Jumat, September 19, 2008

Rembulan di Pagi Matahari (Part 3) *Sarah & Pangeran Rembulan

oleh : Ressa Novita (Ocha)

Aku rembulan…
Aku pernah menyinari dunia dengan cahaya hangatku…
Tapi aku pergi…
Karena aku mencintai pagi dan siang hari…
Dan aku benci diriku…
Yang telah khianati takdir Ilahi…
Sarah…
Jangan harapkan aku kembali…
Aku tak akan pernah kembali…
Tersenyum saja…
Dan lihat senyummu di dalam cermin…
Dirimulah rembulan sesungguhnya…
Yang akan bertahan dalam gelap dan dinginnya malam…



“Sarah!!! Kamu dimana???”
“Sarah!!!”
“Sarah!!!”
Sayup-sayup terdengar suara memanggil namaku. Siapa yang memanggilku. Malaikatkah?! Oh, malaikat! Aku sudah siap jika kau ijinkan aku bertemu Rembulan di duniaku yang nyata.
Perlahan kubuka kelopak-kelopak mataku yang berair. Kuraba rerumputan yang basah dengan jemariku yang lemah. Ah, kenapa aku masih hidup.
“Sarah!!!”
Aku melihatnya tadi, dalam mimpiku. Pangeran berjubah putih itu berbicara padaku. Pangeran tampan itu jelmaan Rembulan dan dia memanggil namaku. Dia benar-benar Rembulan. Rembulan datang padaku lewat mimpi.
Kurasakan hembusan dingin mengalir membanjiri tubuhku. Dingin sekali. Tak lama kemudian tetes-tetes air yang jatuh dari langit menghujani tubuhku dengan kasar. Rasanya menusuk setiap jengkal kulit tubuhku. Aku tidak bisa berdiri. Kakiku diselimuti dingin yang luar biasa. Aku tidak bisa berteduh dari hujan yang deras ini.
Hah, aku tak mau mati dengan cara seperti ini! Jelek sekali! Rambut dan bajuku basah. Tangan dan kakiku kotor oleh tanah yang telah menjadi lumpur karena bersatu dengan air hujan. Riasan wajahku luntur tak bersisa. Aku jelek sekali. Aku tak ingin di surga nanti Rembulan melihatku dalam keadaan seperti ini. Tidak ingin!
Kupejamkan mataku erat-erat. Kurekatkan pipiku ke rumput yang basah. Rasanya lama-lama tubuhku hangat. Kalau begini aku bisa kembali tertidur. Aku bisa bertemu dengan Pangeran Rembulan lagi. Aku ingin berbincang banyak dengannya. Kalau ada dia aku tidak akan mati kedinginan. Aku tidak akan mati di hutan ini.
* * *
Kubuka mataku yang terasa begitu berat. Ah, ternyata aku sudah sadar dan aku baik-baik saja. Tapi aku belum sempat bermimpi. Aku belum bertemu Pangeran Rembulan lagi.
Kulihat sekelilingku. Hutan begitu tenang. Suara-suara binatang malam tak lagi terdengar. Apa sudah hampir pagi?! Kuangkat kedua kakiku yang semula tak dapat kugerakkan karena dingin. Tanganku juga terasa ringan. Tanpa sadar aku melompat hingga berdiri tegak. Seluruh tubuhku ringan. Aku merasa sangat sehat. Apa hujan deras tadi yang menyembuhkanku?! Napasku tidak terasa sesak lagi. Aku benar-benar sembuh!
Kutarik baju terusanku yang basah, hendak kukibas-kibaskan agar terkena angin dan cepat kering. Tapi, lho?! Kenapa bajuku sudah kering?! Noda-noda tanahnya pun tak tersisa sama sekali. Kuraba rambut keritingku yang panjang. Tidak basah sama sekali. Apa aku masih mimpi?!
Kucubit kedua belah pipiku kuat-kuat.
Aw! Sakit! Berarti hujan deras tadilah mimpiku yang sebenarnya. Dan pangeran jelmaan Rembulan yang datang menemuiku bukan mimpi, dia datang menemuiku di dunia nyata. Ya, benar! Senangnya!
Kulangkahkan kakiku riang ke arah mana kakiku hendak melangkah, dan ia memilih untuk melanjutkan langkah ke dalam hutan. Ya, kakiku ingin mengajakku ke danau yang ada di dalam hutan. Kunang-kunang yang bergerak kesana kemari mengiringi langkahku. Membuatku tak ragu untuk terus melangkah. Pepohonan yang besar dan tanaman-tanaman merambat yang kulewati terlihat lebih indah dari biasanya. Bebatuan yang kuinjakpun terasa mendukung langkahku karena sejauh kuberjalan tak satupun dari mereka membuatku terantuk. Udara malam terasa segar memenuhi paru-paruku. Hutan ini seperti perbatasan antara dunia dan surga.
Setelah jauh kuberjalan, akhirnya aku sampai ketepi danau. Airnya yang bening berwarna biru gelap memantulkan wajah langit malam yang berbintang.
“Sarah… Ini surga untukmu…”
Suara itu tiba-tiba terdengar di telingaku. Kuarahkan pandanganku ke sekelilingku, mencari asal suara. Disana, suara itu datang dari seorang wanita bergaun putih yang berdiri di tengah danau. Tidak mungkin. Aku pasti bermimpi. Masa ada manusia yang bisa berdiri di atas air?!
Tiba-tiba sebuah jembatan terbentuk dari bawah kaki wanita itu. Dengan ajaib jembatan itu memanjang sampai ke bawah kakiku. Jembatan itu berkilauan seperti emas, berbalut ribuan kunang-kunang di seluruh bagiannya.
“Ini jalanmu menuju surga, Sarah!” ucap wanita itu lagi.
Surga, katanya. Tapi aku sekarang tidak ingin ke surga. Aku sudah sembuh, karena itu aku ingin merasakan hidup normal seperti sepuluh tahun yang lalu saat aku masih kecil.
“Jangan lihat lagi, hidupmu yang menyedihkan! Jangan pikirkan lagi rasa sakit di dadamu! Di surga kamu hanya akan merasa bahagia. Keluarga dan teman-temanmu tak akan menangis lagi karenamu. Mereka akan bahagia saat melihatmu bahagia di alam bahagia ini. Sarah, tunggu apa lagi! Langkahkan kakimu, datanglah padaku, tinggalkan dunia yang kotor akan penderitaan ini! Kamu akan bahagia disini, apapun yang kamu inginkan akan kamu miliki disini. Karena itu, berjalanlah bersamaku menuju surga”
Tanpa sadar kulangkahkan kakiku melewati jembatan itu. Setiap pijakanku terasa hangat, sangat nyaman, membuatku tak ingin berhenti melangkah.
“Di surga ada Rembulan?” tanyaku. “Di surga Rembulan tidak takut menyinari dunia?”
Wanita itu menjawabnya dengan anggukan yang mantap.
“Dan disana ia bersanding bersama bintang-bintang?! Berarti malam di surga tak sedingin malam di bumi?!”
“Yah, Rembulan tak pernah sekalipun pergi dari langit malam di surga! Ia selalu menyinari surga!” jawabnya meyakinkanku.
“Aku ingin melihat Rembulan! Aku sudah menunggunya selama bertahun-tahun. Aku percaya Rembulan bukan sebatas dongeng. Dan mulai sekarang aku akan hidup di dunia dimana ia ada. Di surga. Tunggu aku, aku mau ikut denganmu ke surga!”
Kupercepat langkahku. Di depanku kulihat wanita membuka kedua belah lengannya, siap menerima kehadiranku.
“Jangan Sarah! Wanita itu menipumu!”
Suara yang sepertinya kukenal seketika menghentikan langkahku. Kubalikkan tubuhku untuk dapat melihat sosok orang yang memanggilku. Samar-samar kulihat seorang pria berambut lurus mengenakan kemeja dan jubah putih, di tangan kanannya tergenggam mawar berwarna kuning. Pangeran jelmaan Rembulan.
“Sarah… Aku disini… Aku tidak hidup di surga, aku hidup di bumi! Kamu tidak akan menemukanku disana! Karena aku hanya akan ada di bumi. Percayalah! Aku ada meskipun kamu tidak dapat melihat sosokku!”
“Pangeran Rembulan! Aku ingin kamu bersinar lagi di langit malam! Berjanjilah kamu akan bersinar lagi di bumi! Seperti yang pernah kamu lakukan puluhan tahun yang lalu”
“Aku berjanji! Tapi kamu harus kembali!”
“Aku akan kembali!”
Pangeran Rembulan mendekatiku, tangan kanan beserta mawar kuningnya itu meraih tanganku. Dari mawar itu mengalir energi yang tersebar dengan cepat keseluruh tubuhku, menyatu dengan darahku. Aku benar-benar merasa hidup kembali.
* * *
“Dok, kami menemukan detak jantungnya lagi! Dia masih hidup!”
“Cepat pasang kembali alat bantu pernapasannya!”
“Sarah… Sarah… Berjuanglah! Kamu gadis yang kuat! Kamu pasti bisa menyelamatkan dirimu sendiri! Berjuanglah, Sarah!”
Suara itu, itu suara Sardy, kakak laki-lakiku.
Aku mau bangun, aku merindukannya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Tuhan, tolong bantu aku! Aku ingin membuka mataku!
“Jantungnya sudah kembali normal! Masa kritisnya juga sudah lewat! Tapi untuk sementara waktu biarkan alat bantu pernapasannya tetap terpasang. Fungsi paru-parunya bisa menurun sewaktu-waktu! Kalau ada apa-apa, segera panggil kami!”
Ternyata aku ada di rumah sakit. Berarti hujan deras itu bukan mimpi. Jembatan menuju surga, wanita dan Pangeran Rembulanlah yang hanya mimpi. Ah, aku bingung! Tapi dalam mimpi Pangeran Rembulan telah berjanji padaku, dia akan bersinar lagi di langit malam. Dia pasti tak akan mengingkari janjinya. Aku akan pergi ke hutan untuk melihatnya!
“Sardy…” tiba-tiba suaraku keluar dengan lancar melalui tenggorokan dan bibirku. Kubuka perlahan kedua mataku, buram. Tak mungkin aku buta! Aku butuh mata ini untuk melihat kemunculan Rembulan.
Lama kelamaan aku dapat melihat cahaya memenuhi kedua retina mataku. Oh, mataku tidak buta! Hanya sedang beradaptasi dengan cahaya di ruangan ini.
Kulihat Sardy, Ayah dan Ibuku berdiri disamping tempat tidurku. Sardy tersenyum sambil meraih jemari tanganku. Ibu menghapus sisa-sisa airmata dengan sapu tangan kesayangannya dan Ayah berdiri memeluknya.
“Aku hampir sampai di surga, tapi seorang pangeran membawaku kembali!” ceritaku.
“Pangeran itu pasti aku kan?!” gurau Sardy. Di wajahnya masih juga tergambar ketegangan. Kondisiku sebelumnya pasti benar-benar parah sehingga Ayah dan Ibu tak mampu lagi berkata-kata melihatku sadar, mereka hanya menangis penuh haru.
“Dia Pangeran Rembulan! Dia yang menolongku. Dan dia berjanji akan menyinari langit malam langit. Ayah dan Ibu masih ingat kan seperti apa Rembulan?! Nah, dia akan datang lagi! Tapi kali ini bukan cuma kalian yang akan melihatnya, aku juga akan melihatnya!”
Kugerakkan kedua kakiku, hendak kuturunkan kebawah tempat tidur sebagai penopangku berdiri. Tapi tidak bergerak sempurna. Rasanya berat sekali.
“Ah, kenapa kakiku tak bisa digerakkan?! Berat sekali?! Aku mau bangun! Sardy bantu aku!”
Tanganku yang lemah mencoba meraih tangan Sardy, tapi tak sampai.
“Sardy bantu aku! Aku mau keluar dari ruangan ini! Aku mau melihat Rembulan! Ayah, Ibu, bantu aku!”
“Sudahlah, Sarah! Semua itu hanya mimpi! Yang namanya Rembulan itu tidak pernah ada!” ucap Ayah sambil menahan tubuhku agar tetap berbaring.
“Tapi Ayah yang bercerita padaku kalau sewaktu Ayah dan Ibu masih muda, kalian senang sekali berbincang-bincang di bawah sinar Rembulan. Kalian yang bilang padaku!” sergahku.
“Kami hanya ingin menghiburmu! Membangkitkan semangat hidupmu! Membuatmu bertahan hidup sampai sejauh ini!” lanjut Ibu.
“Tidak! Kalian bohong! Rembulan ada! Dia datang dan berjanji padaku akan kembali menyinari malam! Aku akan membuktikannya pada kalian!” teriakku histeris.
Kupaksa tubuhku turun dari tempat tidur. Kutapakkan kedua kakiku ke lantai yang dingin. Aku coba untuk menopang berat tubuhku sendiri. Tapi aku jatuh di lantai.
“Sarah, jangan keras kepala! Kamu baru saja melewati masa kritis! Tadi kamu hampir meninggal, jadi jangan berulah lagi!” bentak Ibu sambil mencoba mengangkat tubuhku.
“Aku tidak memilih mati karena Pangeran Rembulan yang memintaku hidup! Dan seharusnya aku sudah sampai ke surga kalau memang dia tidak ada. Tapi dia ada, bu! Dia ada! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya sekarang! Kalian juga harus berterima kasih padanya! Aku yakin di luar sana dia sudah menungguku!”
“Baiklah, tapi kita tunggu sampai tubuhmu pulih kembali! Oke!” bujuk Ayah.
“Ya, aku akan cepat pulih agar bisa berjalan ke hutan lagi!”
* * *
Napasku sesak! Aku sulit bernapas! Yah, seharusnya aku sudah mati! Hari itu seharusnya aku mati! Mati karena kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhku. Umurku sudah 16 tahun, 2 tahun melewati perkiraan umur yang dikatakan dokter padaku! Seharusnya aku sudah berada di surga! Mungkin saatnya datang lagi.
Tapi, tidak! Aku belum sempat melihat Rembulan! Aku mau melihat Rembulan sebelum aku pergi ke surga, karena di surga tidak ada Rembulan. Aku harus keluar dari sini.
Kulihat Sardy tertidur lelap di sofa yang ada di salah satu sudut kamar. Dengan begitu aku bisa keluar.
Tubuhku tak selemah 3 hari yang lalu. Meskipun sedikit berat, tangan dan kakiku sudah mulai dapat digerakkan. Dengan sedikit tenaga lebih, aku pasti bisa sampai di halaman belakang rumah sakit.
Napasku semakin sesak. Dadaku rasanya sakit sekali. Sebentar lagi, aku mohon sebentar lagi. Aku belum sampai. Jangan berhenti bernapas! Jangan berhenti bernapas!
Kutopang tubuhku dengan berjalan merambati dinding rumah sakit. Lewat pintu belakang aku keluar dan sampai di sebuah halaman serupa taman dengan dikelilingi pepohonan rindang dan bunga-bunga dari tanaman hias.
Dengan susah payah kubuat tubuhku berdiri tegak di tengah halaman berumput basah itu. Lubang hidung dan mulutku terus saja memburu udara agar tak membuatku hilang kesadaran. Sebentar lagi… Tunggu sebentar lagi…
Kudongakkan kepalaku ke arah langit malam. Tak ada Rembulan.
Kuputar 90 derajat seluruh tubuhku. Tak ada Rembulan.
90 derajat lagi. Tetap tak ada.
Dimanapun di atas langit Rembulan tidak ada. Kenapa Pangeran Rembulan berbohong padaku! Padahal dia sudah berjanji! Tidak! Dimana Rembulan??? Dimana dia?!
Terus kujelajahi langit yang dapat kulihat dengan mataku. Tubuhku terus bergerak mencari. Tapi tetap saja aku tak mendapatkan apa-apa.
Kurasakan airmataku mengalir deras, pandanganku mulai kabur. Paru-paruku sudah tidak menarik udara lagi. Jantungku berdetak melambat. Tubuhku terkulai dan terbentur tanah berumput. Aku tinggal menunggu sisa detak jantungku. Karena aku akan mati. Aku akan mati tanpa pernah melihat Rembulan.
* * *
“Sarah… Maafkan aku…”
Terdengar suara Pangeran Rembulan di belakangku. Akupun segera menoleh. Tapi sosok pria berjubah putih itu tidak terlihat.
Aku tahu kali ini ia tidak akan datang menolongku. Sekalipun ia datang, aku tidak akan percaya rayuannya lagi.
Aku kembali melanjutkan langkahku, meraih pelukan wanita bergaun putih yang akan mengantarku ke surga.
“Maafkan aku, Sarah!”
Tidak apa-apa, Rembulan. Batinku. Aku percaya kamu ada, meskipun kamu tidak percaya bahwa aku dan dunia mencintaimu. Jadi aku mohon jangan kecewakan gadis-gadis berpenyakitan lain yang mempercayai kehangatanmu. Berikan mereka harapan seperti kamu memberikanku harapan.
“Maafkan aku!”
Selamat tinggal, Rembulan! Selamat tinggal, Pangeranku!
Semoga aku bisa bertemu denganmu di surga!
* * * TamaT * * *

Tidak ada komentar: