Kamis, November 20, 2008

Surat Cinta Alice

By, Ressa Novita (Ocha)
Goreskan pena mu di atas selembar kertas biru… Layangkan untukku bersama namamu… Maka aku akan merasakan… Keindahan cinta yang kini melekat di hidupmu…

“Pos!!!”
“Terima kasih, pak!”
Minggu pagiku yang cerah diawali dengan datangnya surat cinta dari sahabatku, Alice, yang saat ini berada jauh di Biak.
Sambil berjalan masuk ke teras rumah, aku merobek amplop putih itu dan mengeluarkan selembar kertas putih dari dalamnya. Dengan hati-hati kubuka lipatan kertas tipis itu dan membaca tulisan berpena biru itu dengan seksama.

Dear Ariessa,
Akhirnya hari ini datang juga. Ini adalah surat cinta yang pernah kita sepakati 5 tahun yang lalu…

Yup! Ini bukan sembarang surat cinta. Kesepakatan yang pernah aku buat bersama sahabatku 5 tahun yang lalu, surat cinta adalah surat yang akan mengabarkan satu sama lain tentang cinta yang kami rasakan dan kami yakinkan untuk selamanya.Keyakinan besar akan cinta yang sulit untuk didapatkan. Tapi hari ini untuk pertama kalinya surat itu datang diantara kami.

…tapi sebelum itu bagaimana kabarmu, Ka Ardon dan teman-teman yang lain, Floren, Febrian, Aldi, Anne, Erick, my sweet brother Ka Ajie, Ka Hedy, Ka Iyos, Ka Beni, Ka Reki, dan Ka Odie? Kalian pasti baik-baik saja kan? Aku sangat merindukan kalian semua. Oh iya, bagaimana keadaan my prince Gama…

Aku melipat kembali surat yang belum selesai kubaca itu setelah membaca nama Gama menghiasi kalimat di kertas itu. Nama itu mengingatkanku pada masa-masa sekolahku bersama sahabatku.
Alicia Martina Leva, yang biasa kupanggil Alice adalah seorang gadis yang terlihat begitu dewasa, anggun, penuh percaya diri dan selalu menginginkan kesempurnaan. Ia baru merasakan kenyamanan di sekolahnya sendiri, ketika ia bertemu denganku dan orang-orang yang namanya disebutkan di surat itu. Tapi paling membuatnya mengagumi bahkan memuja SMU Gaeshiera adalah seseorang yang bernama Gama Abife Farghesa.
Di tahun keduanya di sekolah swasta itu, Alice yang saat itu menjabat sebagai ketua klub Tari bertemu dengan Gama salah seorang anggota klub basket.
Biasanya Alice senang menghabiskan waktunya di sekret klub tari bersamaku, Anne dan Floren yang sama-sama bergelut di klub yang sama. Tapi, siang itu Anne dan Floren tidak menampakkan batang hidung mereka dan karena bosan aku mengajaknya ke sekret klub Basket yang letaknya tepat disebelah sekret klub tari. Aku punya banyak teman di klub ini, selain itu kakakku adalah kapten klub Basket ini, namanya Ka Ardon. Di sanalah untuk pertama kalinya Alice bertemu dengan Gama.

Alice, kita duduk disini aja!” pintaku sambil menarik Alice dengan sedikit memaksa untuk bergabung bersama beberapa anggota klub Basket. ”Ehm… Boleh ga kami numpang duduk disini?” tanyaku basa-basi pada Erick yang saat itu sedang santai-santai sambil mendengar musik.
“Tentu saja! Masa sih adik kesayangan pak kapten tidak boleh main disini! Duduk disebelahku, Rica sayang!” jawabnya ramah sambil membetulkan kursi disebelahnya.
“Ariessa Rislany! Bukan Rica! Emangnya makanan!” protesku sambil menggeser kursi yang tersedia untuk…
“Riessa!!! Jauh-jauh dari Erick!!! Pria itu beracun!!!” teriak Ka Ardon yang suaranya menggema dari ruangan bagian dalam. (Warning : Riessa panggilan sayang My Sweet Brother, Ka Ardon). Tentunya aku menggeser kursi untuk mencegah teriakan tadi, tapi…ya sudahlah…
Berusaha untuk tidak menghiraukan teriakan kakakku, seketika aku pun asik berbincang dengan pria tampan yang selalu berjaket biru itu. Dan Alice.
Lho?! Kenapa suara Alice tiba-tiba menghilang dari peredaran telingaku?! Menyadari hal itu aku memutar badanku kesegala arah untuk menemukan di mana Alice duduk. Dan aku segera menemukannya asik berbincang dengan seorang anggota klub basket bernama Gama.
Selama ini aku selalu tak sungkan bergabung dengan teman-teman kakak di klub Basket, karena aku akrab dengan mereka semua. Tapi Gama, aku tidak terlalu mengenalnya, bahkan aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Gama terlihat dingin, pendiam dan tidak mudah akrab dengan orang lain. Aku jadi malas mendekatinya. Karena itu aku sedikit terkagum-kagum melihat kedua orang itu tiba-tiba ngobrol asik tanpa memperdulikan apapun disekitar mereka.

Hari-hari berikutnya sejak kejadian itu aku masih melihat kewajaran dalam diri Alice. Si Miss Pe-De ini terus menggoda Gama dengan daya tariknya. Alice yang biasanya, memang seperti itu bila sudah menangkap kelebihan tampang seorang pria. Dan aku akui komentar Alice benar, Gama punya wajah yang sangat manis apalagi dipadukan dengan kulit gelap dan matanya yang indah.
Tapi keadaan itu tak bertahan lama. Kira-kira satu bulan kemudian, aku mulai melihat gelagat aneh Alice didepan pria itu. Ia menunduk malu dan tak jarang salah tingkah setiap kali bertemu dengan Gama. Bahkan setiap Alice melihatnya dari kejauhan, ia selalu histeris malu-malu.

“Gama?! Oh, my God! Oh, my God! He’s so sweet!”

Komentar manis yang disertai dengan wajah memerah tentunya.
Perlahan tapi pasti, Alice mengakui bahwa ia menyukai Gama, bahkan perasaannya mungkin lebih dari sekedar suka.

“Ariessa!!!”
Alice berlari cepat kearahku yang sedang asik melamun sendirian di sekret klub Tari.
“Kenapa sih?” tanyaku bingung.
“Gama! Gama!” Alice mendesahkan nama pria itu pelan sambil mengatur nafasnya. “Manis! Manis banget! Dipadukan dengan topi dan jaket hitamnya. Hari ini dia manis banget!”
“Yee… Kirain kenapa” jawabku kecewa.
“Ar, kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia!”
“Udah tau tuh!” kataku santai tak menghiraukan.
“Lho?! Kok reaksi kamu gitu sih?!”
“Ga usah kamu kasih tau, aku juga udah tau, Ne!”
“Aku kan baru kasih tau kamu hari ini, kenapa kamu bisa tau duluan?”
“Seorang Alice yang penuh percaya diri, riang, yang selalu mudah beradaptasi dengan siapapun, yang pintar, dewasa, bijaksana dan penuh wibawa. Dalam hitungan detik berubah menjadi Alice yang tidak aku kenal, yang pemalu, mudah gugup, selalu kehilangan kata-kata dan bertindak ceroboh setiap kali bertemu dengan manusia bernama Gama. Bukankah itu berarti ada sesuatu yang terjadi didalam dirimu?! Kalau bukan cinta, apalagi?!”
“Ariessa, terus aku harus gimana?” rengeknya cemas.
“Ya, ga harus gimana gimana! Tapi cuma satu hal yang bikin aku bingung. Apa kamu sudah tidak mencintai Arga lagi?!”
Alice terdiam, seolah tak ada kata yang dapat menjawab pertanyaan itu.

Arga, teman cowok Alice sejak Alice masih duduk di bangku SMP. Sebelum dilanda virus Gama, aku masih mendengar Alice bercerita tentang pria yang belum lama ini kembali dekat dengannya dan Alice pun mengaku sangat mencintainya. Namun semakin sering mereka bersama, semakin tidak jelas hubungan mereka. Alice yakin Arga juga mencintainya dari perhatian dan pengorbanan yang diberikannya selama ini, tapi Alice tidak pernah berhasil membuat Arga mengungkapkan perasaannya. Sampai akhirnya Alice mengeluh bosan.
Dan sejak kemunculan Gama, aku merasa perlahan sosok Arga mulai menghilang dari ingatan Alice, terlihat dari frekuensi Alice menyebutkan nama Arga yang kalah rekornya dengan nama pria pendatang baru itu (Gama pendatang baru didunia Alice, maksudku) . Bahkan tanpa ragu Alice meninggalkannya cinta yang tak pasti itu. Dengan kata lain, kali ini Alice benar-benar serius dengan perasaannya.

“Ka, Gama itu orangnya seperti apa sih? Baik ga? Dia udah punya pacar belum?”
“Riessa!!!” melongo aneh.
Reaksi kakakku sedikit membuatku tersentak kaget. Sedikit.
“Enggak! Kakak ga ijinin kamu jadian sama anak itu. Ga cocok tau! Kakak malah lebih setuju kalo kamu jadian sama Samuel, dia tuh baik, romantis, perhatian dan penyabar, cocok banget deh sama kamu”
Samuel?! Siapa?! Ga kenal!
Ah, sudahlah! Ga penting!
“Kakak, bukan aku tapi Alice”
Ka Ardon terdiam mendengar kata-kataku.
Aku mengerti dan memaklumi reaksinya kali ini, karena kakakku sempat mengagumi seorang Alice, tapi dia sudah punya Rini, apapun yang terjadi Ka Ardon tidak boleh melukai gadis pilihannya itu.
“Ka…” panggilku untuk menghentikan keheningan yang dibuatnya.
“Gama itu pria yang baik tapi dia sangat tertutup pada orang lain. Dia sudah punya pacar atau belum? kakak ga tau, karena seperti yang kakak bilang, dia sangat tertutup. Kayaknya sih belum. Tapi satu hal yang menarik dari Gama, sampai-sampai kakak ga bisa tidur dibuatnya, dia itu terlalu manis. Gama…Oooh…Gama…”
“Kakak… masih normal kan???”

Rasa suka Alice terhadap Gama membawa kebaikan lain, ia pun bertambah akrab dengan sebagian anggota klub basket. Mereka adalah nama-nama yang disebutkan Alice dalam suratnya. Bahkan Ka Ajie salah seorang alumni klub basket yang semula tidak dikenalnya sekarang sudah seperti kakaknya sendiri. Ini terjadi karena keinginan Alice sendiri yang awalnya berharap akan dapat mengorek keterangan tentang Gama dari mereka. Beberapa dari mereka setelah tahu hal itu tidak berdiam diri, mereka melakukan berbagai macam cara untuk memperdekat Alice dan Gama.
Salah satunya yaitu ketika suatu hari dari kejauhan aku menyaksikan Alice duduk berdua dengan Gama. Saat itu aku tersenyum bangga, aku pikir Alice ada sedikit kemajuan. Tapi tiba-tiba dari belakangku muncul Ka Ajie dengan senyum nakalnya yang ditujukan ke arah mereka. Entah apa yang telah dilakukan Ka Ajie, tapi aku sangat berterimakasih atas usahanya sehingga seorang Gama yang sangat disukai Alice saat itu juga duduk dan tersenyum manis didekatnya.
Semakin hari baik sengaja maupun tidak disengaja, keajaiban selalu datang mempertemukan Gama dan Alice. Alhasil, hubungan mereka berdua semakin dekat. Tapi satu hal yang tidak pernah sekalipun berhasil diatasinya adalah bersikap tenang didepan Gama.
Dengan dukunganku dan yang lain, Alice menumbuhkan tekad suatu saat akan menyatakan perasaannya pada Gama. Selain itu Alice selalu mewujudkan perasaan sayang dan perhatiannya kepada Gama tanpa henti. Sekaleng Pocari yang selalu diberikannya sehabis latihan rutin adalah salah satunya. Itulah yang membuat kami bangga. Alice selalu berusaha dan tidak pernah menyerah. Aku semakin semangat membantu Alice.

“Satu tiket aku hadiahkan untukmu. Filmnya bagus lho!”
“Malas ah, nonton sendirian”
“Ya, enggaklah. Aku, Floren, Febrian dan Ka Ardon juga ikut. Kita ketemuan jam 7 di depan Mc D. Oke!”

Tiket itu hanya alasan agar Alice dapat kencan berdua dengan Gama. Dengan bantuan Ka Ardon, satu tiket lagi sudah berada ditangan Gama. Dan aku yakin Alice tidak akan mengecewakan pengorbanan kami. Dia pasti menyatakan perasaannya malam itu.
Tapi kenyataan berkata lain. Hari itu juga Alice kehilangan semangat dan tekadnya. Alice merasa tidak lagi memiliki harapan untuk meraih cintanya itu.

“Apa?! Jadi semalam kamu ga ngomong apa-apa ke dia?” marah Ka Ardon.
Alice hanya menggeleng pelan dengan penuh penyesalan.
“Biar aku pergi tanpa pernah dia tahu perasaanku” ucapnya sendu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?!” tanya Ka Ardon kesal.
“Pergi?! Pergi kemana maksudmu?!” tanyaku melanjutkan pertanyaan Ka Ardon.
“Aku harus meninggalkan kota ini, selamanya”
Pernyataan Alice saat itu juga membuatku dan Ka Ardon tak sanggup berkata-kata.

Karena beberapa hal, orangtua Alice memutuskan untuk kembali ke kota asal mereka di Manado dan meninggalkan kota yang telah menghidupi mereka selama 6 tahun ini. Alice tidak dapat menolak keputusan itu, karena bagaimana mungkin Alice dapat tinggal di kota ini tanpa kedua orangtuanya.

“Tapi kamu harus menyatakan perasaanmu!”
“Buat apa?! Toh aku akan pergi!”

Rencana keberangkatan Alice membuat semuanya berakhir. Hari-harinya menjelang keberangkatannya pun diwarnai dengan kesedihan. Dan Alice memutuskan untuk mundur sebelum sempat maju ke garis start. Teman-teman pun tidak dapat berbuat apa-apa setelah mendengar rencana kepergiannya itu. Tapi tidak bagiku.

Aku akan membuktikan bahwa masih ada harapan.
“Dibalik kisah ini tersimpan sebuah harapan dari sebait doa tulusku. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi sekalipun itu hanya sebuah kisah dongeng. Nah, gimana kalau novel itu kamu baca dulu sebelum kamu berangkat!”
Sedikit malas ia membuka lembaran pertama. Tentu saja, karena membaca bukanlah salah satu dari hobinya. Tapi yang satu ini dia pasti suka.
Aku terus memperhatikannya membaca dengan serius, sesekali ia tersenyum, sesekali ia menatapku kesal. Tak sabar ingin mengetahui akhir kisah itu, ia tiba-tiba menutup buku itu dan membukanya kembali dari belakang. Di tariknya nafas dalam-dalam dan dibacanya halaman terakhir dengan penuh harap.

Di depan gerbang sekolah.
Setelah Alice menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam kepada pria manis bernama Gama. Alice akhirnya melangkahkan kakinya pelan kearah Taksi Bandara yang menjemputnya tanpa berani mengharapkan jawaban dari Gama. Tiba-tiba langkah Alice bertambah berat. Ia tahu alasannya, hatinya butuh jawaban namun ia tak berani kembali untuk bertanya, ia pun tak sanggup berhenti sesaat untuk menunggu.
“Gama, seandainya kamu berkata ‘iya’ tanpa ku bertanya. Aku akan melangkah kembali dan membatalkan keberangkatanku saat ini juga sekalipun tanpa seizin Mama” tekad Alice dalam batinnya.
Tapi sekali lagi dan mungkin untuk yang terakhir kalinya Alice mengubah tekad dalam batinnya.
“Ah, sudahlah! Mungkin ini jalan yang memang harus aku pilih, yaitu meninggalkanmu”
Alice menatap pintu taksi yang terbuka lebar tepat didepannya. Ditariknya nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam taksi. “Selamat tinggal, Jakarta!”
“Alice!!! Kembali!!!”
Perintah tegas yang tiba-tiba keluar dari mulut Gama seketika membuat Alice menghentikan gerak tubuhnya. Namun Alice tidak membalikkan tubuhnya, ia hanya terdiam kaget, tak percaya dengan suara yang baru saja didengarnya. Gama memintanya kembali.
“Alice… Aku akan mengatakan ‘aku mencintaimu’ jika itu dapat membuatmu tidak meninggalkan Jakarta selangkahpun! Kamu harus tetap disini! Alice… Jangan pergi! Aku tidak ingin kehilangan kamu!”
Tanpa disadari, airmata Alice telah mengalir melewati bibirnya.
“ALICE…. AKU JUGA MENCINTAIMU…. AKU SANGAT MENCINTAIMU….”
Tiba-tiba pelukan hangat mendarat ditubuh Alice. Alice menemukan wajah cantik mamanya yang memeluknya dengan mata berlinang.
“Nak, jangan pernah melakukan sesuatu dengan keraguan! Tentukan pilihanmu sekarang! Tinggallah disini, jika menurutmu itu yang terbaik!”
Alice tersenyum bahagia menatap sang mama yang akhirnya mengizinkannya tinggal di Jakarta lebih lama lagi.
“Pergilah, Nak!!! Temui pangeranmu!”
Segera, Alice membalikkan badannya, menatap lekat kearah Gama yang berdiri membelakangi teman-temannya yang lain. Dilihatnya kedua tangan Gama bergerak terbuka lebar, seolah mengundang Alice untuk segera mengisi pelukannya. Dan Alice mengerti isyarat itu. Gama bersedia membalas cintanya.
Berlari, Alice menghampiri pria yang tersenyum manis itu dan meraih uluran tangannya. Memeluknya dengan penuh kehangatan.

Ia menutup buku itu setelah selesai membaca akhirnya. Tanpa ia sadari airmata telah memenuhi wajahnya yang putih bersih. Ia menatapku dengan senyum haru dan menarikku kepelukannya, sesaat namun erat.
“Seandainya saja kisah itu dapat terwujud”
“Karena itu, jangan katakan tidak. Kamu harus menyatakan perasaanmu padanya! Karena tidak ada yang tidak mungkin” aku mendorong Alice masuk ke ruang klub Basket. “Katakan sekarang juga! Aku tahu kamu bukan gadis lemah yang gampang menyerah pada keadaan, Alice”
“Tapi, Ar, aku takut, bagaimana kalau dia…”
“Alice. Now or never!”
Alice dengan wajahnya yang pucat memasuki ruangan. Sesaat kemudian semua penghuni ruangan kecuali Gama meninggalkan ruangan itu, sebagian dari mereka yang tah permasalahannya menemaniku diluar. Aku berdiri cemas didepan pintu ruangan itu, sesekali kupekakan telinga agar terdengar pembicaraan mereka.
“Hei, kenapa kalian berdiri di depan pintu? Ayo kita ma…”
Aku menarik tubuh Ka Ardon menjauhi pintu masuk ruangan itu.
“Ka, Gama dan Alice didalam” bisikku.
“Berarti, novel yang kamu buat berhasil meyakinkan Alice untuk mengungkapkan perasaannya?”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Kamu memang adikku yang paling hebat!” pujinya sambil mengelus rambut panjangku.
Pujian Ka Ardon mengakhiri kebisingan tempat itu, sesayup kalimat terdengar dari dalam ruangan. Kalimat yang membuat kami semua tercengang kaget.
“Aku sangat senang mendapatkan perhatianmu selama ini, tapi saat ini bukan kamu gadis yang aku sukai. Aku tidak bisa membalas rasa sukamu”
Jawaban Gama atas pernyataan Alice.
Sesaat kemudian Alice berlari keluar dari ruangan klub sambil menangis.
Sebuah kisah yang telah menumbuhkan kembali semangat Alice, ternyata hanya sebatas goresan pena. Kenyataannya tidaklah seindah itu. Keadaan saat itu malah semakin memburuk dan semuanya karena aku, karena semangat salah yang telah aku berikan. Keputusan semula Alice benar, sebaiknya tak usah dikatakan, dan aku telah menghancurkan segalanya. Bahkan sampai saat ini aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Sudahlah, Ariessa, jangan menangis!”
“Tapi ini semua gara-gara aku!”
“Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Kamu benar karena telah membuatku kuat. Apapun yang terjadi, aku tidak peduli, yang penting kini aku merasa lega, aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, dan aku berhasil melakukannya karena kamu”
“Tapi kan…”
“Sudahlah, jangan buat aku semakin sedih”

Alice pun meninggalkan Jakarta dengan membawa luka hatinya. Tak seorang pun dari kami diijinkannya untuk mengantar sampai bandara, dia tidak ingin kami melihatnya menangis.
Tapi kami yakin suatu hari nanti Alice mampu melupakan Gama dan menyimpannya hanya sebagai kenangan. Sekaranglah bukti nyata Alice telah mendapatkan seseorang pengganti Gama dihatinya.
Tersenyum sejenak, aku kembali membuka lipatan surat itu dan melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Dan aku dikejutkan dengan kata-kata lanjutannya.

Tentu saja kamu tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Karena dia ada disini bersamaku.

“Apa?! Tidak mungkin!!!”
Akhir-akhir ini aku memang tidak lagi mendengar kabar Gama. Yang terakhir kudengar dari Ka Ardon, sekarang ia sudah menyelesaikan kuliah S1 nya dan bekerja berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Tapi, apa ini jawaban atas ketulusan cinta Alice untuknya selama ini?

Setibanya aku di Biak, aku bekerja di toko roti milik mamaku. Dalam waktu singkat toko roti itu mempunyai banyak pelanggan dan kelezatannya terkenal diseluruh pelosok kota ini. Toko roti ini pula yang 4 tahun kemudian mempertemukan aku dengan Gama. Gama dipindah tugaskan ke Biak, suatu hari dia melihatku didepan toko dan tanpa ragu menemuiku. Alhasil, perasaan ini dimulai kembali. Tapi kali ini bukan hanya perasaan sepihak, karena kami sudah bertunangan.
Semua ini juga karena kamu, Ariessa. Harapan yang kamu goreskan dalam kisah itu, memberikanku kekuatan untuk tidak berputus asa. Karena tidak ada yang tidak mungkin.
Nah, bagaimana dengan kamu? Kapan aku akan membaca surat cintamu? Aku sangat menantikannya.

Surat cintaku?! Aku sendiri tidak tahu kapan akan kukirimkan. Karena aku belum merasakan cinta seindah yang kau rasakan saat ini, Alice.
“Hiks hiks hiks… Gama dan Alice sudah bertunangan. Lalu bagaimana denganku. Huaaaaa…Alice…”
Lho?! Ternyata kakakku ikut membaca dibelakangku dan dia berteriak histeris setelah mengetahui kabar bahagia itu.
Setelah pisah dari Rini dua tahun yang lalu sepertinya Ka Ardon berharap suatu saat akan mendapatkan cinta Alice, tapi sayang sudah terlambat.
“Riessa… tinggal kamu seorang yang bisa mendampingi kakakmu yang malang ini! Jangan tinggalkan kakak ya, sayang!” pintanya sambil memelukku erat-erat.
“Pos!!!”
Kami terhentak kaget mendengar suara pak pos yang kali ini melengking aneh.
Aku segera menghampiri si tukang pos yang datang untuk kedua kalinya itu.
“Lho, pak?! Kok datang lagi?! Ada yang tertinggal?”
“Ada satu surat lagi untuk Nona Ariessa! Ditambah dengan setangkai mawar merah ini” jawab pria itu sambil menyerahkan surat beramplop merah muda serta setangkai mawar merah.
“Dari siapa, pak? Kok ga ada perangkonya?”
“Dari aku!”
Seorang pria berpakaian rapi dengan jaket birunya tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Masih ada kesempatan untukku mencintaimu, Rica?”
“Erick?!”
“Didalam surat itu aku mengabadikan cintaku dan menunggu balasan darimu…”
Aku menatap Erick sedikit bimbang. Berawal dari kebetulan kami melanjutkan di universitas yang sama hubungan kami semakin dekat. Sampai saat ini aku sangat mencintainya tapi dia tidak pernah memberiku kepastian tentang ungkapan perasaanku selama ini.
Beberapa minggu yang lalu aku memutuskan untuk melupakannya. Karena aku pikir selama 5 tahun ini aku hanya terlalu melebih-lebihkan sikap manisnya padaku. Tapi sekarang dia tiba-tiba datang padaku. Mengucap kata yang selama ini aku nantikan. Apa aku punya keberanian untuk menolaknya?
“Ariessa Rislany! Bukan daging Rica-Rica! Tapi aku senang hanya kamu yang memanggilku seperti itu” senyumku penuh arti. “Masuk! Kita ngobrol didalam”
Alice, mungkin pria ini yang suatu saat nanti akan kutuliskan namanya didalam surat cintaku untukmu.
Mengiringi langkah Erick memasuki ruang tamu, aku tersenyum nakal penuh arti kepada pria sister complex (pecinta adik sendiri) itu.
“Oh, tidak!!! Erick, sekali lagi aku peringatkan!!! Jangan rebut adikku!!!”
“Siapa elu nyuruh-nyuruh gua?!” balas Erick tersenyum riang.

♥ TaMaT ♥

Tidak ada komentar: