By, Ressa Novita (Ocha)
Arghhh! Nafasku sesak, dan ini sudah yang ke sejuta kalinya kurasakan. Kutatap langit-langit kamarku. Gelap, dingin, dan sepi. Beberapa saat yang lalu lampu ruangan ini terang benderang, sedikit lebih hangat, tapi entah kenapa wanita berpakaian putih yang tidak kukenal tiba-tiba memasuki kamarku dan mematikannya. Padahal yang membayar listrik di gedung ini kan bukan dia tapi kakak sepupuku, William, pemilik Rumah Sakit ini.
Mataku mulai terbiasa dengan sedikit cahaya yang menyembul dari luar kamar lewat pintu yang setengah bagiannya terbuat dari kaca. Kulirik jam dinding yang menggantung di depanku.
Jam setengah 9 malam. Sebentar lagi waktunya tiba. Mudah-mudahan Raisya cepat datang. Aku sudah tak sabar ingin melihat gadis mungil itu tersenyum.
“Aurel, Raisya sudah datang!”
Ani, suster cantik yang usianya satu tahun lebih muda dariku datang dengan baki obatnya yang terbuat dari aluminium berukir cantik.
“Raisya sekarang dimana, An? Oh, jangan nyalakan lampunya. Kegelapan membuatku sedikit lebih nyaman!”
Suster Ani yang sudah siap menekan sakelar lampu segera mengurungkan niatnya.
“Raisya ada di kamar Mawar, dia sedang beristirahat. Sejak tadi ia merengek terus ingin bertemu denganmu. Bagaimana?”
“Katakan aku tidak disini! Jangan sampai dia tahu aku ada disini, apalagi kalau sampai ia melihat keadaanku yang seperti ini. Dia pasti… Heekkk…” terasa nafasku kembali sesak. Rasa sesak yang lebih dahsyat dari sebelumnya, sampai-sampai satu katapun amat sulit untuk kuucapkan.
“Aurel, sesak lagi?! cepat minum obatnya!”
Aku menggeleng lemah. Suster Ani tidak berani memaksa. Mungkin karena aku pernah bilang ‘Ini hidupku! Jangan nganggu hidupku!’ padanya beberapa kali setiap aku menolak meminum obat-obatan itu, dan sekarang ia sudah paham betul maksud dari kata-kataku.
Ah, disaat-saat lemahku seperti ini rasanya aku benar-benar ingin menangis. Apalagi jika aku sadar, keluargaku, Ayah, Bunda, dan kakak-kakakku sudah tidak disampingku dan tidak memperdulikanku lagi.
“A…Ani…”
“Iya!”
“Ka…Kamu ingat! Pertama kali kita bertemu?”
“Ya, waktu itu aku menabrakmu dengan sepeda jamuku dan entah kenapa tiba-tiba kamu pingsan. Lalu aku membawamu ke rumahku dan merawat luka-lukamu hingga sembuh. Setelah sembuh tanpa banyak bicara lagi kamu membawaku kesini, ke rumah sakit ini. Tanpa kamu, mungkin aku masih berjualan jamu dengan sepeda butut itu” kenang Ani dengan mata berkaca-kaca yang tak henti menatapku.
“Waktu itu aku dadaku sakit sekali. A… aku kabur dari rumah setelah bertengkar dengan Andre kakakku. Tanpa kamu tabrak pun, aku pasti pingsan dengan sendirinya. Aku penyakitan begini tapi masih sok mau hidup seorang diri yah!”
“Sudah-sudah jangan dilanjutkan lagi! Aku tidak mau sesak kamu makin parah karena terlalu banyak bicara”
“Ani, aku ingin bicara sebanyak aku bisa. Aku ingin kamu dengar ceritaku, selagi kamu dapat mendengar suaraku” ucapku mengisak seraya menarik tangannya yang hendak pergi dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“Aurel, kamu jangan bicara seperti itu! Kamu bisa bicara sebanyak yang kamu mau. Sekarang, besok, lusa dan seterusnya. Tapi, sekarang kamu istirahat dulu ya! Hari sudah larut!”
“Duduklah! Jangan pergi kemana-mana! Malam ini saja, aku mohon!” pintaku dengan isak tangis yang tak juga reda, semakin parah malah.
Ani ikut menangis, terlihat matanya tak hanya sekedar berkaca-kaca. Sesekali ia hapus airmatanya dengan jemarinya.
“Ani, 3 tahun kita bersahabat, mungkin yang kamu ketahui tentang aku hanya sebuah misteri. Bahkan kenapa aku tidak pernah kembali ke rumah sampai saat ini pun, kamu tidak tahu kan? Dulu aku memang tak pernah ingin menceritakannya, padamu sekalipun. Tapi sekarang, kamu akan tahu semuanya. Aku akan ceritakan semuanya!”
* * *
Aurel Faira Wiratmo. Itulah aku. 23 tahun yang lalu, tepatnya 9 Oktober 1984, aku lahir sebagai seorang Putri di Istana Keluarga Wiratmo. Putri yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh seorang Pengusaha terkaya nomor dua di Indonesia, ayahku Andi Wiratmo.
Aku hidup dan dewasa dengan kasih sayang yang kurasa berlebih ditambah segala kemewahan yang membuatku terbiasa. Mungkin ini takdirku, pikirku dulu.
Sampai suatu hari aku memperhatikan dunia luar dan mampu berpikir lebih jernih, tepatnya saat aku memasuki bangku sekolah menengah pertama. Kulihat seorang kakek tua tanpa kedua belah kakinya merangkak kearah mobilku. Ya Tuhan! Padahal ini ditengah kemacetan jalan raya. Dimana putranya?! Istrinya?! Sanak saudaranya?! Atau sekedar tetangga yang mengenalnya?! Apa tidak ada?! Bagaimana jika kendaraan yang lalu lalang mencelakainya?! Bagaimana jika preman-preman jalan melukainya?!
Cengengnya aku. Aku malah menangis melihatnya. Supir yang mengantarku menyerahkan sebuah uang logam senilai 500 rupiah kepadaku, meminta tolong agar aku memberikan logam itu kepada si kakek tanpa kaki. Dengan sedikit bingung aku buka kaca mobil dan menjatuhkan logam itu tepat di dalam topi butut yang ditegadahkannya tinggi-tinggi.
Ia tersenyum. Di wajah keriputnya terlihat senyum yang tulus tanda kebahagiaannya. Ucapan terima kasih tak henti-hentinya terlontar dari bibirnya yang kering kehausan.
Oh, ia begitu bahagia hanya karena uang logam 500 rupiah yang bagiku tidak berarti apa-apa. Kenapa?!
Kulihat tiang lampu lalulintas di ujung jalan. Masih merah. Kurogoh saku kemeja putihku dan mengambil seluruh isinya. Tidak kurang dari 50 ribu. Uang jajanku hari ini. Kembali kutekan tombol pembuka kaca mobil otomatis di samping lengan kiriku.
“Non, jangan diberikan lagi! Nanti orang itu akan semakin malas bekerja jika terus diberi uang!”
“Bekerja bagaimana?! Dia tidak punya kaki seperti mu! Lagipula aku tidak memintamu memberikan seluruh uangmu padanya!”
Supir setengah baya dengan postur tubuh tinggi tegap itu diam tak membantah kata-kataku. Perhatiannya kembali tertuju pada mobil-mobil mewah yang mengantri di depannya.
Kakek tanpa kaki yang semula hendak merangkak kembali ke trotoar segera merapat ke mobilku dengan susah payah ketika ia melihatku membuka kaca mobil untuk yang kedua kalinya.
Kujatuhkan semua uang yang ku punya ke dalam topi butut yang kembali ditegadahkannya kearahku.
Dia menangis melihat jumlahnya. Dia benar-benar menangis. Menangis saking bahagianya. Sayup-sayup kudengar ia menyebut nama Tuhan dalam ucapan terima kasihnya. Dia masih mengingat kebesaran Tuhan dengan keadaannya yang demikian menyedihkan. Hanya karena sejumlah uang yang tidak berarti apa-apa bagiku.
Sejak saat itu aku merasa tanganku begitu gatal untuk memberi semua uang yang aku miliki setiap kali melihat orang-orang yang menderita seperti kakek tanpa kaki itu. Pengemis-pengemis tua yang renta dan cacat, anak-anak jalanan yang mengamen dengan butiran beras didalam botol plastik ditangannya, pemulung dengan karung kotor di punggungnya, sampai orang-orang kumal yang mengais-ngais tempat sampah untuk sekedar mencari sisa makanan. Semuanya.
Akupun terus mencoba menghadirkan senyum pada mereka, orang-orang yang hidup dalam kesedihan. Tapi yang aku lakukan tidak lebih dari receh yang aku berikan di saat kemacetan lalulintas. Aku takut orang tuaku marah jika aku mengasihani mereka lebih dari ini. Ayah pernah memukuliku sekali karena ketahuan merawat seorang janda miskin berpenyakitan yang tinggal dibelakang komplek rumahku.
Hingga aku beranjak dewasa dan melanjutkan kuliahku di luar kota. Kota pilihanku sendiri, Surabaya. Dekat dengan rumah Nenekku.
Di kota itu aku di vonis dokter mengidap penyakit mematikan, kanker paru-paru stadium 2. Umurku diperkirakan tidak lebih dari 5 tahun,tapi aku sama sekali tidak menangis. Hanya saja aku sedikit kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku belum berbuat apa-apa untuk dunia?! Padahal waktu hidupku ternyata begitu singkat?! Sejak dulu aku ingin menolong orang-orang yang hidup dalam kesedihan tapi kenapa aku takut pada gertakkan orang tuaku yang melarang tanpa alasan yang jelas?! Kenapa selama ini aku hanya diam?! Bagaimana jika aku mati detik ini juga dan aku belum melakukan apa-apa untuk mereka?! Rasa bersalah, mungkin akan terus menghantuiku dan membuatku tidak tenang menutup mata. Aku tidak boleh diam lagi!
Akupun mulai membiarkan tubuhku melangkah ke jalan yang hatiku inginkan. Dengan menjadi guru bantu dibeberapa sekolah di desa terpencil di sekitar Surabaya dan mendirikan beberapa panti sederhana untuk menampung pengemis-pengemis tua dan cacat yang tak lagi punya sanak saudara, serta anak-anak jalanan yatim piatu.
Aku biarkan kuliah Arsitek ku sedikit terbengkalai dan menghabiskan banyak uang dan tenaga hanya untuk membuat orang-orang yang membutuhkan itu tersenyum.
Hah… Tapi ternyata jalan yang kupilih tidak semudah yang aku bayangkan. Keluargaku menjemputku pulang kembali ke Jakarta ketika mereka mengetahui kegiatanku di Surabaya yang sama sekali melenceng dari perkuliahan.
“Ayah menyekolahkan kamu tinggi-tinggi supaya kamu jadi orang sukses, bukan jadi orang yang tingkahnya semrawut kayak gini. Kamu itu putri Ayah satu-satunya! Tolong, hargai pengorbanan Ayah!”
Ayah, Bunda, dan kakak-kakakku tidak tahu perihal penyakitku. Dan aku harap tidak akan pernah tahu. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir, dan akhirnya malah mengurungku di rumah sakit mewah milik William, kemenakan Ayah, selama bertahun-tahun. Oh, tidak! Bisa-bisa aku mati kering akibat dihantui rasa bersalah jika itu benar-benar terjadi.
“Bu, Depdiknas menyetujui keberangkatanku ke Riau untuk menjadi guru bantu disana! Aku berangkat!”
Ucapan pamit singkat itu aku sampaikan kepada siapa saja yang kebetulan ada di rumah waktu itu. Setelah itu aku langsung menyeret koper-koperku lalu pergi ke bandara dengan taksi yang sudah ku siapkan untuk mempercepat keberangkatanku. Dan kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali.
Habis, aku sudah tidak lagi peduli. Semakin banyak kumelihat senyuman itu, rasanya aku semakin tenang dan bahagia. Mungkin ini cinta. Aku cinta apa yang aku lakukan. Aku tak peduli yang lain termasuk kuliahku yang kini telah terhenti.
“Cukup, Aurel! Jangan banyak tingkah lagi! Tinggal di rumah dan turuti semua kemauan Ayah dan Bunda!“ perintah Andre, kakak sulungku, pada suatu siang ketika aku kembali menyeret dua buah koper untuk mengunjungi rumah pantiku di Surabaya.
“Kakak apa-apaan sich?! Aurel mau menjenguk adik-adik angkat Aurel di Surabaya!”
“Dan memberikan mereka uang lagi! Kamu mau menghabiskan kekayaan Ayah dengan hal-hal yang sama sekali tidak penting!”
“Mereka butuh bantuan, Kak! Lagipula aku tidak pernah meminta uang kepada Ayah untuk semua kegiatanku ini. Aku pakai uang sakuku sendiri, itupun sudah lebih dari cukup. Aku hanya ingin mereka tersenyum sama seperti aku”
“Yah, kamu membuat mereka tersenyum dengan mengorbankan senyum keluargamu. Ayah, Bunda, kamu mengorbankan senyum mereka. Lihat, rasakan! Semenjak kamu bertingkah sekonyol ini, pernahkan Ayah Bunda memberi senyuman bangga padamu, seperti yang dulu selalu mereka lakukan padamu. Kebanggaan akan kehadiran seorang Putri yang amat dinanti-nantikan keluarga Wiriatmoko. Senyum dan kebanggaan itu telah lama hilang, Manis! Sadarlah dan kembali pada kehidupan nyatamu sebagai Putri keluarga Wiratmo yang terhormat!”
“Kakakmu benar, Aurel! Sudah cukup kamu bermain-main dan mengecewakan keluargamu ini dengan bergaul di lingkungan-lingkungan kumuh itu. Apa kamu tidak mengerti betapa malunya Ayah pada rekan-rekan Ayah yang membicarakan tingkah laku kamu di jalanan bersama gembel-gembel itu?! Kalau kamu terus seperti ini, keluarga Wiratmo bisa kehilangan martabat dan kehormatan yang telah susah payah Ayah bangun sedikit demi sedikit. Seharusnya kamu…”
“Cukup! Seharusnya kamu… Seharusnya kamu… Tubuh ini punya aku Ayah! Tuhan memberikannya untukku dan Dia juga yang menuntun jalanku lewat hati yang dilengkapi dalam tubuhku. Apa ada yang salah?! Aku ingin melihat mereka tersenyum, Ayah. Hanya itu. Setelah itu aku bisa pergi tanpa beban. Aku bukan ingin membangkang. Aku hanya ingin menjadi aku tanpa paksaan siapapun”
“Hebat! Putri Ayah sudah pintar melawan rupanya! Kata-katanya pun manis! Bagaimana kalau kamu jangan lagi pulang ke rumah ini?! Agar kamu bisa menggunakan tubuh kamu tanpa paksaan siapapun dan tanpa bantuan siapapun termasuk Ayah!”
“Itu perintah yang sudah lama saya tunggu, Tuan Wiratmo!”
Entah kenapa, kujatuhkan koper-koper yang semula menempel di tanganku ke lantai. Aku berlari menaiki puluhan anak tangga dan mendapati Bunda sedang menangis di sudut kamar sembari mendengar keributan di bawah.
“Bunda, Aurel minta maaf! Aurel tidak bisa membahagiakan Ayah dan Bunda! Aurel egois dan durhaka! Tapi semua itu Aurel lakukan karena Aurel ingin bangsa ini berubah, semua rakyatnya tersenyum bahagia. Bukan hanya rakyat kaya seperti kita, rakyat miskin juga berhak memiliki senyum itu meski sesaat. Aurel tidak pernah mengecewakan Ayah Bunda tanpa alasan”
Kukecup kening Bunda yang penuh dengan keringat akibat tangisannya yang tak mampu terbendung lagi.
“Bunda, selamat tinggal!”
* * *
“Sekarang kamu tahu kan, kenapa aku terbaring seorang diri di kamar ini. Sampai saat ini mereka tidak tahu keadaanku. Aku meminta William untuk tidak menceritakan keadaanku pada siapapun sebelum aku benar-benar mati”
“Hush! Kamu jangan bicara seperti itu lagi!”
“Heekkk…”
“Aurel!”
“Ah, su… sudah pergi sana! Katakan pada dokter bedah kalau operasinya sudah dapat dimulai!” ucapku terengah-engah sembari menahan sakit yang amat sangat di dadaku.
“Operasi apa?!” tanya Ani panik.
“Jangan banyak tanya lagi! Pergi sana!”
Ani melangkah menuju pintu keluar. Wajahnya telat dibanjiri airmata kesedihan. Sesekali ia menoleh ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, Ani! Jangan khawatir!”
Sepeninggal Ani, tak lagi kuseka airmataku. Kubiarkan ia mengalir sampai mengering dengan sendirinya. Aku harus lapang. Aku harus ikhlas.
“Tuhan, aku lapang! Aku ikhlas! Aku berikan airmata terakhirku untuk senyum dunia…”
* * *
Sayup-sayup kulihat sosok Raisya bermain di bawah pepohonan rindang di taman rumah panti yang dulu kudirikan saat tinggal di Surabaya. Dia sudah tidak menangis lagi, dia tersenyum bahagia sekarang. Tawanya menggema menyelimuti semua ruangan panti. Dia dapat berlari dengan ringan dan tanpa keraguan akan jatuh lagi. Yang terpenting dia punya sorot mata sekarang. Mata yang beberapa hari lalu masih berliang di wajahku.
Ah, bahagianya melihat Raisya tersenyum.
Kuarahkan pandanganku ke tempat lain, tempat dimana keluargaku berada saat ini. Lho?! Itu kan?! Pejabat Depdiknas yang biasa membantuku menjadi guru bantu di luar kota.
“Saya turut berduka cita atas meninggalnya putri Bapak dan Ibu Wiratmo! Maaf saya tidak sempat menghadiri pemakaman Beliau”
“Apa?! Meninggal?! Putriku?!” teriak Ayah terkejut. Bunda terlihat menghuyung pingsan dan jatuh di sofa.
“Jadi Bapak dan Ibu tidak tahu perihal kematian Aurel dua hari yang lalu!”
Ayah menggeleng lesu sambil menahan airmatanya yang hendak jatuh.
“Putri Bapak begitu mulia. Diakhir hidupnya ia masih memberikan senyum kepada orang lain. Raisya, seorang anak yatim piatu yang buta kini sudah dapat melihat dengan normal berkat donor mata yang diberikannya. Kedua belah ginjalnya pun menyelamatkan seorang penderita gagal ginjal yang telah divonis berumur satu bulan lagi. Satu lagi, ini undangan Bapak Wakil Presiden yang ditujukan kepada Bapak Wiratmo. Bapak mendapatkan penghargaan dari Negara atas pengabdian Bapak kepada rakyat kecil dengan membangun panti di berbagai daerah dan membantu lebih 1000 orang anak agar memperoleh pendidikan yang layak”
“Apa?!”
Ah, sekarang Ayah dan Bunda bisa kembali bangga. Mendapatkan penghargaan dari Negara adalah impian yang memicu Ayah bekerja giat membangun usahanya. Sekarang mereka mendapatkannya. Jadi, tidak sia-sia aku mengerjakan semua kegiatan sosial ini atas nama Ayah.
Tapi sayang, aku sudah tidak dapat melihat kebahagiaan mereka dari dekat. Hanya dari sini. Langit berbintang yang jauh di balik awan. Aku bisa merasakan senyum itu merekah di antara pedihnya kehilangan diriku.
Tapi sayang, aku sudah tidak dapat melihat kebahagiaan mereka dari dekat. Hanya dari sini. Langit berbintang yang jauh di balik awan. Aku bisa merasakan senyum itu merekah di antara pedihnya kehilangan diriku.
* * * TamaT * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar