gores pena…
Tak ada cinta semanis bait penuh makna…


Aku hanya pujangga…
Yang lahir untuk mengabdi pada jiwa…
Jangan suruh aku melompat…
Karena kakiku hanya untuk berpijak…
Jangan pinta aku berpidato…
Karena bibirku bukan untuk mengucap kepalsuan…
Jangan inginkan aku terbang…
Karena aku tak punya sayap yang nyata…
Jangan harapkan kubersenandung…
Karena melodi hidupku mengalun dalam diam…

Aku makhluk bebas…
Sebebas saat kubermain imajinasi…
Aku makhluk rumit…
Serumit tiap rasa yang terbangun dalam baris kata…

Aku hanya pujangga…
Yang hidup bersama matahari…
Dan berkawankan pelangi…
Bukan karena cinta dan bukan untuk cinta…

Aku ada…
Karena Tuhan mengisi jiwa dalam tubuhku…
Untuk hadirkan senyum di dunia Nya…
Seperti ini…

Rembulan di Pagi Matahari (Part 2)

oleh : Ressa Novita (Ocha)
Detik-detik pagi bersama Matahari
Tak juga bosan dinantikan Sang Rembulan
Ia merasa tak ubahnya seorang Adam yang telah ditakdirkan
Untuk bersanding selamanya bersama Hawa yang Sang Maha ciptakan untuknya
Cinta pada pandangan pertama atas kehebatan pada Matahari
Ia ibaratkan sebagai awal rasa yang ia tanam didalam hati
Yang seharusnya maya bagi makhluk langit sepertinya
Tapi hidup tak dapat ia tebak
Kini ia telah menyimpan cinta untuk Matahari
Dan menjaganya di atas permadani kepalsuan
Yang ia letakkan bersama bunga ketulusan



Dari kejauhan Rembulan melihat pujaan hatinya memejamkan mata, berbaring di peraduannya yang dingin. Matahari yang selama 12 jam ia pandangi diam-diam, dari jarak yang begitu jauh, dalam hitungan menit akan hilang dari pandangan kekagumannya.
“Haaaaahhhhhh…”
Rembulan menghela nafas panjang. Malam yang menelan sosok Matahari bukan lagi pemandangan yang janggal bagi dunia, tapi entah kenapa perpisahan rutin itu masih saja menyisakan sepi di hati Rembulan.
Kenapa malam harus gelap?! Kenapa harus ada 2 keadaan yang bertolak belakang?! Kenapa siang harus berganti malam?! Kenapa cahaya harus tertelan gelap?! Kenapa Matahari terlelap meninggalkan dunia?! Lalu kenapa aku menggantikannya?!
“Kenapa aku menggantikannya?!” Rembulan terkejut dengan pertanyaan hatinya sendiri.
Tiba-tiba pandangannya menangkap sepasang manusia tepat di bawah tubuhnya yang mulai meninggi. Pria dan gadis muda itu melangkah perlahan ke arah pantai. Dinginnya angin laut dan gelapnya ruang kehidupan tak menyurutkan mereka untuk terus tertawa dalam keasikan mereka bersenda gurau.
Rembulan merasa tertarik dengan pemandangan manis itu. Sampai-sampai ia lupa dengan apa yang sejak tadi menyita penuh pikirannya. Ia lekatkan pandangannya dan tersenyum sembari memekakan telinga agar dapat mendengar perbincangan mereka dengan jelas.
“Mas, janji ya! Mas ga akan meninggalkan Ajeng!”
Sesayup terdengar ucapan si gadis manja dalam rangkulan kekasihnya.
“Iya, mas janji ga akan ninggalin kamu. Mas akan selalu ada buat kamu!”
Oh, gadis berambut ikal panjang itu mengingatkanku pada Matahari. Yah! Gadis itu persis seperti Matahari. Dan pria itu persis seperti aku, yang pernah berjanji tidak akan meninggalkan Matahari. Batin Rembulan sumringah melihat keakraban keturunan Adam Hawa itu.
Sepasang kekasih itu lalu duduk berdampingan di atas batu karang di tepi pantai. Si gadis kemudian mendengakkan kepalanya menatap langit yang sudah biru pekat. Dilihatnya Rembulan yang saat itu bersinar lebih indah dari biasanya. Ia hitung satu persatu bintang-bintang di sekitarnya, sesekali ia mencuri pandangan singkat ke kekasihnya yang sedang asik menyanyikan lagu cinta dipadu dengan petikan gitarnya.
“Mas!” panggil si gadis. Si pria segera menghentikan petikan gitarnya dan berusaha menyimak si gadis. “Kalau mas jadi tugas ke luar kota! Kita akan seperti Rembulan dan Matahari yang hanya memiliki 30 menit untuk bersama. Saat 30 menit itu berlalu, lihat! Rembulan kembali sendirian. Begitupun dengan Matahari”
“Yah, sedikit benar!”
“Sedikit?”
“Hanya sedikit. Karena aku bukan pria pendusta seperti Rembulan. Dan kamu bukan gadis bodoh seperti Matahari yang tidak sadar dengan tipuan di balik keramahan Rembulan”
Rembulan terkejut mendengar pembicaraan mereka yang ternyata tak lain adalah tentang dirinya dan Matahari. Rembulan sebisa mungkin mempertajam pendengarannya agar tak ada sedikitpun kata yang terlewatkan olehnya.
“Lho, memang ada apa dengan mereka?”
“Rembulan itu tak ada bedanya sama parasit. Ia hidup dengan bergantung pada Matahari. Ia tidak akan ada tanpa kehebatan cahaya Matahari. Andai saja Matahari tahu, Rembulan hanya memanfaatkan dirinya dengan mencuri cahayanya. Matahari pasti akan sangat membenci Matahari!”
“Ah, kamu ini bisa aja! Kamu mau jadi pendongeng? Seenaknya mengarang kisah seperti itu. Mereka kan bukan makhluk hidup!”
“Ini bukan dongeng, tapi dongeng yang dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan alam. Semua orang tahu, kalau cahaya Rembulan yang setiap saat kita nikmati adalah sebagian kecil cahaya milik Matahari. Kalau mereka hidup, sudah pasti cahaya itu curian. Mana mungkin Matahari mau memberikan cahayanya pada Rembulan dengan cuma-cuma. Nah, makanya jangan gunakan mereka sebagai perumpamaan cinta kita donk! Aku lebih suka kalau pakai perumpamaan Mawar dan Kumbang. Lebih romantis.”
“Coba kamu dongengkan tentang Mawar dan Kumbang?”
Rembulan melepaskan pandangannya dari sepasang kekasih itu. Bagi Rembulan mereka tidak lagi terlihat menarik. Apalagi setelah ia mendengar pembicaraan mereka yang sangat dalam menusuk perasaan Rembulan.
“Mereka benar! Ah, kenapa aku menggantikannya dengan cara seperti ini?! Selama ini dalam ketidaktahuan Matahari, aku telah berdusta untuk mendapatkan posisi ini. Tidak! Aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini! Mulai sekarang aku juga tidak boleh mencuri sinarnya lagi!” tekad Rembulan. “Matahari, jika aku membangunkanmu pagi nanti, mungkin itu adalah kali terakhir kamu mendengar suaraku dan melihat diriku”
* * *
“Rembulan, ada apa denganmu! Lesu sekali pagi ini?!” Tanya Matahari heran melihat Rembulan yang sejak tadi tidak benar-benar mendengarkannya bercerita tentang seorang anak kecil yang tak henti menatapnya lalu setelah itu melukis dirinya di atas kanvas bersama pemandangan sawah dan pegunungan.
“Ah, tidak apa-apa!”
Mendengar jawaban singkat Rembulan, Matahari kembali melanjutkan ceritanya.
“Apa sebelum aku datang menemanimu, kamu merasa kesepian?” Tanya Rembulan, tiba-tiba setelah Matahari selesai bercerita.
“Ah, biasa saja! Langit dan bumi kan tidak sepi, malah sangat ramai. Jadi aku tidak akan pernah kesepian walau tanpa kamu disini!”
“Kalau begitu…”
“Kalau begitu, apa?”
“Tidak apa-apa!”
Matahari ingin menanyakan perihal keanehan Rembulan, mungkin ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya saat ini. Tapi niat itu segera diurungkannya ketika Rembulan mengucapkan ‘Selamat tinggal’ padanya. Tanda bahwa sudah waktunya mereka berpisah.
Selamat tinggal?! Lho?! Kenapa Rembulan mengatakan selamat tinggal? Apa ia lupa kalau esok pagi ia akan bertemu lagi denganku?! Batin Matahari.
* * *
Rembulan merasa sedikit lega. Yang terpenting baginya, perpisahan ini tidak akan melukai Matahari. Matahari tidak akan kesepian sepeninggal Rembulan. Demikian yang dikatakan Matahari padanya pagi tadi. Kini Rembulan akan kembali menjadi penonton setia, penggemar rahasia, yang tidak akan melewatkan sedetikpun memandang Matahari. Hanya sebatas itu.
“Hei, apa yang kamu lakukan?! Cahayamu sudah hamper habis! Cepat ambil sinarnya! Ia sudah terlelap. Beberapa saat lagi ia akan tenggelam, dan kamu akan kesulitan mengambil cahayanya. Lakukan sekarang juga!” teriak sebuah Bintang yang paling jauh yang baru saja muncul di langit malam.
Rembulan tak menyahut, ia malah mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menyapa ramah seekor elang yang melintasinya.
“Hei, kamu akan membuat dunia sedih!” teriak Bintang lebih kencang dari sebelumnya.
“Hush, pelan-pelan bicaranya! Bisa-bisa kamu membangunkan Matahari!” Bintang yang lebih redup di sebelahnya mencoba memperingatkan kawan sejenisnya.
“Aku tidak akan mencuri sinarnya lagi!”
Pernyataan tegas itu tiba-tiba keluar dari mulut Rembulan. Semua mahkluk langit yang kebetulan mendengar pernyataan itu, serempak menyerukan suara kekagetan yang sama.
“Apa???”
“Ini tidak adil buat Matahari! Ia terlalu baik untuk di khianati!”
“Akhirnya kamu sadar juga, Rembulan! Kalau tindakan kamu itu begitu merugikan Matahari”
Suara yang muncul entah dari mana terdengar mengomentari pernyataan Rembulan dengan nada sinis.
“Si…siapa kamu?! Dimana kamu?!”
“Aku angin yang ada di sekitarmu. Yang selalu menyaksikan tingkahmu yang sok menjadi pahlawan dalam kegelapan ini. Asal kamu tahu, kalau tidak semua makhluk langit menyukaimu. Kami salah satunya”
“Oh, angin! Kenapa selama ini kamu tidak pernah berbicara padaku?!”
“Kamu tidak dengar?! Kami tidak menyukaimu! Untuk apa kami berbicara padamu?! Buang-buang tenaga! Lagipula selama ini kamu tidak menganggap kami ada, bukan?!”
“Maafkan aku, wahai angin!” ucap Rembulan yang sudah tidak tahu lagi harus membalas dengan kata-kata apa. Karena semua yang diucapkan Angin benar, ia tidak pernah tahu kalau Angin itu sama seperti makhluk langit lainnya. Ia pikir Angin yang tak lepas ia rasakan adalah sejuk tak terlihat yang tidak memiliki jiwa.
“Rembulan! Jangan kamu dengarkan kata-kata Angin! Urungkan niatmu! Ambil kembali cahaya Matahari! Dunia masih membutuhkanmu!”
“Ayo ambillah!”
Seketika ruang tanpa batas itu terdengar gaduh. Ratusan Bintang, Awan, Burung-burung, ditambah serangga-serangga malam yang terbang rendah, memprotes keputusan Rembulan dan membujuknya kembali mencuri cahaya Matahari.
“Keputusanku sudah bulat!” teriakan Rembulan mengheningkan kegaduhan. Hening. “Aku menyayangi Matahari! Aku mengasihinya! Aku tak ingin menyakitinya! Sekalipun semua kebohongan ini tidak akan pernah ia ketahui! Aku tak mau melakukannya lagi! Sudah cukup! Aku terbeban jika harus terus berdusta seperti ini!”
“Tapi, Rembulan…”
“Jangan ada yang bicara lagi! Aku tidak ingin mendengar kalian! Aku cukup bahagia jika aku harus kembali mengagumi dan memandang keindahan Matahari dari kejauhan! Karena aku telah diberi kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat, juga diberi kesempatan untuk berbincang dan bersenda gurau dengannya. Meski hanya sesaat, tapi aku telah merasakan saat-saat yang paling indah dalam hidupku. Dan aku telah belajar tentang rasa yang biasanya hanya diserukan oleh hati manusia. Cinta.”
Cahaya Rembulan meredup. Beberapa menit kemudian ia benar-benar menghilang. Hanya terdengar isak tangisnya yang tak juga henti. Bintang-bintang semakin tak habis pikir, kenapa Rembulan bisa seperti itu?
* * *
Pagi ini Matahari terbangun seperti dahulu ia belum mengenal Rembulan. Kokok ayam membuat telinganya sakit. Saat ia membuka mata, ia segera melemparkan pandangan ke segala arah mencari sahabat 30 menitnya. Tapi ia tidak menemukannya.
“Rembulan!!! Rembulan!!! Kamu dimana?! Kenapa pagi ini aku tidak melihatmu?!” Matahari berteriak-teriak panik mencari Rembulan.
Di suatu tempat di langit yang sama, Rembulan memandangi Matahari dengan mata sembab berusaha menahan isak tangisnya. Ia tidak menjawab panggilan Matahari sekalipun ia bisa melakukannya dalam waktu kurang dari 30 menit meskipun tanpa cahaya.
Jangan khawatir, Matahari! Aku selalu ada di dekatmu, walaupun tanpa wujud dan suara. Aku tidak pernah meninggalkanmu. Batin Rembulan.
Tapi bagi Matahari Rembulan baru saja mengkhianatinya. Rembulan meninggalkannya. Padahal ia pernah berjanji tidak akan pergi.
“Kenapa?! Kembalilah, Rembulan?!”
Matahari menangis tanpa air mata. Ia mengisak tanpa henti.
Tapi Matahari tak berputus asa. Pagi-pagi berikutnya ia tak lelah menanti kembalinya Rembulan. Ia sadar ia salah. Pernah ia mengatakan tidak apa-apa tanpa Rembulan, ia tidak akan kesepian. Tapi kenyataannya, ia sadar ia telah begitu melekat pada Rembulan. Ia sadar ia begitu menyayangi Rembulan ketika ia kehilangan Rembulan dari langit paginya.
“Rembulan! Kembalilah! Aku tahu kamu mendengarku! Karena itu kembalilah! Aku sangat merindukanmu!”
Tiap pagi datang hanya kata-kata itu yang mengawali perjalanan hari sang kunci kehidupan, Matahari. Kata-kata yang selalu terdengar jelas oleh Rembulan dan selalu membuatnya kembali menangis pedih.
Matahari dirundung duka, begitupun langit, dunia dan seluruh isinya.
“Kembalilah, Rembulan! Kami mohon!” bisik pilu para Bintang.
“Rembulan, aku memerlukan sinarmu untuk kelangsungan hidupku” kata seekor burung malam.
“Kami sedih! Kami tak bisa menyanyi jika segelap ini!” sambung serangga-serangga dari balik semak ilalang.
“Mama, kenapa Rembulan tidak lagi terlihat?! Aku mau Rembulan! Huaaaaa…” rengek seorang anak kecil kepada ibunya.
Menyaksikan semua itu Rembulan hanya menggelengkan kepala.
“Maafkan, aku! Aku yang salah! Sejak awal seharusnya aku tidak mengambil cahaya Matahari. Seharusnya aku tidak menjadi Rembulan pujaan kalian semua. Seharusnya aku tidak melakukan semua ini. Dengan itu mungkin kalian tidak akan bersedih seperti ini. Sudahlah! Jangan mengeluh lagi! Semua itu sia-sia, karena aku tak akan pernah kembali jika untuk membawa kepalsuan bagi ia yang aku cintai!”
Rembulan tak lagi punya telinga di sudut hatinya. Ia hanya punya cinta. Dan demi menjaga cinta itu baik-baik, ia rela meninggalkan semuanya. Termasuk Matahari yang paling dicintainya.
* * * TaMaT * * *