Senin, Mei 18, 2009

Hurt in My Heart

Hati ini gelap, aku seolah mencinta, tanpa pernah belajar mencinta. Sebenarnya apa yang aku inginkan?! Kasih sayang? Cinta? Bukan! Yang aku ingin hanya kepuasan batinku. Bayang-bayang semu yang aku anggap nyata dibalik sosoknya.
Hebatnya aku! 5 tahun berlalu dan wajah ini hanya milik seorang aktor professional. Kebohongan menjadi penopang utamaku dalam menjalani sandiwara hidup ini. Tapi, apakah panggung kebahagiaan ini dapat kupertahankan untuk selamanya?!
“Alena, maukah kamu menikah dengan ku?”
Ketika apa yang ada didepan mata, adalah kesungguhan. Ketika sang aktor lainnya bermain tanpa seolah bermain. Ketika semua aktor selain aku menghidupi panggung ini dengan kejujuran dan ketulusan hati.
“Aku…”
Pantaskah aku terus bermanis dengan dusta. Menyakiti hatinya. Lagi dan lagi.
“Alena…”
Geon mengeluarkan kotak kecil cantik berwarna merah dari saku jaketnya. Dan aku dapat menebak apa isinya. Tapi Geon, apa pantas aku menerimanya? Padahal aku belum sedikitpun menerima hatimu dengan ketulusan. Selama ini aku hanya berdusta. Berdusta pada diriku sendiri, padamu, Rena dan pada semua orang. Tidak, aku tidak bisa menerimanya. Tapi bagaimana aku menolaknya?!
Geon hendak membuka kotak kecil itu untuk menunjukan isinya.
“Uhm, Geon… Aku belum siap!” jawabku segera, sambil meraih tangannya yang hampir saja membuka kotak itu.
Mendengar jawabanku yang mungkin sedikit membingungkan untuknya, ia memasukkan kembali kotak kecil itu ke saku jaketnya. Wajahnya berubah sendu. Seolah baru saja kehilangan semangat hidup yang semula tak pernah lepas dari raut wajahnya yang tampan itu.
“Maafkan aku Geon, tapi aku belum siap!” ucapku sekali lagi.
Geon tersenyum lembut setelah mencerna kata-kataku dengan lebih bijaksana. Kesenduannya pun hilang seketika. Kembali menjadi Geon yang aku kenal.
“Tak apa, sayang! Asalkan kamu tidak memintaku pergi dari sisimu. Coz, I love you!”
Geon mengecup keningku dengan lembut. Kecupan yang hanya dapat kubalas dengan satu senyuman tanpa rasa.
* * *
“Apa? Geon melamarmu?! Bagus donk kalo gitu! Selamat ya!”
Aku menggelengkan kepalaku tanda tak setuju dengan pendapat yang baru saja dilontarkan Rena. Uluran tangannya untuk menyelamati ku tidak kuraih. Yah, pikirku untuk apa kata selamat. Ini bukan sesuatu yang pantas dirayakan. Karena ini luka baru untukku.
“Maaf, Rena! Tapi aku menolak lamarannya!” ucapku pelan.
“Apa?!”
Keterkejutan Rena membuatku sepuluh kali lebih terkejut. Jantungku hampir saja terpisah dari tubuhku. Memang Rena pantas terkejut dan dia pantas marah jika ia tahu alasan apa yang membuatku menolak lamaran seorang pria yang selama ini semua orang tahu sangat aku cintai melebihi apapun.
“Alena! Jadi tebakanku selama ini benar?! Kamu mengejarnya, kamu membuatnya mencintaimu, kamu menerima cintanya, dan menjalani hubungan selama 5 tahun, hanya untuk menutupi luka dihatimu. Menggantikan Rion mengisi hari-harimu. Berkhayal kalo kamu ada disamping Rion, dan kamu akan terus disamping Rion. Benar kan?!”
Aku mengangguk pelan mengiyakan kata-kata yang tanpa disangka keluar begitu saja dari mulut Rena. Padahal aku baru saja ingin mengakui semua itu, tapi ternyata ia sudah tahu, bahkan ia lebih tahu.
“Braakkk!!!”
Meja kayu tempatku menyanggahkan kedua tanganku bergetar bersamaan dengan tangan Rena yang dibenturkan sangat keras ke muka meja.
“Rion sudah mati! Dan luka di hati kamu tak akan pernah terhapus selama kamu belum menghapus kemelekatan kamu terhadap Rion. Lupakan Rion! Sejak dulu aku sudah bilang, lupakan Rion! Kamu memang cinta mati sama dia, tapi bukan berarti saat Rion mati kamu menganggap semua pria itu Rion. Karena Rion tidak bisa disamakan dengan pria manapun. Rion hanya satu Rion. Dan dia tidak akan kembali apapun yang kamu lakukan, dia tidak akan kembali. Dia sudah mati!”
“Cukup! Rion tidak mati!”
“Alena?!”
“Maksudku Rion memang sudah mati. Tapi dia masih hidup! Dan dia sekarang hidup dalam diri Geon!”
“Rion sudah mati, Alena! Dan tidak ada Rion di dalam diri Geon! Hentikan khayalan kamu! Kamu hidup di dunia nyata! Saat ini yang kamu miliki adalah Geon, yang ada di sisi kamu adalah Geon, yang paling mencintai kamu adalah Geon, dan yang kamu butuhkan adalah Geon. Bukan Rion, atau pria manapun yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam di masalalu mu!”
Aku menangis, airmataku berjatuhan dengan sangat deras saat mendengar semua yang diucapkan Rena padaku. Semua tanpa satupun kesalahan.
“Selama ini aku sudah menyadari kebohonganmu pada Geon, sejak kamu berusaha menemuinya padahal dulu kamu sama sekali tidak mengenalnya. Aku tahu ini semua salahku. Aku yang salah pernah mengatakan kalau mata Geon murip dengan mata Rion. Aku yang salah. Tapi aku mohon, Al! Hentikan! Kamu hanya memperparah luka di hatimu! Kamu juga akan membuat luka di hati Geon! Di hatiku, juga di hati Rion yang mengawasimu dari alam sana. Kamu melukai dirimu dan semua orang! Karena itu hentikan! Aku mohon!”
Aku mengangguk tanda setuju. Dibalas senyuman dan pelukan hangat dari Rena, sahabatku.
* * *
“Al, selama 3 hari aku akan pergi ke Singapura! Aku harus…”
“Tidak boleh!” perintah tegas itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
Geon tidak boleh pergi ke tempat itu. Pikiran melayang ke masa lalu. Ketika Rion berpamitan untuk pergi ke Singapure untuk menjenguk kerabatnya yang sedang sakit parah selama 3 hari.
“3 hari lagi aku akan kembali ke Jakarta, aku tunggu kamu di bukit jam 7 malam. Aku ada sesuatu buat kamu”
Dan Rion pergi tanpa sedikitpun usahaku untuk menahannya. Dan dia…
“Al, aku harus…”
“Kamu tidak boleh pergi ke Singapura!”
“Kamu ini kenapa sih?!”
3 hari kemudian aku menerima sms dari Rion. Yang isinya mengulangi permintaannya sebelum ia berangkat. Ia ingin aku menemuinya di bukit jam 7 malam. Tanpa firasat apapun aku memenuhi keinginannya. Tapi yang aku temui di bukit itu bukan Rion.
“Ri…Rion…”
Terkejut. Aku melihat sebidang tanah dengan nisan marmer bertuliskan nama Rion dipermukaannya. Diatasnya berserakan kelopak-kelopak bunga yang masih segar.
“Haha…Jangan becanda deh! Nggak lucu tau! Rion cepat keluar!”
Akupun yakin dia pasti sedang bersembunyi dan mengawasiku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Dia pasti menungguku menangisi makam palsu yang dibuatnya.
“Rion! Udah deh! Aku nggak akan menangis cuma karena kejahilan kamu ini! Cepet keluar! Kalo nggak aku pulang nih!”
Tapi dia tetap tidak muncul.
“Alena, maafkan aku!”
Suara Rion.
“Rion, ayo keluar! Jangan permainkan aku lagi!”
“Alena…”
Suara itu terdengar semakin pelan. Dan terus terdengar sayup-sayup lalu hilang tertelan hembusan angin..
Aku mulai berpikiran jelek. Aku kembali menatap batu nisan itu dengan teliti untuk menghilangkan keraguanku. Aku meraba setiap ukiran huruf yang menghiasi nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian,dan…
“Sebuah cincin?!”
Cincin cantik aku temukan tergantung di sebuah paku yang menancap diantara huruf-huruf di nisan itu.
“Jadi ini yang ingin kamu tunjukan?! Baiklah, sekarang keluar! Aku sudah menemukan hadiahmu! Rion…”
Tidak! Aku tidak bisa bersabar lagi! Ini sudah keterlaluan!
“Cukup! Cukup Rion! Keluar!!! Jangan membuatku takut!!! Rion keluar!!! Aku ingin memelukmu… Aku ingin kamu memasangkan cincin ini di jariku…”
Aku menangis tiba-tiba. Entah atas dasar apa. Aku hanya ingin melihat wajahnya yang muncul dan mentertawaiku. Tak apa! Aku hanya ingin melihatnya.
“Maaf, Alena…”
“Rion…”
Aku menoleh keasal suara dan mendapati sosok pria yang menyerupai Rion.
“Rion…”
“Alena, ini aku Dion. Kakak Rion! Maaf aku terlambat!”
“Kak Dion! Rion mana?!”
“Itu, yang kamu pegang”
Aku menatap nisan yang tanpa sadar masih terus kulekatkan dengan telapak tanganku.
“Hah, kak Dion! Jangan becanda deh! Mana Rion?!”
“Alena, Rion…”
Aku melihat airmata berjatuhan dari kelopak mata Dion. Bibirnya terlihat kelu untuk melanjutkan kata-katanya.
“Kak Dion jangan becanda! Rion tidak mungkin… Tidak mungkin… Dia janji tidak akan ninggalin aku… Tidak mungkin, Kak…”
“Saat mobil kami melewati pertokoan, Rion melihat sebuah boneka tedy bear berukuran sangat besar terpajang di etalase toko. Dia bilang kamu sangat menginginkan boneka seperti itu. Lalu dia menghentikan mobil yang dikendarainya dan berlari menyebrangi jalan menuju toko itu. Ia membeli boneka itu, tapi saat ia kembali menyabrangi jalan, ia lengah. Sebuah taksi menabraknya dengan kencang. Dan dia…”
“Rion meninggal di Singapura… Karena itu kamu jangan pergi, kamu tidak boleh pergi!”
Tanpa sadar aku sudah memeluk Geon dengan sangat erat dan menangis di pangkuannya. “Siapa Rion?!”
Pertanyaan itu tiba-tiba membuatku terhentak. Geon bertanya siapa Rion. Apa yang harus aku katakan padanya tentang Rion.
“Alena, siapa Rion?!” ulangnya.
* * *
Akupun menceritakan semuanya. Yah, aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini. Aku harus mengakhirinya.
“Maaf, Geon! Selama ini aku sudah jahat sama kamu! Aku menyayangimu, tapi aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya memanfaatkan kemiripanmu untuk menutupi kesedihanku yang telah kehilangan dia, orang yang aku cintai. Dan aku sadar, aku tidak bisa selamanya hidup dengan kebohongan, kepura-puraan. Aku harus mengakhiri semuanya!”
“Al…”
“Kamu boleh marah! Kamu boleh benci! Kamu boleh memukulku! Tapi maaf kan aku! Aku sudah banyak melukai hatimu! Aku jahat! Aku egois!”
“Tapi kebohongan itu manis, sayang! Dan aku bahagia! Selama ini kamu bersandiwara sebagai orang yang paling mencintaiku, walaupun hanya sandiwara, tapi aku bahagia. Aku sedih! Tapi aku tidak akan marah, tidak akan membencimu. Apapun kenyataannya. Kebohongan, kepura-puraan, apapun yang kamu berikan. Aku senang. Karena di dalam sini hanya ada satu perasaan. Cinta yang tak akan pernah hilang”
Baiknya pria ini, kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari ketulusannya? Kenapa selama ini aku tidak pernah benar-benar mengenali dia yang sesungguhnya? Dan kenapa aku tega melukainya?
Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku menangis dibahunya. Aku menyesal telah melakukan semua ini padanya. Aku menyesal tidak pernah menghargai perasaannya. Aku menyesal tidak pernah tersenyum tulus padanya. Aku menyesal tidak pernah mencintainya. Aku menyesal telah menyimpan bayang-bayang Rion dibalik sosoknya. Dan ribuan penyesalan yang tak akan pernah terhapuskan dengan satu kata maaf.
“Lagi pula, tadi kamu melarangku pergi karena teringat masa lalumu dengan Rion. Aku percaya, itu tandanya kamu menyayangiku sama seperti kamu menyayangi Rion. Iya kan?!”
Aku membenarkan kata-kata Geon didalam hati. Dia benar, aku mulai menyayanginya. Dan aku tidak ingin kehilangan dia seperti dulu aku kehilangan Rion.
“Jangan tinggalkan aku, Alena! Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku benar-benar mencintaimu!”
“Aku tidak pernah bilang ingin meninggalkanmu kan?”
Geon memelukku lebih erat saat mendengar jawabanku.
“Terima kasih, sayang!”
“Tapi, biarkan aku mengulanginya dari awal! Dari toko buku Fraza”
“Apa?!”
“Aku bersedia menikah denganmu!”
“Benarkah?!”
Geon hampir melompat dari tempatnya duduk manis.
“Yup, jika kamu bersedia memulainya dari awal pertama kali kita bertemu”
Karena saat itu aku akan menyapamu tidak sebagai Rion atau siapapun. Tapi akan ku sapa dirimu sebagai malaikat yang akan menyembuhkan luka di hati ini.


*** TamaT***

created by, Ressa Novita (Ocha)

Tidak ada komentar: