Aku berdiri tegak di depan meja riasku. Kursi cantik berwarna biru muda yang tergeletak menyertai meja rias ini, aku biarkan kosong tanpa guna. Kutatap wajah putihku yang terlihat segar tanpa dihiasi sedikitpun bercak noda. Lalu kucoba tersenyum.
Yah, inilah aku! Apa ada yang salah?!
Sekilas wajah ini terlihat seperti bukan wajah milik seorang gadis yang ramah. Memang benar. Banyak orang yang berkata dengan sinis untuk air muka yang sebenarnya tidak aku buat-buat. Tapi, Tuhan Maha Pengasih. Aku diberikan satu kelebihan dari wajah tidak ramahku ini. Sebuah popularitas. Dan aku bahagia dengan kelebihan itu.
Aku jadi semakin gemar tersenyum pada semua pria yang menyapaku dengan nakal. Dan dapat kumeyakinkan pada siapa saja yang bertanya padaku, aku menyukai mereka. Apalagi jika diantara mereka ada wajah yang terlihat indah untuk dipandang lebih lama dipadu dengan potongan tubuh yang sempurna. Ehm, aku suka sekali. Dan saat memandang mereka aku akan bergumam dalam hati ‘oh, indahnya hidupku!’. Maka akupun tak akan ragu untuk balik menggoda pria-pria indah itu.
Yah, sekali lagi aku katakan. Inilah aku! Dan bagiku tidak ada yang salah pada diriku!
Tapi saat ini…
“Dreeet…dreeet…dreeet…”
Getar tanpa nada yang keluar dari telepon genggamku seketika membuyarkan lamunanku.
Tak segera kutekan tombol penjawab pada handphone Sony Ericson itu. Aku hanya menatap layarnya yang mengeluarkan cahaya terang dengan inisial nama Sayankku yang tak henti berkedap-kedip. Itu inisial pacarku yang tersimpan di memori handphone. Terkadang aku memanggilnya demikian. Dan itu sebuah kemunafikan yang berpadu dengan kebohongan yang manis.
Tiap kali aku melihat nama kebohongan itu menghiasi layar handphoneku. Aku akan teringat sampai hal-hal terkecil yang tersusun rapi dan mengisi kebohongan itu.
Tanpa pikir panjang aku me-reject panggilan itu. Dan segera menon-aktifkan handphoneku.
Maaf, Geral! Tapi hidup ini cuma panggung sandiwara. Begitu juga hubungan kita selama ini. Aku hanya ingin menampilkan sisi romantis dari drama cinta yang kubuat. Dan tinggal menunggu waktu untuk membuat babak penutupnya. Masalah endingnya bahagia atau tidak, itu tergantung kehendakku sebagai sang penulis naskah yang juga merangkap sebagai sutradara dan pemeran utamanya.
“Tok…Tok…Tok…”
Lagi-lagi ada yang membuyarkan lamunanku.
“Devi… Ada telepon dari Geral!”
Mendengar lanjutan ketokan pintu itu, dengan sigap aku meraih handphoneku yang masih dalam keadaan tak bernyawa (non-aktif) dan memasukkannya kedalam tas ranselku.
Aku menenteng tas ranselku dan bergegas keluar kamar. Tapi bukan untuk menjawab telepon dari Geral.
“Mah, udah nggak ada waktu lagi nich!” teriakku sambil menunjuk kaca jam tangan hitam yang menghiasi pergelangan tangan kananku.
Mendengar jawaban tidak enak dariku, mama terlihat sedikit terkejut. Tapi akhirnya ia mengangguk tanda setuju saat aku mencium pipi kanannya sebagai permohonan doa restu sebelum pergi untuk menuntut ilmu.
Hah, Geral! Sekali lagi maaf ya! Bukannya aku tidak ingin berbicara denganmu, tapi belum saatnya aku kembali membuka tirai panggung sandiwara ini. Aku masih memikirkan adegan selanjutnya yang harus aku mainkan sebagai babak penutup drama cinta ini.
“Hei, Dev! Makin cerah aja nih!”
Sapaan seorang mahasiswi membuatku berhenti melangkah dan menyempatkan diri untuk menoleh kearahnya. Sekedar untuk membalas sapaannya dengan senyuman khas ala Devi.
Kampusku pagi ini terlihat lebih ramai. Dan tidak biasanya pemilik suara yang kukenal sudah bertengger manis di depan laboratorium bahasa lantai 4 di jam-jam sepagi ini.
Saat kumenoleh, terlihat 3 orang gadis berpakaian serba modis. Mereka teman-teman sekelasku. Si pemilik suara bernama Fiar, si hitam manis yang selalu ramah terhadap siapapun, tak terkecuali padaku. Disebelahnya berdiri, Reny, gadis yang kecantikannya diakui di seantero kampus namun terkenal dengan mulut pedasnya. Dan yang satu lagi Gemma, satu-satunya gadis di kelasku yang sangat aku sukai namanya, tapi sayang dia salah satu orang yang selalu menatapku dengan pandangan sinis, entah apa alasannya.
“Yo, jelas! Lihat di keningnya kan ada susuk! Jadi dia bisa menggaet puluhan pria sekaligus dengan satu senyumannya. Pasti hidup kamu bahagia sekali ya! Dikelilingi banyak pria! Oh iya, sekarang pacar kamu ada berapa?”
Kata-kata yang dilontarkan Reny seketika merubah mood ku yang semula baik-baik saja. Apalagi ditambah tatapan sinis Gemma yang seolah-olah meng’iya’kan komentar sahabatnya.
Dasar cewek sialan! Kalau aku dilahirkan sebagai ‘Dukun Sunat’. Udah ku sunat tuch lidah yang keliwat kotor! Sayangnya, aku dilahirkan dengan sopan santun yang memadai. Jadi apapun alasannya, aku hanya mampu ‘Tersenyum Manis’ pada cewek yang juga bermulut sangat sangat sangat manis itu.
Ditambah sedikit jawaban yang diucapkan dengan manis juga tentunya.
“Uhm… Aduh, nggak keitung tuch berapa banyak pacarku sekarang! Tapi tenang aja! Aku nggak pernah lupa kok sama kamu! Aku nggak akan tega membiarkanmu ‘Jomblo’ seumur hidup. Jadi kalo aku bosen sama salah satu dari mereka, aku pasti rekomendasiin kamu buat jadi pemilik baru mereka. Fiar, Gemma, kalian juga mau kan? Pokoknya semua kebagian dech! So, jangan sedih ya!”
Setelah insiden ringan tak berarti itu, aku segera melanjutkan langkahku menuju kelas yang pada hari ini akan kupergunakan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu.
“Devi…”
Belum sampai aku ke tempat tujuan, teriakan berat seseorang membuatku berhenti melangkah karena sedikit terkejut. Dia Nuri sahabatku, aku kenal betul tingkahnya yang seringkali memanggil namaku dengan suara yang sengaja diubah supaya mirip dengan suara laki-laki. Dan pastinya dia tak pernah berhasil, karena sejak awal dia berjenis kelamin wanita. Dia mungkin akan berhasil mengelabuiku jika ia juga berinisiatif untuk mengubah jenis kelaminnya.
“Oy, cerah banget hari ini! Lagi seneng ya!” lanjutnya setelah berhasil menyamai langkahku.
“Jangan ngomong yang macem-macem dech! Nanti aku sunat tuch lidah!”
“Apaan sich?! Kok jawabnya kayak gitu! Aku kira Devi yang aku kenal benar-benar manis. Nggak taunya…”
“Eh, nggak! Bukan gitu maksudku. Tadi aku mau ngomong kayak gitu ke mereka, tapi secara aku manis nggak mungkin dong aku ngomong sembarangan ke orang sembarangan. Begitcu…” ralatku sambil mencubit sebelah pipinya, setelah itu aku segera nyelonong masuk ke dalam kelas yang sejak tadi sangat aku nantikan (AC-nya).
“Tadi aku ketemu Geral tuch! Dia kayaknya kebingungan nyariin kamu. Emangnya kamu belum nemuain dia buat ceritain yang sebenarnya tentang…”
“Hush!” aku segera membekap mulut Nuri dengan telapak tanganku. Sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimat yang sangat terlarang untuk dikatakan di tempat umum seperti ini. “Aku kan udah bilang, ini rahasia. Kamu kan tau seperti apa imageku di mata anak-anak cewek di kelas ini! Biarkan mereka semua hanya tahu gosip, tapi jangan sampai mereka tahu berita aktual apapun tentangku. Bahaya, bisa-bisa aku hilang kendali dan menyunat lidah mereka satu per satu”
“Okey, lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
“Masih aku pikirkan. Aku harus membuat ending yang benar-benar manis untuk hubunganku dan Geral”
“Gila! Kamu pikir semua cowok itu nggak punya perasaan! Hampir satu bulan kamu menghindarinya dan sekarang kamu benar-benar ingin meninggalkannya?!”
“Hush! Jangan keras-keras!”
“Biarin! Biar orang semua tahu kejamnya seorang Devina Ekaputri!” teriaknya marah.
“Nuri, dengar dulu!”
“Apalagi yang harus aku dengar. Seorang Devi yang terkenal sebagai pemikat cowok, sekarang melanjutkan aksinya dengan menjelma sebagai cewek buaya darat”
“Nuri, dengar dulu! Aku nggak pernah bermaksud seperti itu! Aku memang salah telah membohongi Geral. Tapi itu semua kulakukan semata-mata karena aku tidak ingin terus seperti ini. Aku ingin ada seorang pria yang benar-benar mencintaiku dan membuatku berubah menjadi gadis biasa yang tidak lagi disebut sebagai gadis murahan, gadis pemikat, pemakai susuk dan sebagainya. Karena itu aku menerima Geral saat untuk ke 3 kalinya ia mengungkapkan kata yang sama. Aku pikir dia serius menyayangiku. Tapi ternyata nggak. Geral sama seperti pria-pria yang selama ini menggodaku. Dia hanya memandangku dari fisik bukan hati. Dan aku tidak pernah merasa nyaman bersamanya. Aku hanya berusaha bersikap romantis, tapi sebenarnya semua itu hanya kebohongan. Kebohongan yang aku tata dengan rapi sehingga terlihat begitu manis. Hingga waktunya tiba untuk mengungkapkan semua kebohongan itu”
“Karena alasan itu kamu menduakannya?!”
Aku menundukkan kepalaku, sedikit terpukul dengan kata-kata yang diucapkannya. Aku tidak pernah sekalipun berniat untuk menduakannya. Tapi keadaan memaksaku melakukan kejahatan ini.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini! Karena kamu sahabatku, aku ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini. Perasaan yang dirasakan hati kecilku selama aku menjadi seorang Devi yang selalu memikat semua pria dengan senyuman nakalnya”
Saat pembicaraan dengan Nuri pagi tadi, tanpa sadar aku telah menetapkan ending yang harus aku jalani. Yah, Anyer adalah setting tempat yang aku pilih untuk satu babak terakhir dari sandiwara ini. Bukankah tempat itu indah. Maka endingnya pun akan terlihat sangat indah.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini!”
Pesan singkat lewat sms aku kirimkan ke nomor milik Geral. Satu kalimat itu sudah cukup menegaskan suatu perintah, bukan sekedar permohonan. Dan aku yakin dia pasti datang juga Nuri tidak akan menolak perintah itu.
Hari itu masih cukup siang. Tapi aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke panggung sandiwaraku.
Yup! Aku kan tokoh paling penting. Aku juga bertindak sebagai sutradara. Jadi aku harus datang paling awal untuk mempelajari kondisi panggung sekaligus beradaptasi agar adegan yang akan aku lakonkan nanti. Supaya benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Ah, mungkin penjelasan ini agak sulit dimengerti. Intinya, aku ingin datang lebih dahulu ke tempat indah itu untuk memikirkan masak-masak apa yang akan aku katakan pada mereka. Sekaligus aku ingin menikmati pemandangan pantai dan merasakan sejuknya udara Anyer agar kepenatan ini sedikit berkurang.
Okey! Semangat Devi!
Matahari hampir tenggelam saat aku sampai ke tepi pantai Anyer. Satu-satunya yang aku cari setiap kali aku datang ke tempat ini, ya hanya cahaya yang satu itu.
Cahaya redup berwarna oranye berpadu dengan biru pekat air laut, dengan latar belakang langit kelabu yang berhiaskan beberapa bintang senja. Indah. Ciptaan Tuhan yang luar biasa hebatnya. Rasanya tak ingin waktu cepat berlalu. Ingin mengabadikan keindahan itu.
Tapi dalam hitungan menit yang singkat, langit kelabu pun berubah gelap. Rembulan perlahan meninggi dan bintang-bintang terus bertambah. Menjadi kilauan cahaya yang memantul di lautan. Hembusan angin terasa semakin kuat, mendorong ombak semakin mendekati telapak kakiku yang telanjang.
Menguatkan rasa dalam diriku. Dingin. Sepi. Dan semakin ingin lari. Lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan mengakhiri sandiwara ini.
Aku menutup kedua belah mataku. Menghirup segarnya udara pantai. Mencoba kembali menenangkan pikiran yang mulai mengeluh tak mampu. Kutatap satu per satu bintang di langit malam. Kunikmati deburan ombak yang berpadu dengan hembusan angin yang terdengar mendayukan irama alam nan lembut.
“Kalau seperti ini rasanya aku ingin meninggalkan Jakarta dan mencari rumah tinggal untuk menetap di Anyer” gumamku pelan.
“Aku juga mau!”
“Nuri…”
“Kenapa harus di tepi Anyer?”
“Karena… aku pertama kali bertemu dengannya disini. Saat LDO Fakultas. Tapi aku nggak pernah tahu namanya. Yang aku tahu dia orang Kepresidenan Mahasiswa di kampus kita. Wajahnya tampan namun terlihat begitu lembut dan senyumannya sangat tulus”
(LDO=Latihan Dasar Organisasi)
“Yah, kamu pernah menyebutnya dalam daftar pria yang menurutmu tampan dan perlu di dekati. Kamu bahkan bertanya namanya padaku. Lalu apa bedanya?! Dia sama seperti Geral. Kamu sama menyukainya seperti rasa sukamu pada Geral. Kamu hanya menyukai ketampanannya!”
“Tidak! Kamu salah! Awalnya aku memang memperlakukannya sama seperti pria-pria tampan yang lain. Aku hanya memuja keindahan wajahnya. Tapi waktu itu aku mulai memperhatikannya ketika aku menyaksikan satu hal yang menurutku sangat ganjil dilakukan pria setampan dia. Aku melihatnya membersihkan lantai di salah satu ruangan kampus”
“Dia membersihkan ruang Kepresidenan, aku pernah melihatnya sekali”
“Yah, mulai saat itu entah kenapa aku terus memperhatikannya. Mataku nggak pernah sekalipun lepas untuk mencari sosoknya. Anehnya apa yang biasa kulakukan terhadap pria-pria tampan yang aku sukai, nggak bisa aku lakukan padanya. Aku nggak punya keberanian secuil pun untuk sekedar berkata ‘hai’ padanya. Aku sendiri nggak tahu! Aku nggak tahu kenapa? Hanya dia pria yang berhasil melumpuhkanku. Dia membuatku nggak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kamu melihat itu, Nuri. Karena kamu seringkali bersamaku. Seharusnya kamu mengerti apa yang aku rasakan. Aku…aku mencintainya…”
“Devi… Kamu bilang apa?!”
“Aku mencintainya, Nuri! Perasaan yang ada hanya karena dan untuknya! Bukan seperti yang kamu lihat selama ini menghiasi hidupku. Bukan kebohongan. Bukan kemunafikan. Hanya aku miliki disini!”
Sambil menunjukkan jari ke dadaku, aku melangkah pelan mendekati Nuri.
Kulihat Nuri tersenyum manis, seolah memberikan komentar yang menggembirakan. Airmatanya jatuh perlahan dan ia menghapusnya dengan telapak tangannya masih dengan disertai senyuman.
“Haha, aku bego banget ya! Ternyata aku selama ini belum bertindak sebagai sahabatmu. Bahkan aku tidak tahu bahwa selama ini si gadis pemikat memendam perasaannya pada seorang pria!” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku balas tertawa.
“Yah, pada seorang Rivan!”
“Rivan???” Geral yang saat itu sudah berdiri diantara kami terkejut mendengar nama yang keluar dari bibirku yang telah mengucap yakin.
Kedatangan Nuri yang lebih dulu dari Geral membuatku lebih berani. Yah, cukup berani untuk menyakiti seorang Geral.
“Yah, lengkapnya Rayn Rivanno, kelas sore, tingkat 4”
“Jadi selama ini?!”
Aku mendekati Geral. Sangat dekat. Serasa jiwa nakalku kembali saat melihat wajah tampannya yang cemas.
“Kamu tampan Geral. Manis. Indah. Aku suka sama semua yang terlihat ‘Beauty’ di mataku. Termasuk kamu. Makanya ketika aku merasa mustahil untuk memiliki Rivan dan mulai putus asa, akhirnya aku menerimamu. Cowok tampan yang menurutku ‘boleh juga’ sekedar untuk mengisi kekosongan. Saat aku mulai terbiasa dengan sandiwaraku bersamamu. Tiba-tiba Rivan datang padaku. Dan dengan caranya ia mengisi hari-hariku yang penuh kepalsuan. 3 bulan aku menduakanmu, dan sekarang waktunya aku bicara jujur. Aku hanya menginginkannya. Tidak yang lain! Jadi…”
Geral menatapku tajam. Wajahnya terlihat sangat kesal. Pastinya dia sudah tahu kelanjutan kata-kataku. Tapi kenapa dia masih diam saja?! Apa masih perlu aku melanjutkan kata-kataku?! Huh…
“Jadi, aku ingin mengakhiri sandiwara ini! Sekarang juga!”
“Gimana?! Sandiwaraku hebat kan?!” tanyaku sambil merangkul hangat tubuh jangkung Nuri.
Kaki kami melangkah menyusuri tepi Anyer, setelah meninggalkan Geral dan kekesalannya di ujung pantai sana.
“Jadi penjelasan yang kamu berikan pada Geral cuma sandiwara?!”
“Huh, si eNeng lemot! Coba inget-inget, tadi siang aku bicara apa!”
“Apa yah?! Ehm??? Ah, lupakan! Biarlah dia tertelan ombak dan menghilang bersama buih samudera” jawab Nuri tak mau pusing.
“Hei, dia bukan putri duyung!”
“Tapi bukankah dia patah hati seperti kisah putri duyung?!”
“Uhmmm… Hahaha…” tawaku meledak seolah tanpa dosa.
“Eittt…aku lupa belum menanyakan satu hal, hal yang penting banget”
“Apa?”
“Bukankah pacarnya Rivan cewek judes yang namanya Asta?!”
“Dulu. Sekarang Rivan pacarku! Cewek Rivan sekarang ya si manis Devi!”
“Syukurlah! Aku kira sahabatku alih profesi sebagai gadis perusak hubungan sepasang kekasih!”
“Sialan kamu! Aku ini perempuan baik-baik tauuu…”
“Huuu… Dasar… Eh, ngomong-ngomong siapa yang nembak duluan? Rivan atau kamu?”
“Udah aku bilang, aku mati kutu didepan dia. Emang dia yang tiba-tiba deketin aku. Aku sendiri malah bingung kenapa kisahku berbalik seperti ini. Aku pikir selamanya aku tidak akan mengenal Rivan lebih dari tatapan jarak jauh. Tapi ternyata sekarang…”
Aku menatap langit. Bintang-bintang terasa semakin indah untuk dinikmati sinarnya. Seindah perasaanku hari ini.
“Nur, ternyata selain cakep, keren, dia juga baik banget, baik banget… Oh, bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit. Thanks to You God…”
“Heh, udah deh… Lama-lama jijik tau nggak liat muka kamu yang kayak gitu!”
Aku tidak memperdulikan protesan Nuri. Aku masih tersenyum bahagia sambil terus menatap keindahan langit dengan lekat.
“Cukup Devi! Aku tinggal nih! Kamu bilang Rivan nunggu kamu di seberang jalan sana! Jalannya cepetan donk! Atau kamu mau membagi Rivan untukku?!”
“Enak aja! Rivan hanya milikku!”
Sekarang dan kuharap juga untuk selamanya.
The End
Cerpen By, Ressa Novita (Ocha)