Kamis, Maret 12, 2009

Rembulan di Pagi Matahari (Part 4) * Setulus Bintang

Pernahkah kamu melihat bintang sendiri dalam kegelapan???
Ketika ia melewati malam yang telah menelan rembulan
Ketika ia menanti pagi bercahaya membakar sinarnya
Pernahkah kamu mendengar keluhnya yang tanpa airmata???
Setiap saat ia merindukan cinta dalam bayangan mimpi
Setiap saat ia mengelukan hangat yang abadi
Aku pernah!
Dan ia ingin kamu melihat dan mendengarnya juga

“Lama ia menghilang! Lama aku merindukan senyumnya yang begitu hangat! Ia seolah marah pada dunia, pada semua alam beserta isinya. Karena satu tragedi kini ia kembali…”
“Kematian Sarah…” potongku, mencoba menjawab teka-teki yang sedang diberikannya.
Aku menatap sinarnya yang benderang kemudian meredup, benderang lagi dan kembali meredup. Setiap detik volume sinarnya berganti, seperti kelap-kelip lampu warna-warni yang mengelilingi pohon natal. Sepertinya ia sedang berpikir. Memikirkan kata-kata selanjutnya yang akan disenandungkan untukku.
“Ah, nggak asik! Masa kamu udah tahu setiap yang aku ceritakan padamu tentang Rembulan!” protesnya sambil merengut.
Cukup lama cahayanya meredup, menandakan kekesalannya yang dibuat-buat. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkahnya yang menggemaskan.
Sahabatku yang satu ini bernama Lintang, sebuah bintang penghuni langit malam. Bintang yang kalau di dunia nyata hanya benda mati yang bersinar tanpa jiwa. Yang bagi penghuni alam hanya hiasan langit semata. Tapi di dunia ku yang satu ini berbeda. Bintang sama dengan jutaan makhluk langit lainnya yang dibuat hidup, punya pikiran, beberapa bahkan berperasaan. Hanya saja manusia di dunia ku ini tidak semua menyadarinya, mereka pikir penghuni alam selain mereka dan binatang-binatang tak lebih dari benda mati.
Aku dan keluarga kecilku tinggal di sebuah rumah mungil di pegunungan. Saat subuh, setiap hari, aku mendahului matahari menyambut pagi. Dulu juga aku pernah melihat Rembulan, bersanding serasi dengan Matahari. Waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengerti. Tapi tidak sekarang. Sayangnya, bintang yang satu ini menghilang setiap pagi sebelum matahari muncul, jadi ia tidak tahu tentang kebersamaan yang indah itu.
“Sarah itu temanku sedari kecil. Ia selalu membicarakan Rembulan sama seperti kamu, Lintang!”
Cahaya Lintang sedikit terguncang, menandakan ia gugup mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan.
“Tidak apa-apa, Lintang! Mengaku saja padaku! Ceritakan yang belum aku ketahui tentang seperti apa hatimu menatap Rembulan Sang Pangeran Malam? Kamu menyukainya?!” desakku penasaran.
Tiba-tiba cahayanya terlihat lebih pekat dan jelas, jika ia berwujud manusia pasti pipinya sedang memerah karena malu. Hah, dasar Bintang. Dirinya, kisah hidupnya, manis sekali. Membuat langit selalu lebih indah dari biasanya. Apalagi dipadu oranye dari sudut dunia yang mulai menyala. Ah, matahari terbangun!
“Aku pergi dulu, Wilda! Sampai jumpa besok!” pamit Lintang tiba-tiba.
Matahari mulai menyipitkan matanya, ia terbangun. Bumi berotasi searah jarum jam. Bintang-bintang menjauh dan tak lagi terlihat mata manusia, kini hanya Tuhan yang mengetahui dimana keberadaan mereka.
“Oke! Jangan lupa besok ceritakan padaku tentang apa yang belum kuketahui, tentang isi hatimu sedalam-dalamnya!” teriakku mengakhiri perbincangan.
Kulihat Matahari telah menampakkan tubuhnya dengan sempurna, berlawanan arah samar-samar masih terlihat sosok Rembulan. Benar, Rembulan telah kembali berkat Sarah dan mimpi-mimpinya yang kini telah terkubur dalam perut bumi. Bahkan dengan sosok yang lebih manis dari sebelumnya.
Lagi, aku akan menyaksikan kisah cinta yang begitu romantis saat Rembulan bersanding dengan Matahari. Setiap kata-kata yang keluar dari bibir maya mereka yang terpadu riang dalam waktu sesingkat kerdipan mata, ada sebuah rasa yang terbalas namun tak terucap. Mereka seperti percintaan remaja zaman kakek nenek ku dulu. Malu-malu, seringkali berakhir tragis dengan perjodohan. Entah kapan mereka akan lebih dekat satu sama lain, entah siapa yang akan memulainya terlebih dahulu.
* * *
”Semalam aku berbincang dengannya!” teriak Lintang sumringah. Jelas sekali terlihat sinarnya berubah kemerah-merahan. Dia benar-benar terlihat bahagia.
Pagi ini terlihat istimewa bagiku. Karena sahabat langitku yang manis ini terlihat lain dari biasanya. Seringkali ia tertawa kecil dan sinarnya bergerak-gerak perlahan seolah ia sedang menari-nari mengitari langit.
”Oh ya, jadi kalian sudah berteman sekarang?! Apa saja yang kalian perbincangkan?!” sahutku semangat meskipun aku tahu ego Rembulan yang telah membuat Sarah pergi tanpa dapat meraih harapannya.
Kenapa baru sekarang Rembulan kembali?! Kemana dan apa yang dia lakukan dulu?! Saat ia tahu ada seorang anak penyakitan yang mengharapkannya, yang menggantungkan mimpi terakhir pada dirinya.
Semua pertanyaan itu tiba-tiba muncul, menghancurkan simpati ku pada Rembulan hanya dengan hitungan detik. Kalau ingat Sarah, betapa aku membenci Rembulan bodoh, yang telah mengingkari janjinya entah atas dasar apa. Dia tidak pantas mendapat gelar pangeran malam, pikirannya begitu picik, dia datang dan pergi sesuka hatinya seolah langit miliknya seorang.
Aku mendengar kisah kematian Sarah dari cerita Lintang. Sarah menagih janji Rembulan dipertengahan bulan Desember yang dingin. Sarah memohon harapannya terkabul sekali lagi di sela sisa-sisa napasnya. Sarah hanya ingin didetik terakhirnya melihat dunia, yang ia lihat hanya Rembulan. Namun Rembulan berkhianat. Bintang mendengar isak Rembulan dari kejauhan, sehingga Bintang yakin Rembulan ada dan menyaksikan pemandangan menyedihkan itu. Seharusnya ia muncul barang sejenak, itu tidak akan merugikan siapapun bukan. Setelah Sarah jadi mayat, baru ia muncul setiap saat, seperti dulu lagi. Maksudnya apa?!
Kulirik Bintang, terlihat sumringah memikirkan pertanyaanku tadi. Melihat pemandangan manis itu, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan dibenakku. Kalau aku jadi Bintang dan saat itu melihat penderitaan Sarah yang merintih kesakitan berharap Rembulan berbelaskasihan padanya. Aku akan sangat marah, aku akan menyumpahi kekejaman Rembulan yang teguh pada pendiriannya. Apalagi kekejaman itu sampai merenggut nyawa seorang gadis di depan mataku sendiri. Tapi Bintang?! Kenapa Lintang seolah tidak mempermasalahkan kejadian itu?! Apa menurutnya tindakan Rembulan saat itu adalah yang terbaik?! Dan sampai saat ini, masih dengan sumringah memuji-muji Rembulan. Seperti apakah perasaan Lintang terhadap Rembulan yang sesungguhnya?!
”Aku menyukai kharismanya! Itu saja... Dan rasa suka itu tidak akan lebur oleh panas Matahari sekalipun!” jawab Lintang beberapa hari yang lalu saat aku menanyakan tentang perasaannya terhadap Rembulan.
Hah... Aku rasa tidak hanya masalah kharisma yang membuat Lintang begitu menyenangi Rembulan. Rembulan tidak pantas diberikan simpati sebesar itu oleh Lintang. Rembulan bahkan tidak pantas bersanding dengan Matahari, sejauh apapun jarak mereka.
”Rembulan tidak seburuk yang kau pikirkan, Wilda!” ucap Lintang tiba-tiba, seolah ia merasakan kebencianku terhadap Rembulan yang kembali membara.
Dengan sedikit heran mendengar apa yang ia katakan, aku mulai menyimak. Tak sepatah katapun terlontar dari bibirku. Dan Lintang mengerti bahasa hatiku.
”Aku bertanya padanya perihal kematian Sarah, aku memaki atas kebodohannya membiarkan Sarah mati tanpa senyuman dan kenapa dia baru muncul sekarang, saat semuanya telah terlambat. Dia menjawab dengan berlinang airmata. Dia mengaku salah atas kebodohannya saat itu, ada rasa yang tak mampu ia ungkapkan yang membuatnya tidak bisa memenuhi harapan Sarah. Dia merasa tidak cukup kuat untuk kembali”
”Lalu kenapa setelah Sarah meninggal, dia malah muncul kembali?!” tanyaku kesal mendengar pernyataan itu.
”Rembulan bertekad tidak akan kembali apapun yang terjadi. Kematian Sarah mengguncangkan tekad kuat tersebut, tapi sebisa mungkin Rembulan masih bersikukuh pada tekad tersebut. Sampai suatu malam ada suara seorang anak yang memanggilnya dalam mimpi. Rembulan teringat Sarah yang dulu pernah memanggilnya seperti itu. Ingatan yang kuat terhadap Sarah membuatnya mendatangi mimpi anak itu, akhirnya Rembulan melihat satu lagi kenyataan pahit. Anak yang memanggilnya adalah yatim piatu yang terbaring koma di rumah sakit. Ia baru saja mengalami kecelakaan mobil saat mengamen di jalan yang ramai. Didalam komanya, ia ingin melihat Rembulan untuk pertama dan terakhir kalinya. Ia percaya orang yang sudah meninggal akan menjadi bintang di langit dan bersanding menemani malam-malam Rembulan, ia pun percaya kedua orangtuanya yang sudah meninggal hidup menjelma sebagai bintang. Ia ingin melihat Rembulan walau hanya dalam mimpi, agar ia pun percaya saat ini ia sudah meninggal dan berada di langit yang sama dengan kedua orangtuanya, langit berbintang dengan Rembulan di sisinya. Apa yang terjadi saat itu membuat Rembulan menghancurkan tekadnya sendiri. Ia tidak ingin melihat anak itu meninggal tanpa senyuman seperti yang terjadi pada Sarah! Ia tidak ingin ada anak yang mengalami seperti apa yang dialami oleh Sarah! Kematian Sarah adalah akibat dari kebodohannya, tapi kebodohan itu akan jadi pelajaran berharga, ia ingin Sarah yang entah sekarang berada dimana, bisa sedikit saja merasakan kehadiran Rembulan di setiap malam milik semua makhluk! Rembulan berjanji tidak akan pergi lagi! Apapun alasannya! Ia rela bila Tuhan meleburkannya kelak jika ia mengingkari janji tersebut”
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir ku untuk menyanggah atau sekedar mengomentari penjelasan Lintang. Setiap orang pasti pernah lalai dan melakukan kesalahan. Begitu juga dengan Rembulan. Ah, sudahlah. Sarah pasti sudah tenang di alamnya yang baru. Dia pasti tidak setuju kalau ia tahu aku masih memikirkan bagaimana caranya meninggal, bagaimana Rembulan membuatnya meninggal dengan mata terbelalak menegadah ke langit malam berbintang tanpa senyuman perpisahan dari Rembulan, bagaimana ia mengubur harapannya ditubuh yang tak lagi bernyawa, dan pikiran-pikiranku negatifku yang lain tentang Rembulan.
”Rembulan sudah berjanji pada semesta! Jangan khawatir, Wilda! Tidak akan ada Sarah yang lain! Hanya akan ada orang-orang yang semakin mencintainya! Seperti aku!”
”Apa?! Coba katakan sekali lagi, Lintang!”
Tiba-tiba ia meredupkan sisa cahayanya. Hingga hilang tertelan jingga yang belum seharusnya sempurna.
”A... Aku pergi dulu ya, Wilda! Sudah pagi!” kilah Lintang, gugup.
”Tapi, fajar belum tiba!”
Lintang tak perduli, ia sudah pergi. Lebih tepatnya bersembunyi.
Lintang mencintai Rembulan. Kenyataan yang pahit. Seandainya Lintang tahu apa yang kulihat setiap pagi menjauhkan dirinya dari Rembulan.
Lalu menjelang pagi di hari-hari berikutnya, menjadi begitu sepi untukku. Entah, kemana Lintang bersembunyi. Tidak rindukah ia berbincang denganku. Mungkinkah ia ada masalah dengan Rembulan. Atau?! Ah, tidak mungkin ia lebur secepat ini kan?!
”Ia ada setiap malam. Coba temui dia di malam hari!” saran sebuah bintang yang meredup lebih dini darinya.
“Ya, kamu benar! Akan ku coba! Terimakasih!”
”Atau bermainlah denganku sebagai penggantinya!” tambah bintang itu, yang hanya kubalas dengan satu senyuman perpisahan sebelum ia menghilang.
* * *
Malam sudah cukup larut, cahaya-cahaya langit sudah cukup tinggi untuk kusapa dari jendela kamarku. Kuintip Lintang yang terlihat berkelap-kelip riang. Kutajamkan telingaku untuk mendengarkan bersama siapa ia berbincang.
”Mana mungkin ia tahu kalau kamu tak pernah mengatakannya! Kalau kamu hanya menunggu, sampai kapan?! Sampai Tuhan meleburkannya?!”
Membicarakan siapa ia?! Matahari?!
”Aku takut, ia malah membenciku!”
Itu suara Rembulan. Lintang berbincang dengan Rembulan.
Aku nyaris melompat kegirangan saat mengetahui dengan siapa Lintang menghabiskan malam. Tapi keinginan itu teredam dengan kalimat selanjutnya yang keluar dari cahaya mungil Lintang.
”Kamu ingat Wilda, teman kecil Sarah, sahabat manusia yang menemaniku menjelang pagi yang seringkali kuceritakan kepadamu. Menurutnya Matahari menaruh hati padamu”
Aku tidak pernah berbicara begitu padamu! Meskipun memang benar, tapi kalau aku cerita kamu akan patah hati! Lintang?! Apa yang kamu lakukan?! Bukankah kamu mencintai Rembulan. Kenapa kamu menyemangati Rembulan dengan kata-kata seperti itu.
Tanpa kusadari airmataku mengalir setetes demi setetes. Seolah sedang kuselami hati terdalam milik Lintang saat ia membohongi dirinya sendiri.
* * *
”Katakan kalau kamu tak lagi mencintainya, Lintang!”
”Maaf, aku mencintainya! Tak akan pernah berhenti mencintainya, Wilda!”
Cahayanya redup pucat. Tak perlu bertanya padanya, ia pasti tertekan.
”Tapi kenapa? Kenapa membohonginya? Kenapa membohongi dirimu sendiri? Kenapa kamu malah membuat lebih besar peluang untuknya bersama Matahari?”
”Karena aku mencintainya!”
Airmatanya mengalir deras. Aku baru tahu kalau bintang bisa menangis seperti manusia.
”Aku mencintainya dan aku sangat berbeda dengannya. Aku tak pantas untuknya. Hanya Matahari takdirnya. Tuhan membawa Rembulan untuk Matahari, untuk menemaninya, bukan untukku”
”Bodoh! Cinta itu butuh perjuangan!”
”Tidak! Cinta itu butuh pengorbanan, Wilda! Berkorban untuk orang yang kita cintai ketika ia dengan tulus mencintai orang lain. Seperti Rembulan yang dengan sangat tulus mencintai Matahari. Aku tak bisa lain. Aku ingin Rembulan bahagia. Dan aku tahu hanya dengan Matahari ia bisa bahagia”
Airmatanya berhenti mengalir. Tanda ketegaran hatinya dan keteguhan pendiriannya. Aku kembali menyelami dasar hati Lintang. Dadaku sakit seolah merasakan apa yang Lintang rasakan. Aku tidak bisa menahan pedih hatiku. Aku tidak bisa menahan gejolak perasaan lewat airmata yang jatuh berhamburan.
Lintang meninggalkanku bersama pagi yang telah datang membawa sepasang kekasih kerajaan langit. Sepasang kekasih yang bahagia dibalik hancurnya hati bintang terbaik yang pernah ketemui, sahabatku Lintang.
Inikah awal beserta akhir kisah cinta Lintang. Ketulusan telah membawanya dalam kebahagiaan yang tak pernah bisa terungkap tanpa meneteskan airmata kepedihan yang terpendam.

Andai kamu melihat dan mendengar dari bibir mungilnya
Akankah hatimu lebih tegar dariku
Untuk tidak meneteskan airmata
Mewakili kepedihannya yang terpendam bersama sebuah ketulusan

* * * The End * * *
Created By, Ressa Novita (Ocha)

Tidak ada komentar: