Jumat, September 19, 2008

Rembulan di Pagi Matahari (Part 2)

oleh : Ressa Novita (Ocha)
Detik-detik pagi bersama Matahari
Tak juga bosan dinantikan Sang Rembulan
Ia merasa tak ubahnya seorang Adam yang telah ditakdirkan
Untuk bersanding selamanya bersama Hawa yang Sang Maha ciptakan untuknya
Cinta pada pandangan pertama atas kehebatan pada Matahari
Ia ibaratkan sebagai awal rasa yang ia tanam didalam hati
Yang seharusnya maya bagi makhluk langit sepertinya
Tapi hidup tak dapat ia tebak
Kini ia telah menyimpan cinta untuk Matahari
Dan menjaganya di atas permadani kepalsuan
Yang ia letakkan bersama bunga ketulusan



Dari kejauhan Rembulan melihat pujaan hatinya memejamkan mata, berbaring di peraduannya yang dingin. Matahari yang selama 12 jam ia pandangi diam-diam, dari jarak yang begitu jauh, dalam hitungan menit akan hilang dari pandangan kekagumannya.
“Haaaaahhhhhh…”
Rembulan menghela nafas panjang. Malam yang menelan sosok Matahari bukan lagi pemandangan yang janggal bagi dunia, tapi entah kenapa perpisahan rutin itu masih saja menyisakan sepi di hati Rembulan.
Kenapa malam harus gelap?! Kenapa harus ada 2 keadaan yang bertolak belakang?! Kenapa siang harus berganti malam?! Kenapa cahaya harus tertelan gelap?! Kenapa Matahari terlelap meninggalkan dunia?! Lalu kenapa aku menggantikannya?!
“Kenapa aku menggantikannya?!” Rembulan terkejut dengan pertanyaan hatinya sendiri.
Tiba-tiba pandangannya menangkap sepasang manusia tepat di bawah tubuhnya yang mulai meninggi. Pria dan gadis muda itu melangkah perlahan ke arah pantai. Dinginnya angin laut dan gelapnya ruang kehidupan tak menyurutkan mereka untuk terus tertawa dalam keasikan mereka bersenda gurau.
Rembulan merasa tertarik dengan pemandangan manis itu. Sampai-sampai ia lupa dengan apa yang sejak tadi menyita penuh pikirannya. Ia lekatkan pandangannya dan tersenyum sembari memekakan telinga agar dapat mendengar perbincangan mereka dengan jelas.
“Mas, janji ya! Mas ga akan meninggalkan Ajeng!”
Sesayup terdengar ucapan si gadis manja dalam rangkulan kekasihnya.
“Iya, mas janji ga akan ninggalin kamu. Mas akan selalu ada buat kamu!”
Oh, gadis berambut ikal panjang itu mengingatkanku pada Matahari. Yah! Gadis itu persis seperti Matahari. Dan pria itu persis seperti aku, yang pernah berjanji tidak akan meninggalkan Matahari. Batin Rembulan sumringah melihat keakraban keturunan Adam Hawa itu.
Sepasang kekasih itu lalu duduk berdampingan di atas batu karang di tepi pantai. Si gadis kemudian mendengakkan kepalanya menatap langit yang sudah biru pekat. Dilihatnya Rembulan yang saat itu bersinar lebih indah dari biasanya. Ia hitung satu persatu bintang-bintang di sekitarnya, sesekali ia mencuri pandangan singkat ke kekasihnya yang sedang asik menyanyikan lagu cinta dipadu dengan petikan gitarnya.
“Mas!” panggil si gadis. Si pria segera menghentikan petikan gitarnya dan berusaha menyimak si gadis. “Kalau mas jadi tugas ke luar kota! Kita akan seperti Rembulan dan Matahari yang hanya memiliki 30 menit untuk bersama. Saat 30 menit itu berlalu, lihat! Rembulan kembali sendirian. Begitupun dengan Matahari”
“Yah, sedikit benar!”
“Sedikit?”
“Hanya sedikit. Karena aku bukan pria pendusta seperti Rembulan. Dan kamu bukan gadis bodoh seperti Matahari yang tidak sadar dengan tipuan di balik keramahan Rembulan”
Rembulan terkejut mendengar pembicaraan mereka yang ternyata tak lain adalah tentang dirinya dan Matahari. Rembulan sebisa mungkin mempertajam pendengarannya agar tak ada sedikitpun kata yang terlewatkan olehnya.
“Lho, memang ada apa dengan mereka?”
“Rembulan itu tak ada bedanya sama parasit. Ia hidup dengan bergantung pada Matahari. Ia tidak akan ada tanpa kehebatan cahaya Matahari. Andai saja Matahari tahu, Rembulan hanya memanfaatkan dirinya dengan mencuri cahayanya. Matahari pasti akan sangat membenci Matahari!”
“Ah, kamu ini bisa aja! Kamu mau jadi pendongeng? Seenaknya mengarang kisah seperti itu. Mereka kan bukan makhluk hidup!”
“Ini bukan dongeng, tapi dongeng yang dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan alam. Semua orang tahu, kalau cahaya Rembulan yang setiap saat kita nikmati adalah sebagian kecil cahaya milik Matahari. Kalau mereka hidup, sudah pasti cahaya itu curian. Mana mungkin Matahari mau memberikan cahayanya pada Rembulan dengan cuma-cuma. Nah, makanya jangan gunakan mereka sebagai perumpamaan cinta kita donk! Aku lebih suka kalau pakai perumpamaan Mawar dan Kumbang. Lebih romantis.”
“Coba kamu dongengkan tentang Mawar dan Kumbang?”
Rembulan melepaskan pandangannya dari sepasang kekasih itu. Bagi Rembulan mereka tidak lagi terlihat menarik. Apalagi setelah ia mendengar pembicaraan mereka yang sangat dalam menusuk perasaan Rembulan.
“Mereka benar! Ah, kenapa aku menggantikannya dengan cara seperti ini?! Selama ini dalam ketidaktahuan Matahari, aku telah berdusta untuk mendapatkan posisi ini. Tidak! Aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini! Mulai sekarang aku juga tidak boleh mencuri sinarnya lagi!” tekad Rembulan. “Matahari, jika aku membangunkanmu pagi nanti, mungkin itu adalah kali terakhir kamu mendengar suaraku dan melihat diriku”
* * *
“Rembulan, ada apa denganmu! Lesu sekali pagi ini?!” Tanya Matahari heran melihat Rembulan yang sejak tadi tidak benar-benar mendengarkannya bercerita tentang seorang anak kecil yang tak henti menatapnya lalu setelah itu melukis dirinya di atas kanvas bersama pemandangan sawah dan pegunungan.
“Ah, tidak apa-apa!”
Mendengar jawaban singkat Rembulan, Matahari kembali melanjutkan ceritanya.
“Apa sebelum aku datang menemanimu, kamu merasa kesepian?” Tanya Rembulan, tiba-tiba setelah Matahari selesai bercerita.
“Ah, biasa saja! Langit dan bumi kan tidak sepi, malah sangat ramai. Jadi aku tidak akan pernah kesepian walau tanpa kamu disini!”
“Kalau begitu…”
“Kalau begitu, apa?”
“Tidak apa-apa!”
Matahari ingin menanyakan perihal keanehan Rembulan, mungkin ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya saat ini. Tapi niat itu segera diurungkannya ketika Rembulan mengucapkan ‘Selamat tinggal’ padanya. Tanda bahwa sudah waktunya mereka berpisah.
Selamat tinggal?! Lho?! Kenapa Rembulan mengatakan selamat tinggal? Apa ia lupa kalau esok pagi ia akan bertemu lagi denganku?! Batin Matahari.
* * *
Rembulan merasa sedikit lega. Yang terpenting baginya, perpisahan ini tidak akan melukai Matahari. Matahari tidak akan kesepian sepeninggal Rembulan. Demikian yang dikatakan Matahari padanya pagi tadi. Kini Rembulan akan kembali menjadi penonton setia, penggemar rahasia, yang tidak akan melewatkan sedetikpun memandang Matahari. Hanya sebatas itu.
“Hei, apa yang kamu lakukan?! Cahayamu sudah hamper habis! Cepat ambil sinarnya! Ia sudah terlelap. Beberapa saat lagi ia akan tenggelam, dan kamu akan kesulitan mengambil cahayanya. Lakukan sekarang juga!” teriak sebuah Bintang yang paling jauh yang baru saja muncul di langit malam.
Rembulan tak menyahut, ia malah mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menyapa ramah seekor elang yang melintasinya.
“Hei, kamu akan membuat dunia sedih!” teriak Bintang lebih kencang dari sebelumnya.
“Hush, pelan-pelan bicaranya! Bisa-bisa kamu membangunkan Matahari!” Bintang yang lebih redup di sebelahnya mencoba memperingatkan kawan sejenisnya.
“Aku tidak akan mencuri sinarnya lagi!”
Pernyataan tegas itu tiba-tiba keluar dari mulut Rembulan. Semua mahkluk langit yang kebetulan mendengar pernyataan itu, serempak menyerukan suara kekagetan yang sama.
“Apa???”
“Ini tidak adil buat Matahari! Ia terlalu baik untuk di khianati!”
“Akhirnya kamu sadar juga, Rembulan! Kalau tindakan kamu itu begitu merugikan Matahari”
Suara yang muncul entah dari mana terdengar mengomentari pernyataan Rembulan dengan nada sinis.
“Si…siapa kamu?! Dimana kamu?!”
“Aku angin yang ada di sekitarmu. Yang selalu menyaksikan tingkahmu yang sok menjadi pahlawan dalam kegelapan ini. Asal kamu tahu, kalau tidak semua makhluk langit menyukaimu. Kami salah satunya”
“Oh, angin! Kenapa selama ini kamu tidak pernah berbicara padaku?!”
“Kamu tidak dengar?! Kami tidak menyukaimu! Untuk apa kami berbicara padamu?! Buang-buang tenaga! Lagipula selama ini kamu tidak menganggap kami ada, bukan?!”
“Maafkan aku, wahai angin!” ucap Rembulan yang sudah tidak tahu lagi harus membalas dengan kata-kata apa. Karena semua yang diucapkan Angin benar, ia tidak pernah tahu kalau Angin itu sama seperti makhluk langit lainnya. Ia pikir Angin yang tak lepas ia rasakan adalah sejuk tak terlihat yang tidak memiliki jiwa.
“Rembulan! Jangan kamu dengarkan kata-kata Angin! Urungkan niatmu! Ambil kembali cahaya Matahari! Dunia masih membutuhkanmu!”
“Ayo ambillah!”
Seketika ruang tanpa batas itu terdengar gaduh. Ratusan Bintang, Awan, Burung-burung, ditambah serangga-serangga malam yang terbang rendah, memprotes keputusan Rembulan dan membujuknya kembali mencuri cahaya Matahari.
“Keputusanku sudah bulat!” teriakan Rembulan mengheningkan kegaduhan. Hening. “Aku menyayangi Matahari! Aku mengasihinya! Aku tak ingin menyakitinya! Sekalipun semua kebohongan ini tidak akan pernah ia ketahui! Aku tak mau melakukannya lagi! Sudah cukup! Aku terbeban jika harus terus berdusta seperti ini!”
“Tapi, Rembulan…”
“Jangan ada yang bicara lagi! Aku tidak ingin mendengar kalian! Aku cukup bahagia jika aku harus kembali mengagumi dan memandang keindahan Matahari dari kejauhan! Karena aku telah diberi kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat, juga diberi kesempatan untuk berbincang dan bersenda gurau dengannya. Meski hanya sesaat, tapi aku telah merasakan saat-saat yang paling indah dalam hidupku. Dan aku telah belajar tentang rasa yang biasanya hanya diserukan oleh hati manusia. Cinta.”
Cahaya Rembulan meredup. Beberapa menit kemudian ia benar-benar menghilang. Hanya terdengar isak tangisnya yang tak juga henti. Bintang-bintang semakin tak habis pikir, kenapa Rembulan bisa seperti itu?
* * *
Pagi ini Matahari terbangun seperti dahulu ia belum mengenal Rembulan. Kokok ayam membuat telinganya sakit. Saat ia membuka mata, ia segera melemparkan pandangan ke segala arah mencari sahabat 30 menitnya. Tapi ia tidak menemukannya.
“Rembulan!!! Rembulan!!! Kamu dimana?! Kenapa pagi ini aku tidak melihatmu?!” Matahari berteriak-teriak panik mencari Rembulan.
Di suatu tempat di langit yang sama, Rembulan memandangi Matahari dengan mata sembab berusaha menahan isak tangisnya. Ia tidak menjawab panggilan Matahari sekalipun ia bisa melakukannya dalam waktu kurang dari 30 menit meskipun tanpa cahaya.
Jangan khawatir, Matahari! Aku selalu ada di dekatmu, walaupun tanpa wujud dan suara. Aku tidak pernah meninggalkanmu. Batin Rembulan.
Tapi bagi Matahari Rembulan baru saja mengkhianatinya. Rembulan meninggalkannya. Padahal ia pernah berjanji tidak akan pergi.
“Kenapa?! Kembalilah, Rembulan?!”
Matahari menangis tanpa air mata. Ia mengisak tanpa henti.
Tapi Matahari tak berputus asa. Pagi-pagi berikutnya ia tak lelah menanti kembalinya Rembulan. Ia sadar ia salah. Pernah ia mengatakan tidak apa-apa tanpa Rembulan, ia tidak akan kesepian. Tapi kenyataannya, ia sadar ia telah begitu melekat pada Rembulan. Ia sadar ia begitu menyayangi Rembulan ketika ia kehilangan Rembulan dari langit paginya.
“Rembulan! Kembalilah! Aku tahu kamu mendengarku! Karena itu kembalilah! Aku sangat merindukanmu!”
Tiap pagi datang hanya kata-kata itu yang mengawali perjalanan hari sang kunci kehidupan, Matahari. Kata-kata yang selalu terdengar jelas oleh Rembulan dan selalu membuatnya kembali menangis pedih.
Matahari dirundung duka, begitupun langit, dunia dan seluruh isinya.
“Kembalilah, Rembulan! Kami mohon!” bisik pilu para Bintang.
“Rembulan, aku memerlukan sinarmu untuk kelangsungan hidupku” kata seekor burung malam.
“Kami sedih! Kami tak bisa menyanyi jika segelap ini!” sambung serangga-serangga dari balik semak ilalang.
“Mama, kenapa Rembulan tidak lagi terlihat?! Aku mau Rembulan! Huaaaaa…” rengek seorang anak kecil kepada ibunya.
Menyaksikan semua itu Rembulan hanya menggelengkan kepala.
“Maafkan, aku! Aku yang salah! Sejak awal seharusnya aku tidak mengambil cahaya Matahari. Seharusnya aku tidak menjadi Rembulan pujaan kalian semua. Seharusnya aku tidak melakukan semua ini. Dengan itu mungkin kalian tidak akan bersedih seperti ini. Sudahlah! Jangan mengeluh lagi! Semua itu sia-sia, karena aku tak akan pernah kembali jika untuk membawa kepalsuan bagi ia yang aku cintai!”
Rembulan tak lagi punya telinga di sudut hatinya. Ia hanya punya cinta. Dan demi menjaga cinta itu baik-baik, ia rela meninggalkan semuanya. Termasuk Matahari yang paling dicintainya.
* * * TaMaT * * *

Tidak ada komentar: