Senin, Mei 18, 2009

THE MUCUS

Hampir 5 tahun aku meninggalkan bangku sekolah menengah umum (SMU) ku dan selama itu pula aku tidak pernah lagi menginjakkan kakiku di gedung sekolah mewah itu (dinding berlumut, dua lantai, meja dan kursi penuh rayap, ruangan ber-AC alami sepoi-sepoi, lapangan olahraga sempit, tempat parkir kendaraan yang sangat tidak memadai, wc beraroma?, kepala sekolah botak).
Bukannya aku merasa malu pada semua orang yang kukenal disana karena aku tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Toh, sekarang aku sudah berpenghasilan yang lebih dari cukup hanya dengan melakukan pekerjaan yang tidak terlalu menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Bukan karena aku dulu terkenal sebagai siswi badung yang sama sekali tidak bisa diatur kelakuannya. Toh, sejak awal bersekolah disana aku diberikan kebebasan untuk menjadi apapun yang aku mau, berkat kepandaianku memberikan alasan saat ditanya ‘kenapa kamu selalu datang terlambat ke sekolah?’. Dengan sangat tidak aku mengerti, aku sadar bahwa jawaban ‘karena rumahku di belakang sekolah’ merupakan jawaban yang sangat memuaskan sang ketua yayasan Sekolah Budak Kaya itu.
Bukan juga karena aku sudah putus hubungan dengan Iwan, mantan kekasihku, seorang pegawai yang bekerja di bagian administrasi sekolah. Yang memang tidak ingin kulihat lagi wajah sang bajigur itu, gara-gara aku memergokinya mencuri bekal makan siangku saat kami sedang asik bermesraan.
Aku pernah bilang ke salah seorang temanku di sekolah itu. Bahwa jika aku lulus, aku tidak akan kembali ke sekolah itu barang sedetikpun, kalau hanya untuk menengok keadaan guru-guru dan mengenang kembali masa-masa sekolah. Alasannya sederhana, 3 tahun waktu yang lebih dari cukup bagiku untuk bersabar dan menghabiskan hari-hari penuh penderitaan dengan WC yang sama sekali tidak membuatku nyaman, walaupun hanya untuk mengeluarkan sisa polusi tadi malam.
Dan tentunya bukan itu masalahnya. Aku tidak pernah menganggap celotehan nakal itu sebagai sumpah yang harus dipatuhi, meskipun aku memang benar-benar prihatin dengan keadaan WC siswa yang ‘sangat’ wajar itu.
Jadi artinya, lebih dari 50 orang teman sekolah yang aku temui tanpa sengaja di pasar ikan dan makam pahlawan. Dan bertanya kenapa aku tidak pernah datang ke sekolah itu lagi, sekalipun pada saat acara reunion. Namun sampai saat ini tak ada satupun dari mereka yang tahu pasti penyebabnya.
Awalnya aku berharap hanya aku dan Tuhan yang tahu. Tapi ketika yang bertanya sahabat terbaikku. Seorang sahabat yang setelah hari kelulusan langsung melanjutkan studi nya di Singapura. Yang sekarang datang dengan mempersembahkan waktu yang singkat untuk ku dapat kembali berakrab-akrab layaknya sepasang kekasih ‘abnormal’ (enggak deng! Biasa aja kok :p). Apa aku harus tetap merahasiakan hal ini?
* * *
Senin, 25 Juni 2007. Hari pertama. Sahabatku Rumi tiba di bandara ‘Soekanto Mana’ dan tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi ia langsung mengajukan permintaan mengerikan.
“Temenin aku ke sekolah, ya! Aku kangen banget nih sama Ibu Dora!”
Doraemon dikangenin!
Dan keluhan itu hanya berani kuucapkan dari gua hati yang paling dalam, penuh dengan kelelawar masa lalu.
Aku masih ingat saat-saatku bersama Rumi yang paling menyengsarakan. Gadis kurang mungil itu sayang banget sama guru item berambut kribo bernama Dora, yang sering aku panggil Doraemon.
Setiap kali nama panggilan itu terdengar di telinga Rumi, tanpa assalamualaikum lagi panci susun tiga berturut-turut mencium keningku. Yang lebih parah lagi, si pemilik panci susun tiga bukannya usaha mencari si pelaku yang sesungguhnya, malah menggantungku diatas genteng kantin sekolah sebagai pelampiasan. Dan sesaat setelah itu si pemilik panci yang ternyata ibu kantin akan tersenyum dengan puasnya karena kantinnya penuh oleh siswa-siswi yang datang hendak menikmati keajaiban dunia ke delapan sambil minum es cendol buatannya.
Padahal kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tidak menjelek-jelekan Ibu Dora dengan panggilan itu. Malah sebaliknya, tokoh Doraemon lebih baik bentuk dan ukurannya dibandingkan Ibu Dora yang segede kutil. Atau jangan-jangan justru karena alasan itu Rumi marah. Karena Doraemon terlalu manis jika dipakai sebagai panggilan Ibu Dora.
“Kok, malah senyum-senyum?!” teguran ramah Rumi seketika mengembalikan nyawaku ke tempatnya semula.
“Eh, kita nonton ‘Dora The Explorer’ nya di rumah aja! Aku punya banyak lho DVD bajakannya!” jawabku asal.
“Bener?!” tanya Rumi yang seketika terlihat kegirangan. “Kalo gitu, ayo kita pulang sekarang!” ajaknya sambil langsung menarik koper-kopernya dan melangkah riang meninggalkan bandara.
Apa telingaku mulai ga waras?!. Sebenarnya yang tadi diajakin Rumi, ketemu Ibu Dora atau nonton film Dora sih???
* * *
Selasa, 26 Juni 2007. Hari kedua, aku dan Rumi siap-siap mau pergi nonton konser band terkenal Lalapan di Gelora Bung Parno, Tempayan. Ajakan mampir ke kuburan Ibu Dora kembali terdengar dari bibir seksi Rumi.
“Kita ke sekolah dulu, yuk! Kan jalannya satu arah!”
“Aduh, Rumi! Ga bisa! Lalapan itu band yang lagi ngetop-ngetopnya di Sunde Kelape ini. Udah banyak kasus penonton yang ga tau apa-apa mati keinjek-injek fans gila Lalapan. Jadi kita harus datang paling pagi buat cari tempat duduk paling strategis. Tempat duduk yang kira-kira bakal jadi inceran nenek-nenek dan kakek-kakek, juga ibu-ibu sama anak-anak. Pokoknya, kita harus duduk diantara manusia-manusia yang doyan Lalapan tapi ga punya kekuatan lebih buat bikin onar. Ngerti?!”
“Yah, ga usah segitunya kali! Kan hidup mati di tangan Tuhan!”
“Iya, kalo kita keinjek-injek langsung mati! Kalo kita ga mati tapi isi perut keluar dari sarangnya, gimana? Aku sih ga mau ngelanjutin hidup sambil bawa-bawa kantong kresek yang isinya usus kecil, usus besar, usus dua belas jari, usus buntu dan semua kawan-kawannya yang seharusnya terbaring nyaman di sini” ucapku meyakinkan sambil menunjuk ke bagian bawah tubuhku (maksudnya perut). “Ehm, tapi ga apa-apa sih kalo kamu mau keinjek-injek sendirian! Ayo, aku temenin sampe sekolah aja ya!”
Rumi menggeleng pasrah dan aku tersenyum puas. Menang.
* * *
Rabu, 27 Juni 2007. Hari ketiga, jalan-jalan ples (+) cuci mata ke Mall Taman Bandrek.
“Gian, jadi ya hari ini kita ke sekolah!!!” pinta Rumi terdengar sedikit memaksa setelah kami keluar dari Warkop 21 (dibaca : Warkop Tuentiwan).
“Serius, mau ke sekolah!”
“Ya, seriuslah!”
“Gianty!”
Tiba-tiba seorang pria separuh baya dengan tubuhnya yang atletis, berwajah kebapakan yang tampan dan berpenampilan bak seorang manager menyapaku tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Tanpa cepat-cepat membalas sapaan itu, aku segera menarik tangan Rumi untuk mendekat ke si pemilik suara.
“Halo, Mas Dhani! Kebetulan banget kita ketemu disini. Datang sama siapa?”
“Sendiri. Aku mau cari makan siang. Ehm, gimana kalau kita makan siang sama-sama? Biar aku yang traktir deh!”
“Boleh! Oh ya, mas! Kenalin ini Rumi, sahabatku yang baru datang dari Singapura yang sering aku ceritain ke mas Dhani!” ucapku sambil menarik tangan Rumi yang ternyata suhunya sudah lebih dingin dari suhu di Kutub Selatan untuk lebih mendekat. “Rumi, ini mas Dhani, cowok single yang kerjanya meng-edit naskah komik yang aku buat”
Dan hari itu berlalu hanya didalam Mall berkat kerjasama mas Dhani yang sangat memuaskan. Rumi itu paling ga tahan sama cowok single paruh baya yang kebapakan, itu tipe cowok idamannya sejak TK dulu. Suuutttt…. jangan bilang-bilang Rumi kalau aku sengaja mempersiapkan mas Dhani untuk membatalkan keinginan Rumi datang ke sekolah! Oke! :p
* * *
Kamis, 28 Juni 2007. Hari keempat, aku ngajak Rumi ke salon baru deket rumah.
“Hari ini kamu harus menemaniku ke sekolah!!!” pinta Rumi dengan nada suara yang lebih pantas diartikan sebagai perintah seorang Ratu Linggis yang tinggal di Istana Bengkelham.
Dengan santai dan suasana hati tetap tenang, aku balik bertanya tanpa menghiraukan pertanyaannya.
“Kamu tau ga kenapa aku ajak kamu ke salon hari ini?!”
“Buat creambath, manicure, pedicure, luluran,….”
“Artinya kamu ga tau kan?!” lanjutku sebelum Rumi berhasil menyebutkan semua layanan jasa yang ada di salon ini dan mendapatkan satu gelas cantik sebagai hadiahnya.
“Ga tau!”
“Aku ajak kamu kesini karena 1 jam lagi sepupuku Tondy mau datang ke rumah. Katanya, dia kangen berat sama kamu. En piringku mengatakan kalo dia masih ada rasa sama kamu dan punya niat tulus buat ngajak kamu balikan. So, setelah ini kamu ga boleh kemana-mana kecuali duduk manis di bangku taman belakang rumahku, dengan sikap anggun bak kamar mandi. Soalnya, aku bilang ke dia kalo kamu yang sekarang jauh lebih oke”
Wajah Rumi berubah sumringah.
“Mbak, sekalian di make-up yang cantik ya! Hehe!” pinta Rumi kepada si Mbak pekerja salon yang sejak tadi asik mengulung-gulung rambut panjang Rumi dengan gulungan kabel, yang katanya alternative terbaru dalam memperindah tampilan rambut wanita Indonesia.
* * *
Kamis, 29 Juni 2007. Hari kelima, mengurung diri di rumah tanpa kegilaan.
Awalnya ga punya niat untuk seharian di rumah. Karena ini berarti sama dengan hari-hariku biasanya tanpa kehadiran seorang teman hidup sesama jenis. Tapi, 3 jam sudah berlalu sejak Bejo si jantan yang tinggal di rumah sebelah berkokok melengking sebanyak 5 kali dan Rumi sama sekali belum terdengar menghentikan dengkurannya. Entah apa yang ia lakukan bersama Tondy semalaman sampai ia tak punya kuasa untuk bangun seperti biasa.
Yang dapat kulakukan saat ini hanyalah memanfaatkan waktu yang tersedia. Aku pikir selama 1 minggu aku tidak akan menyentuh peralatan menggambarku, aku benar-benar merindukan mereka semua. Tapi akhirnya kerinduan itu dapat terobati.
Tepat pukul 12 siang Rumi bangun dari mimpi indahnya. Dan tanpa kusadari dia sudah nangkring di sebelahku dan menarik lembaran kertas yang sedang menjabat sebagai media imajinasiku, alhasil sebotol tinta tumpah diatas jimat keberuntunganku.
“Rumi!!! Gambarku kamu apain?!”
Tanpa rasa bersalah Rumi merapikan semua lembaran kertas bergambar yang ada di depanku dan membuangnya ke tong sampah terdekat.
“Kamu ga boleh ngapa-ngapain hari ini, kecuali nemenin aku ke sekolah!”
“Ga bisa! Aku harus selesain kerjaanku. Waktu deadline komikku sudah dekat. Jadi tolong kertas-kertasku dipungut lagi!”
Rumi segera memungut kembali kertas-kertas yang dibuangnya di tempat sampah dan membersihkannya dengan perasaan bersalah.
“Maaf, deh! Emang kapan deadlinenya?”
“Bulan depan!”
Tiba-tiba kertas-kertas itu melayang di langit-langit kamarku, dalam ukuran yang sangat halus. Seperti turun salju, indah. Lho?!
“Arghhh… Rumi!!! Kembalikan jimat keberuntunganku!!!”
“Minggu depan kamu bisa bikin lagi! Kan deadlinenya masih bulan depan! Sekarang ganti baju kamu en kita ke sekolah”
“Kamu pergi aja sendiri! Kamu ga lupa jalannya kan?!”
“Aku mau pergi sama kamu!”
“Ga mau!”
“Harus mau!”
Paksa Rumi yang tiba-tiba menarikku dengan kekuatan bisep yang selama ini di sembunyikan di balik kemulusan lengannya.
“Tolonggggggg………………”
* * *
“Nah, kita udah sampai! Ah, akhirnya aku bisa membawamu kesini, meskipun aku belum juga mengerti kenapa kamu ga pernah mau datang kesini lagi”
“WCnya bau ikan tongkol!” jawabku dengan susah payah, karena Rumi belum juga melepaskan rantai besi milik doggi nya yang saat ini melingkar manis di leherku.
“Tau ga kenapa aku ngotot bawa kamu kesini?!”
Aku menggeleng pasrah dan tak mengharapkan jawaban bagus, karena apapun itu sekolah ini tetap penderitaan yang telah sampai di depan mata. Aku tak bisa lari lagi.
“Handry bilang ke aku kalo kamu susah banget diajak ke sekolah! Padahal waktu itu dia pengen banget datang ke sekolah bareng kamu waktu selametan sunatannya Pak Tohir yang ke 20 kali yang diadain di aula sekolah!”
Aku diam sambil ngiler mendengar alasan aneh yang ternyata diawali dengan ke’ember’an teman sekelasku yang bernama Handry itu.
“Penasaran banget nih, pengen tau apa alasannya kamu ga mau ke sekolah. Pastinya bukan karena WC. Kita semua kan tau, kalo WC di sini ga pernah bau tongkol atau jengkol atau apalah semua bau yang pernah kamu sebutin itu. Dengan sampai disini aku yakin sebentar lagi aku akan tau alasannya”
Rumi melanjutkan langkahnya, masih dengan memegang erat-erat rantai doggi yang sesungguhnya amat menyiksa batinku.
Langkahku semakin dekat dengan kebangkitan rasa bersalah. Hidupku akan berakhir disini.
Meyakinkan diri sendiri, hanya itu yang ada didalam pikiranku sekarang.
Aku segera memutuskan rantai doggi yang menjerat leherku dengan taring-taring yang tajam dan melarikan diri. Kudatangi pos satpam yang tadi kami lewati tanpa permisi.
“Bapak, pak Goni nya ada?”
Si satpam yang kayaknya masih baru bekerja disini, menjawab dengan nada dingin.
“Pak Goni udah ga ngajar disini lagi!”
Jawaban singkat, jelas, padat dan menyenangkan.
Tanpa sadar aku melompat dan berteriak kegirangan. Hal itu membuat Rumi menyadari bahwa manusia peliharaannya baru saja lepas dan sekarang sedang mengganggu satpam yang tak berdosa. Ia segera menghampiriku dan kembali melingkarkan rantai penderitaan itu ke leher manisku.
“Maaf ya, pak! Piaraan saya lepas!”
“Oh ya, ga apa-apa kok Neng! Lain kali kalo mau di ajak jalan-jalan, piaraannya di suntik rabies dulu. Biar ga berbahaya!”
“Iya deh, pak! Makasih ya!”
“Whoooo, dasar Satpam donggo! Ga bisa bedain apa mana orang mana binatang?! Mata lu mletos!” maki ku sambil mengikuti Rumi dari belakang.
Si satpam yang punya prinsip kritikan adalah pujian malu-malu segera mengambil cermin yang semula terdiam tanpa daya di meja kerjanya.
“Wah, mata ku mletos ya! Keren donk?!”
??????
“Wah, udah lama banget nih ga kesini! Kangen juga! Cari Iwan dulu ato ke WC dulu ya?!”
“Heh, Gianty! Mau kemana?!”
“Mau cari Iwan! Kali aja dia mau balik lagi sama aku! Hehe!”
Rumi mengeluarkan kembali rantai doggi nya dan berusaha meraih leherku.
“Eh, ga jadi deh Rum! Ngapain juga nyariin Iwan. Dia kan udah jahat banget sama aku. Ke WC juga enggak deh! Kayaknya masih bau jengkol deh, nanti aku pingsan lagi. Ehm, gimana kalo kita ke Ruang Guru? Ketemu sama ibu Dora”
Tanpa menunggu isyarat tanda setuju dari Rumi, aku berlenggak riang diatas jalanan kucing yang telah disiapkan untuk menyambut kedatanganku dan tak lupa melemparkan senyum terindah ke 8 penjuru mata anjing. Saat sampai di depan pintu ruang guru, segera aku mengetuk pintu berukir gambar gajah yang melambangkan Sekolah Budak Kaya itu dan membuka pintunya sebelum terdengar jawaban dari dalam.
“Selamat siang!”
“Eh, Gianty! Apa kabar? Silakan masuk!” sapa seorang guru yang sangat dipuja Rumi, Ibu Dora.
Ruangan itu sebenarnya tidak sepi, ada sekitar 10 orang guru di dalam ruangan itu. Sebagian guru kukenal dengan baik, sebagian lainnya mungkin guru baru. Karena suasana yang kali ini terlihat sedikit mencekam, aku jadi agak sungkan untuk masuk ke ruangan yang dulu jadi tempat langgananku untuk sekedar minum teh dan makan snack yang disediakan office boy sekolah untuk para guru dan antek-anteknya.
“Bu, kok sepi banget sih?! Pada sariawan ya! Biasanya kan guru-guru di sini biang gossip. Jadi kayak kuburan!”
“Hush, jangan ngomong sembarangan!”
“Ibu takut ya!”
“Sejak kepergian Pak Goni, ruangan ini rasanya hening banget. Ga ada satupun dari kami yang punya selera untuk berbincang apalagi menggosip. Karena setiap kali kami mencoba melakukan itu, kami selalu teringat akan tawa ringan milik Pak Goni. Kami jadi sedih!”
“Ah, ibu jangan terlalu membesar-besarkan! Kan masih ada guru-guru lain yang jauh lebih asik dan lebih gaul dari Pak Goni!”
“Hiks…hiks…HUAAAAAAA……”
“Lho?! I…Ibu…?! Ibu kok malah nangis?! Udah bu, lupain aja Pak Goni! Bukannya malah bagus kalo dia pergi!”
“HUAAAAAA… Kamu jahat Gianty!!! Ibu tahu kamu benci sama Pak Goni, tapi Ibu benar-benar ga nyangka kalo ternyata kamu sangat mensyukuri kematiannya. Kamu benar-benar siswa yang tidak berbakti! HUAAAAA… Bagaimana pun juga dia itu guru yang paling menyayangimu! Dia tak pernah melupakan kamu, sejak kamu keluar dari sekolah ini dia selalu menanti-nantikan kedatangan kamu. Selama 5 tahun ia selalu berharap kalo kamu mau sekali saja untuk melihat keadaannya, paling tidak untuk melihat keadaan sekolah ini. Tapi kamu tak pernah datang, sepertinya perasaan bencimu kepadanya bukan sekedar main-main, sehingga kamu terlihat seperti tidak lagi menghargai sekolah ini sebagai tempat yang telah mendidik kamu. Kamu benar-benar tidak punya……”
Entah kenapa semakin lama amarah bercampur isak tangis Ibu Dora semakin sulit untuk kudengar. Warna putih cat yang mendominasi dinding ruangan itupun semakin lama semakin menghitam. Kepalaku pusing, aku tidak tahu kenapa?! Yang aku tahu, aku tidak tahu apa-apa lagi! Aku tidak tahu!
* * *
“Sebenarnya kamu kenapa sih?! Biasanya kan kamu pingsan di WC yang bau jengkol itu. Apa ruang guru yang sekarang juga bau jengkol?!”
Sudah satu jam aku terbangun dari ketidaksadaran diriku dan selama itu pula aku belum mengucapkan sepatah katapun untuk memjawab pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi dilontarkan Rumi. Ruang kamarku terasa dingin dan tubuhku tak juga berhenti gemetar. Aku berusaha menatap diriku sendiri. Aku telah menambah dosaku. Aku berdosa.
“Apa semua ini karena Pak Goni?! Apa benar kamu sangat membencinya sehingga kamu tidak sudi lagi menginjakkan kakimu di sekolah yang telah membesarkan kita selama 3 tahun?! Tapi, kenapa?!”
“Aku ga membencinya!”
“Lalu kenapa?!”
“Aku malu… Aku merasa bersalah… Dan semakin hari aku semakin merasa bersalah. Karena aku sudah melakukan hal yang paling ia benci untuk kulakukan tanpa sedikitpun merasa bersalah. Makanya aku berusaha melupakan semua itu dengan cara tidak lagi bertemu dengannya. Dan itu cuma bisa aku lakukan dengan tidak datang lagi ke sekolah itu”
“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?!”
“Aku… Aku sudah membohonginya. Padahal aku sudah berjanji pada aku sudah berjanji pada diriku sendiri, kalo aku tidak akan melakukannya lagi. Dulu aku pernah menjatuhkan cairan hidungku di atas kertas ujian. Waktu itu aku mengikuti ujian matematika susulan, dan dia duduk di depanku sambil mengawasiku”
“Kenapa kamu bisa ga datang saat ujian matematika?! Apa kamu tidak tahu kalau mata pelajaran ini sangat penting?!” tanya pria setengah botak itu sambil memberikan kertas soal dan kertas jawaban ujian padaku.
“Sruuuuttttt… Sruuuuuttttt…” aktivitas di lubang hidungku mendahuluiku menjawab pertanyaan Pak Goni. Pak Goni pun sepertinya puas dengan fakta yang dilihatnya, ia mengangguk tanda memahami masalah yang sedang kuhadapi.
Tanpa banyak bicara lagi ia membuka Koran pagi yang sejak tadi dibawanya dan dengan santai membaca berita utama di Koran itu.
“Sruuuuuttttt… Sruuuuuttttt…”
“Duh, kamu ini! Sana pergi ke WC, bersihkan ingus kamu itu! Jorok tau!” perintah Pak Goni yang sepertinya sudah tidak tahan mendengar suara dari aktivitas si lubang hidungku.
“Sruuuuttttt… Sruuttt… Plukk!”
“Suara apa itu?!”
“Sruuuuttttt… Sruuuuttttt… Sruuttt… Maaf, pak! Ingus saya tumpah!” jawabku jujur tanpa dosa.
Pak Goni dengan wajah pucat pasi melirik ke kertas jawaban yang hampir terisi penuh oleh ukiran-ukiran alphabet bercampur angka-angka berpangkat yang sedang kubuat.
Dengan cepat ia menemukan segumpal cairan bening kental menghiasi kertas itu. Cairan hasil kerja keras kedua lubang hidungku.
“GIANTY!!! KELUAR KAMU!!! GA USAH IKUT UJIAN!!!”
“Tapi Pak, nanti nilai saya gimana?!”
“KAMU KIRA SAYA SUDI MEMERIKSA KERTAS UJIAN YANG TELAH DILUMURI CAIRAN KOTOR ITU?! KELUAR!!!”
“Tapi ingus saya bersih kok, Pak! Sumpah!”
“KELUARRRRRRR!!!!!!”
“Sejak saat itu setiap kali aku flu, Pak Goni melemparkan tatapan jengkel padaku. Matanya seolah berbicara, awas kalau kamu berani mengulanginya lagi! Dan akupun berusaha sebaik mungkin agar kecerobohan itu tak terulang lagi. Tapi suatu hari, saat aku lagi-lagi terserang flu berat”
“Gian, kamu kok bengong aja sih?! Itu, buku absennya belum kamu isi! Hari ini kan tugas kamu buat ngisi absen! Sebentar lagi jam pelajaran Pak Goni habis! Cepat kamu isi!”
Peringatan Tias menghentikan pengembaraan pikiranku yang masih tertambat pada sebuah teka-teki yang sudah hampir 6 bulan belum juga kutemukan jawabannya. Yang mana yang lebih dahulu di ciptakan oleh Tuhan, telor ayam, emak ayam atau kakek nya si ayam?!
“Sruuuuttttt… Sruuuuttttt… Telor ayam kali!”
“Hush… Jangan kenceng-kenceng narik ingusnya! Tuch liat, dari tadi Pak Goni melototin kamu!” bisik seorang cowok yang duduk tepat di belakangku.
Suasana kembali hening. Pak Goni kini sibuk mengukir barisan-barisan alphabet di papan tulis berbulu. Sedangkan murid-muridnya sibuk membuntuti tingkah laku sang guru.
Absen hari ini sudah kuisi dengan sempurna. Tapi, rasanya masih ada yang kurang. Apa ya?! Apa benar telor yang duluan?!
Selagi aku berpikir di atas buku absen berwarna biru. Tiba-tiba sumber keluarnya ingus siduardji, memuncahkan ingus berkali-kali lipat banyaknya. Aku sebagai sang pemilik sumber ingus siduardji sudah berusaha sebaik mungkin untuk menarik kembali tumpahan ingus itu, tapi apa daya seluruh hidungku tak lagi sanggup menampung ingus-ingus itu.
Aku segera mencuri pandangan ke arah Pak Goni, dan menemukannya masih asik mengukir alphabet tanpa terganggu dengan bunyi PLUKK! yang tadi sempat mengusik ketenanganku.
Setelah itu ku curi pandangan ke sekitarku, dan mendapati tak ada seorangpun yang menyadari kejadian alam ini.
Kutatap buku absen yang sudah berlumuran ingus dan sejak tadi terdiam pasrah menanti sebuah keajaiban. Kudorong sisa ingus di hidungku untuk menemani mereka yang terlihat kesepian di atas buku absen itu.
“Pluk! Pluk! Pluk!”
Tak lupa kuiringi kepergian mereka dengan doa setulus hati.
“Semoga kalian berbahagia di rumah kalian yang baru!”
“Hemph…” suara yang keluar dari tenggorokan Rumi cukup membuktikan kalau dia tidak bisa berkomentar apa-apa tentang kejadian itu.
“Aku merasa sangat bersalah pada Pak Goni. Tapi aku tahu rasa bersalah itu sudah tidak ada gunanya lagi. Pak Goni sudah meninggal. HUAAAAAAAA!!!”
“Udah jangan nangis! Gimana kalo kamu minta maaf sama dia?! Tidak ada kata terlambat buat bertobat kan?! Pak Goni pasti mau memaafkanmu!”
“Tapi kan Pak Goni udah ga ada di mana pun. Dia udah meninggal! HUAAAAAAAA!!! HUHUHUUUUU…”
“Gimana kalo kita ziarah ke makamnya? Tadi aku udah tanya dimana tempat pemakamannya sama Ibu Dora!”
“Hiks… Hiks… Iya deh…”
Nasi sudah menjadi bubur. Dan terjual habis di suatu pagi yang cerah. Aku sadar penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Pak Goni, maafkan kelancangan aku dan ingus-ingus ku! Selamat jalan, Pak Goni! Bagaimana pun juga Bapak telah memberikan kehangatan yang layak kepada ingus-ingus ku di atas buku absen milik Bapak! Jasa Bapak tak akan pernah kami lupakan!

* * * TamaT * * *
created by, Ressa Novita (Ocha)

Tidak ada komentar: